Serpihan-Serpihan Hati

22 3 0
                                    

SETELAH beberapa minggu yang sibuk dan sulit sekali meluangkan waktu, Gumala heran sekali, apa yang membuat Calista datang ke rumahnya malam-malam. Wajah muram dan baju lusuh. Berbeda sekali dengan Callista biasanya yang sangat memperhatikan penampilan.

Gumala melihat jam dinding yang jarumnya menunjuk angka sebelas. “Kenapa datang ke rumah saat sudah larut malam begini? Kenapa tidak tadi sore? Atau tidak menunggu besok sekalian? Pekerjaanku sudah selesai, kok. Semua barang pesanan sudah kukemas dan kukirimkan.”

Callista tidak menjawab. Ia mendahului masuk rumah, duduk di sofa dan berkata dengan pandangan menerawang, “Gumala…”

“Apa?”

“Buatkan aku secangkir kopi pahit.”

“Tidak ada kopi. Adanya teh.”

“Iya, teh saja kalau begitu. Teh pahit.”

Meskipun bingung dengan permintaan sahabatnya, Gumala tetap pergi ke dapur dan menyiapkan segelas teh pahit. Disodorkannya teh yang masih hangat itu pada Callista. Baru minum seteguk, Callista sudah batuk-batuk hebat. Teh tumpah membasahi baju dan sofa. Gumala menepuk-nepuk punggung Callista agar batuknya berhenti. “Pahit sekali…”

“Kan, kamu yang minta? Tidak ada kopi pahit, teh pahit tidak apa-apa. Lagian kamu juga aneh, kenapa minta yang pahit kalau tidak kuat minum? Padahal di dapur gula banyak.”

Batuk Callista berhenti. Gadis itu menatap segelas teh yang isinya tinggal setengah sembari bergumam, “Dulu aku dan dia minum teh bersama, rasanya sangat manis. Sekarang aku minum teh sendiri, rasanya sangat pahit.”

Gumala mulai paham tentang kemungkinan yang terjadi. “Kamu bertengkar dengan Raifan, ya?”

Callista mengangguk lemah.

“Terus?”

“Terus? Terus aku juga bingung!” Callista menelungkupkan wajahnya di lengan sofa dan mulai menangis. “Dia memarahiku karena menyebarkan foto-foto kami waktu piknik ke pantai di facebook dan instagram. Dia bilang, seharusnya foto-foto itu disimpan sendiri saja, tidak perlu dipajang di media sosial.”

“Ah? Masa sih, Raifan marah cuma gara-gara kamu pajang foto di media sosial?” Gumala berkata setengah tidak percaya.

“Iya! Dia marah! Sejak kami pergi ke pantai bersama tiga hari lalu, Raifan tidak mau bicara denganku! Teleponku tidak diangkat, pesanku tidak dibalas! Padahal… aku kan, juga ingin, kasih tahu teman-teman kalau aku sudah punya pacar. Tapi Raifan malah seperti itu…”

“Kukira Raifan orangnya agak pemalu, makanya dia tidak suka kalau hubungan kalian sampai tersebar keluar,” Gumala mengutarakan pendapatnya.

“Itu bukan alasan dia bisa seenaknya mengabaikan telepon dan pesanku, kan?”

Gumala berusaha menenangkan, “Tidak usah terlalu dipikirkan. Mungkin Raifan sedang capek karena banyak pekerjaan, makanya dia tidak sempat angkat telepon atau balas pesan.”

“Kamu tahu… waktu di pantai, Raifan ditelepon seorang perempuan… Mereka sepertinya sangat akrab.”

“Kamu jangan berprasangka buruk dulu. Mungkin itu temannya atau pelanggannya di butik.”

“Kalau itu temannya, Raifan kan, bisa menyuruhnya tidak menelepon dulu karena dia sedang pergi denganku! Kalau itu pelanggannya di butik, kenapa tidak menghubungi Fanny saja? Kan, lebih baik perempuan berurusan dengan perempuan…”

“Astaga… Callista! Sudah punya pacar bukan berarti tidak boleh punya teman lawan jenis, kan? Kamu juga jangan terlalu posesif pada Raifan. Bisa-bisa dia malah kabur!”

“Aku tidak posesif! Aku cuma mau agar dia mengakui hubungan kami di depan teman-temannya, jadi tidak ada lagi perempuan yang sembarangan mengganggunya!” Callista keras kepala membela diri.

Gumala tahu, saat ini Callista sedang dikuasai emosi. Mau dinasihati seperti apa pun tidak akan masuk di kepala. Tidak ada gunanya. Gadis itu mengulas senyum menenangkan dan berujar, “Sepertinya kamu perlu istirahat. Malam ini kamu tidak usah pulang, ya? Menginap di sini saja.”

Callista mengulurkan tangan, memeluk Gumala erat-erat. “Terima kasih. Kamu memang sahabat terbaikku.”

Malam itu berlalu dengan baik bagi Gumala dan Callista.

***

Namun hari-hari berikutnya bergulir dengan tidak baik. Callista masih tinggal di rumah Gumala. Ia berusaha menghubungi Raifan berkali-kali, tapi selalu mendapat penolakan atau hanya didiamkan. Callista tidak berangkat kerja, tidak mau makan, dan tidak bisa tidur hingga bermalam-malam. Ia pun berubah jadi sangat pendiam. Tidak mau diajak ngobrol. Kalau Gumala bercerita tentang pelanggan jualan online dengan berbagai macam tingkah polah, Callista tak menanggapi. Kerjaannya setiap hari hanya melamun dan memandangi ponsel—berharap ada telepon atau pesan dari Raifan.

Wah… orang jatuh cinta kalau sedang bermasalah dengan pasangannya bisa begini parah, ya? Agak menakutkan juga. Sepertinya malah lebih pusing menghadapi pacar daripada menghadapi pelanggan jualan online.

Gumala sangat khawatir dengan keadaan Callista. Ia ingin menolong. Satu-satunya cara terpikirkan adalah menemui Raifan. Namun Gumala tidak tahu di mana rumah Raifan. Jelas tidak mungkin meminta alamat rumah Raifan pada Callista. Gadis itu pasti akan bertanya apa keperluan Gumala?  Callista tidak akan suka urusannya dicampuri. Raifan kan, bukan teman langsung Gumala. Mereka hanya kebetulan bertemu di ulang pesta ulang tahun Kania. Dan Raifan ada di sana karena menemani adik perempuannya—Fanny.

Gumala tersentak. Pesta ulang tahun! Ini kuncinya! Lantai sangat berantakan. Penuh dengan tumpukan kardus kosong, plastik pembungkus, kertas, gunting, dan isolasi. Masih banyak barang pesanan yang belum dikemas. Tapi Gumala memilih mengabaikan semua itu. Ia agak tertatih berjalan ke kamar karena kaki kesemutan akibat terlalu lama duduk. Kemudian ia mengganti daster sehari-hari dengan blus biru dan celana panjang hitam.

Sambil menyisir rambut, Gumala menuju ke kamar sebelah tempat Callista sedang bertapa. “Lis, aku pergi dulu, ya. Mau ambil pesanan sepatu. Kalau kamu mau makan, itu ada ikan dan tahu di lemari dapur.”

Callista menjawab “Ya,” nyaris tanpa suara.

Walaupun sejak berangkat Gumala telah menguatkan hati dan mengumpulkan keberanian, tapi tetap saja jantungnya berdetak kencang. Gumala bisa bertemu Kania dengan mudah. Ia menanyakan alamat rumah Fanny dan langsung diberikan tanpa banyak pertanyaan.

Sesampainya di rumah Fanny, Gumala justru berharap agar jangan sampai bertemu Fanny, tapi Raifan. Gumala tidak pernah lupa bagaimana Fanny memperlakukannya begitu buruk di pesta kemarin hanya karena ia meminjam gorden. Sampai di depan rumah kedua kakak beradik itu, Gumala melihat Fanny ada di halaman sedang menyiram tanaman. Gumala memilih menunggu hingga Raifan muncul. Ia duduk di luar pintu gerbang sambil mengawasi dari balik berbagai jenis tumbuhan yang ditanam mengikuti alur pagar.

Setengah jam lebih Gumala duduk di trotoar depan rumah Raifan dan Fanny sambil meluruskan kedua kaki. Keringat bercucuran di dahi. Saat itu dari ujung jalan sebelah kiri seseorang berjalan mendekat.

“Gumala!”

Yang dipanggil menoleh. Gumala terkejut dan gugup tatkala mengetahui bahwa yang memanggilnya adalah Raifan. Ia hendak berdiri tapi kesulitan. Raifan buru-buru mengulurkan tangan, membantunya bangkit.

“Ada apa? Kenapa duduk di pinggir jalan?”

“Aku mencarimu…” Gumala berkata sambil menahan malu.

“Aku baru saja dari tempat teman. Pulang naik ojol.”

“Kamu suka naik ojol juga?” Gumala tampak heran.

“Iya, kalau jarak dekat. Malah lebih cepat karena bisa menerobos kemacetan. Sudah sampai di sini, kenapa kamu tidak masuk saja? Ayo, mampir ke rumah!”

“Eh, tidak, tidak! Aku cuma sebentar, kok. Di mana sebaiknya kita bicara?”

Gumala dan Raifan saat ini duduk bersebelahan di bangku taman kompleks. Raifan menunggu Gumala menyampaikan maksudnya. Namun gadis itu tampaknya mulai kesulitan.

“Kamu mau bicara apa?” tanya Raifan setengah menahan geli melihat wajah Gumala sangat tegang.

“Ini soal… Callista…”

Mendengar nama Callista disebut, Raifan mencondongkan tubuh ke arah Gumala. Kedua alisnya bertaut erat. “Callista kenapa?”

SIAPA LEBIH CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang