“GUMALA! Gumala!”
Semula gadis itu mengira dirinya sedang bermimpi, tapi suara orang yang memanggil-manggil namanya semakin keras. Siapa sih, yang datang bertamu pagi-pagi buta begini? Ada urusan apa? Gumala berjalan sedikit sempoyongan keluar kamar, kemudian membuka pintu utama.
“Raifan!”
Pria itu berdiri di luar pintu sambil nyengir. Ia memakai setelan training hitam bergaris-garis putih dan sepasang sepatu olahraga putih. “Ayo kita joging!”
“Ini masih jam lima subuh! Ayam saja belum berkokok!” seru Gumala gemas.
“Justru itu, jangan sampai kita kalah sama ayam. Aku kan, sudah bilang, akan membantumu disiplin diet sampai berhasil menurunkan berat badan.”
Gumala menepuk dahinya. “Iya, tapi tidak begini juga lah .... Sekarang masih terlalu pagi dan aku belum menyiapkan apa-apa.”
“Pagi-pagi udara masih segar dan tidak panas. Kendaraan juga belum terlalu ramai, jadi kita bisa lari-lari. Atau jalan-jalan saja keliling perumahan dan kampung tetangga pun bisa. Oleh karena itu segeralah bersiap-siap.”
“Raifan ....”
“Segera cuci muka biar kantukmu hilang. Gosok gigi. Lalu ganti baju tidurmu dengan baju olahraga. Aku akan tunggu di sini.” Tanpa memedulikan protes Gumala, Raifan duduk di kursi teras dengan santai.
Wajah Gumala jelas sekali memberengut ketika keluar rumah memakai celana panjang biru dan kaus oblong super lebar bergambar Mickey Mouse. “Jangan tertawa! Aku pakai kaus ini karena semua baju olahragaku sudah tidak muat lagi.”
“Ehhhmmm ....” Raifan berdeham keras dan berusaha bersikap biasa. “Aku tidak menertawakan bajumu. Tapi kamu lucu sekali kalau cemberut. Biasa sajalah. Seharusnya kamu bergembira. Ini hari pertama program Langkah Langsung Langsing-mu.”
“Langkah Langsung Langsing? Aku tidak pernah bilang akan membuat program semacam itu,” bantah Gumala.
“Aku yang buat! Aku kan, sudah bilang, akan membantumu disiplin diet.”
“Aku tidak mau mengikuti sembarangan program!”
“Aku tidak sembarangan! Nanti akan kuberikan jadwalnya. Sudah, jangan banyak tanya! Ayo berangkat sekarang!” Raifan mendorong Gumala ke halaman. “Uhhh ..., berat juga. Kamu berapa kilo, sih?”
“Sembilan puluh lima!” Gumala menyahut cuek.
Raifan melotot lebar. “Wah ..., sepertinya proyek kita bakal lama!”
“Sekarang kita mau apa?”
“Joging keliling kompleks.”
“Pasti akan banyak tetangga yang melihat.” keluh Gumala.
“Aku akan menemanimu juga. Sepedanya ditinggal di rumahmu. Terus, memangnya kenapa kalau banyak tetangga yang melihat? Kita mulai joging dari sini.” Raifan menancapkan sebatang ranting di pinggir dinding luar pagar halaman rumah Gumala.
“Ayo!” Raifan menarik lengan Gumala sambil berlari-lari kecil. Gumala pun mengikuti dengan kagok. Sudah pasti gerakan Gumala jauh lebih lambat daripada Raifan. Walaupun tidak ada adu kecepatan, gadis itu selalu tertinggal.
Baru sepuluh menit keliling kompleks, Gumala sudah berhenti dan menyandarkan tubuh pada sebatang pohon jambu. Napasnya pendek-pendek. Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat. “Ber ... hen ... ti! Aku ..., capek ....!”
Raifan yang berada lima meter di depan Gumala berbalik dan berdiri di sampingnya. “Kalau capek kita jalan pelan-pelan dulu sambil ngobrol. Setelah kekuatan pulih, nanti jalannya dipercepat lagi.”
Pada saat Gumala bersandar di pohon seperti itu, dua anak laki-laki yang muncul entah dari mana, berbisik-bisik. Mereka menunjuk ke arah Gumala lalu tertawa terbahak-bahak. “Mbak, jangan lama-lama sandarannya, awas, pohonnya roboh!” Kemudian mereka berlari terbirit-birit dengan tawa semakin keras.
Gumala hanya menggerutu, “Dasar anak tidak tahu sopan santun!”
“Jangan dimasukkan ke hati,” ujar Raifan.
Gara-gara ditertawakan oleh anak-anak itu, Gumala memilih melanjutkan olahraga walaupun kedua lututnya masih pegal. Ia berjalan santai diikuti Raifan.
Langit sudah agak terang. Orang-orang mulai beraktivitas. Seorang ibu sedang menyapu teras rumahnya ketika Gumala dan Raifan lewat. Kemudian si ibu bertanya pada anaknya yang sedang menyiram bunga, “Apa mereka ..., pacaran?”
“Tidak mungkin! Memangnya yang laki-laki buta, mau sama perempuan sebesar gentong air begitu?”
Gumala dan Raifan sudah melewati rumah tersebut, tapi percakapan dua perempuan itu mereka dengar dengan jelas.
“Tidak usah didengar! Tidak usah didengar!” Raifan lagi-lagi melakukan antisipasi agar Gumala tidak meledak.
“Bagaimana mungkin aku tidak dengar, aku kan, punya telinga!” Gumala menyahut keras. Ia kemudian berlari lebih cepat dari sebelumnya. Beberapa puluh meter terlewati. Kali ini Gumala merasakan kelelahan yang sesungguhnya hingga wajah pucat pasi, tapi tidak mau berhenti.
“Gumala, kamu capek, kan? Kita istirahat dulu!” Raifan menyejajarkan langkahnya dengan langkah Gumala. Gumala tidak peduli, terus berlari. “Kita sedang olahraga, bukannya mau menyiksa diri. Hei!”
“Kalau ..., aku berhenti ..., nanti ada ..., orang yang ..., mengata-ngataiku ....”
Raifan memperhatikan rumah-rumah di kiri kanannya. Ia melihat sebuah warung yang sepertinya baru buka. “Kamu lapar, tidak? Itu ada yang jual makanan.”
Mendengar kata “makanan”, Gumala langsung mengerem kedua kakinya secara mendadak. Amarah dan kejengkelan di hati lenyap seperti debu diguyur air hujan. “Mana? Mana yang jual makanan?”
“Di warung itu. Kita sarapan dulu, yuk.”
Warung yang ditunjuk Raifan adalah dua kios bersebelahan yang menjual makanan berbeda. Yang satu menjual soto sapi, satunya lagi menjual pecel. Tanpa pikir panjang Gumala melangkah menuju kios penjual soto sapi, tapi Raifan cepat-cepat menghalangi di depannya. “Ingat, diet! Ingat juga darah tinggimu!”
Lagi-lagi dengan sangat terpaksa, Gumala mengikuti Raifan masuk ke kios penjual pecel. Dipesanlah pecel dua porsi. Di warung itu tersedia meja dan kursi kayu. Namun Raifan dengan sigap menanyakan tikar—yang untungnya ada—jadi Raifan dan Gumala bisa duduk lesehan. Ini sebagai antisipasi agar Gumala jangan sampai menghancurkan kursi.
Pesanan datang. Gumala tidak sabar ingin segera menyantap sepiring nasi pecel di hadapannya, tapi lagi-lagi merasa salah dengan minuman pesanan Raifan. “Kenapa cuma air putih?”
“Atur pola makan, perbaiki gaya hidup.” Gumala bungkam, setengah mati menahan sebal. Lalu ketika akan mengambil tahu isi dan tempe mendoan, Raifan menjauhkan piringnya. “Jangan makan gorengan!”
Tak tahan lagi, Gumala membanting sendok di atas piring sampai mengeluarkan bunyi berdenting keras. “Katakan saja sekarang! Program Langkah Langsung Langsing yang kamu buat itu seperti apa? Apa salah satunya termasuk ‘membuat Gumala hidup menderita sampai stres agar tubuh cepat jadi kurus’, haaa?”
Hampir saja Raifan kembali terbahak, tapi cepat-cepat disamarkan dengan pura-pura batuk. Pria itu kemudian mengeluarkan kertas dari saku celana. Dibukanya lipatan kertas dan ditaruh di atas meja.
“Ini adalah program diet sehat Langkah Langsung Langsing atau 3L yang kususun berdasarkan konsultasi dengan temanku yang seorang dokter. Diet alami. Tidak perlu minum obat, pakai alat yang menyiksa, atau melakukan berbagai macam operasi.”
Gumala terkejut sekali sampai mulutnya ternganga, tidak menyangka jika Raifan akan melakukan tindakan sejauh itu. Dirinya yang mau diet, kenapa Raifan yang repot?
KAMU SEDANG MEMBACA
SIAPA LEBIH CANTIK
General FictionTentang seorang gadis bertubuh gemuk bernama Gumala, bersahabat dengan seorang gadis cantik, Callista. Mereka menyukai laki-laki yang sama. Muncullah sebuah persaingan yang mengancam persahabatan keduanya.