Rok Gorden

94 5 0
                                    

GADIS itu menundukkan kepala, lalu membuka mata yang terpejam perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit. Ditekannya rasa takut yang sejak tadi menyembul di hati bak gundukan bukit. Jarum berhenti di angka 85. Naik lima kilogram! Gumala mendengkus gusar. Apa yang harus dilakukan? Sudah satu minggu menahan diri dari melahap makanan favorit—bakso, ayam goreng, mie instan, sate, cilok, batagor, es krim, boba, dan entah apa lagi? Namun nafsu makan gadis itu memang sangat besar. Berhenti di satu jenis makanan, beralih pada makanan lain dengan porsi lebih banyak.

“Hei!” Sebuah tepukan keras di bahu nyaris membuat Gumala terjengkang.

“Kamu! Memangnya tidak bisa ketuk pintu dulu?” gerutu Gumala mendapati Callista tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya.

“Pintu depan tidak dikunci, berarti kamu mempersilakan siapa pun masuk tanpa permisi,” Callista menyindir kecerobohan sahabatnya. Dilihatnya Gumala yang membungkuk dengan susah payah menyorongkan sesuatu ke bawah tempat tidur. Tanpa perlu melihat wujud bendanya, Callista sudah bisa menebak apa. “Kutebak pasti naik lagi, ya?”

“Kamu meledek?”

“Tidak. Cuma, sebaiknya kamu jangan terlalu sering menimbang. Mungkin bisa diatur seminggu sekali?”

“Seminggu sekali? Menimbang setiap hari saja berat badanku naik terus!” Gumala melotot lebar-lebar.

“Sudah! Sudah! Aku ke sini bukan mau berdebat denganmu!” Callista mengambil sebuah amplop dalam kertas bening dari tasnya. “Ini undangan ulang tahun dari Kania.”

Begitu mendengar kata “undangan”, mood Gumala semakin ambyar. Apalagi setelah membaca apa yang tertulis. Hari Sabtu malam di Hotel Grand Pearl. Tamu undangan diharapkan memakai pakaian resmi. Gaun untuk perempuan dan jas berdasi untuk laki-laki. Gumala paling benci menghadiri acara semacam ini. Dirinya selalu kesulitan memilih pakaian dengan ukuran tubuh besar. Gumala harus menjahit pakaian sendiri yang pasti membutuhkan waktu lama dan menambah anggaran pengeluaran.

“Pakai gaun yang kemarin buat acara pernikahan sepupumu saja. Baru satu kali digunakan, sepertinya belum banyak yang tahu. Kalaupun ada yang tahu juga tidak apa-apa.” Callista seolah dapat membaca pikiran Gumala.

“Sudah tidak muat...” Gumala mengerang putus asa.

“Apa? Kan, baru dua minggu yang lalu?”

Oh, Tuhan... tolong aku!

“Mmm... aku tidak usah berangkat saja, ya?”

“Mana bisa tidak berangkat? Alasannya apa? Diundang, kok, tidak berangkat! Tidak sopan! Bagaimana denganku? Masa datang sendiri?”

“Kamu, sih, biarpun tidak ada aku masih ada yang mau temani.”

“Yang lain pasti datang dengan pasangannya. Suaminya atau pacarnya... Cuma kita yang jomblo. Sesama jomblo harus saling mendukung!” rayu Callista.

“Nanti pasti ada orang yang bicara macam-macam...”

Inilah masalah Gumala sesungguhnya. Kalau ia hadir di acara umum dan berhadapan dengan orang banyak, pasti lidah-lidah tak bertulang mereka akan menjeratnya sampai kehabisan napas.

“Kalau sampai aku dengar suara jelek tentang kamu, akan kutampar yang punya mulut! Mereka cuma berani ngomong di belakang! Pengecut! Apa kamu mau terpenjara di rumah saja gara-gara orang seperti mereka? Apa kamu rela dibuat kalah, padahal tubuhmu tidak bersalah? Ya, kan? Memangnya kenapa kalau gemuk? Karena kamu datang ataupun tidak mulut mereka tetap tetap berkicau, jadi hadapi saja!”

***

Gumala merentangkan tangan, membiarkan Mbak Parti mengukur lingkar pinggangnya. “Jadi... mau dilebihkan saja?”

SIAPA LEBIH CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang