CALLISTA berdiri di depan cermin sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Setelah hampir satu jam memilih pakaian, kini ia sibuk menarik dan menekuk rambut. Pakai satu gaya, diamati, merasa tidak cocok, diubah. Ganti gaya rambut, diamati lagi, merasa tidak cocok, lalu diubah lagi. Urusan rambut selesai, ganti urusan dengan make up. Memilih bedak, lipstik, pensil alis... Kemudian ponsel Callista berbunyi.
“Halo, ada apa, Mala?”
“Barang yang harus dibungkus banyak sekali. Kamu bisa ke sini membantuku, tidak?”
“Aduh, maaf... tidak bisa! Hari ini aku mau pergi sama Raifan. Kamu kerja sendiri dulu, ya?”
“Mmm... ya sudah... tidak apa-apa. Aku akan kerjakan sendiri. Memang seharusnya kubungkus sendiri. Ini kan, pekerjaanku.”
“Maaf, ya, Mala... lain kali kalau aku tidak sibuk, aku akan bantu.”
Sejak Callista menjalin hubungan dengan Raifan, kapan dia tidak sibuk?
“Tidak apa-apa. Aku yang harusnya minta maaf karena sudah mengganggumu.”
Sambungan terputus.
Callista segera lupa dengan Gumala, kembali memusatkan perhatian ke cermin. Tersenyum-senyum mengagumi kecantikan diri sendiri.
Jam tujuh malam, Raifan menjemput Callista di rumahnya. “Jadi... mau ke mana kita sekarang?”
“Terserah kamu. Aku ikut saja.” Callista menyerahkan keputusan pada Raifan.
Maka, Raifan membawa Callista ke sebuah restoran seafood. “Ini adalah restoran yang sering dikunjungi kami sekeluarga, terutama kalau mama dan papa pulang dari Prancis. Karena tidak terlalu ramai, jadi kami bisa lebih menikmati makanan.”
Mereka memilih tempat duduk lalu membuka buku daftar menu. “Mau makan apa?” tanya Raifan.
“Apa yang kamu pesan, aku juga akan memesan makanan yang sama,” jawab Callista praktis.
“Gulai ikan belimbing, kerang saus tiram kecap, cumi asin cabai ijo, kepiting lada hitam, udang bakar, sambal wader kemangi...” Raifan menyebutkan satu per satu sambil melirik Callista. Namun gadis itu hanya tersenyum.
“Baiklah kalau begitu.” Raifan memanggil pelayan, memesankan dua porsi makanan dan minuman pilihannya.
Mereka menunggu pesanan dalam diam. Rasa canggung melingkupi mengambang di antara keduanya, karena masing-masing belum terlalu mengenal. Callista berpikir keras mencari bahan pembicaraan. “Apakah butiknya ramai?”
“Ya, lumayan. Dalam keadaan ekonomi yang sulit seperti ini, usaha masih bisa berjalan tanpa merugi pun sudah bagus.” Raifan terdiam sebentar sebelum bertanya, “Fanny bilang, kalian teman kuliah, ya?”
“Benar.”
“Bagaimana dia di kampus dulu? Maksudku... pergaulannya? Teman-temannya?”
“Kenapa kamu bertanya begitu? Seingatku dulu tidak ada masalah. Cuma... sampai di semester dua dia pindah kuliah di Prancis. Jujur saja aku heran. Orang tua kalian sudah beberapa tahun tinggal di Prancis, kan? Kamu juga lulusan University of Paris. Lalu kenapa tidak dari awal saja Fanny mendaftar kuliah di sana?”
“Gara-gara pacarnya itu!” tukas Raifan sebal sekali.
“Edo?”
“Siapa lagi? Waktu mama dan papa menyuruh Fanny mendaftar kuliah di Prancis, dia menolak mati-matian. Bahkan mengancam tidak mau melanjutkan ke universitas kalau dipaksa. Alasannya? Tidak mau berjauhan dari Edo! Konyol sekali! Akhirnya Fanny diizinkan kuliah di Indonesia dengan tinggal di rumah tante—agar ada yang mengawasi juga. Eh... delapan bulan kemudian dia telepon sambil menangis, melihat Edo berpelukan dengan perempuan lain. Bilang mau ikut kami ke Prancis.” Raifan menggeleng-geleng.
Tepat ketika itu makanan pesanan mereka datang. Callista dan Raifan mulai makan.
“Ah... kenapa rasanya asin sekali? Teksturnya juga terlalu kenyal, sepertinya kurang lama memasaknya?”
Pelan-pelan Raifan meletakkan sendok dan garpu. Makanannya sulit tertelan.
***
Di hari Minggu berikutnya, Callista berkata ingin ke pantai. Raifan setuju. Pria itu juga sudah lama tidak ke pantai. Saat menjemput Callista, Raifan heran sendiri melihat barang-barang yang dibawa gadis itu.
“Banyak sekali barang yang kamu bawa! Seperti orang mau pindahan rumah saja.”
“Ini cuma sedikit, kok. Tikar, topi, kacamata hitam, sandal jepit, krim-krim pelindung kulit, bekal makanan dan minuman...”
“Dan bajumu... kalau pakai rok, apa tidak merepotkan, ya?”
“Sudah... sudah... ayo masuk! Kalau kita kesiangan nanti bisa semakin panas.”
Tiba di pantai, Raifan langsung melepas sepatu dan berlari menyongsong ombak. Kaki telanjangnya disapa hingga basah mencapai lutut. Callista yang masih di belakang memanggil-manggil Raifan. Pria itu kembali ke tepi.
“Ada apa?”
“Kita kan, harus cari tempat dulu untuk menggelar tikar dan menata barang-barang...”
“Itu nanti saja! Sebaiknya kita bersenang-senang dulu! Ayo, sudah sampai di pantai, rugi kalau tidak kena air!”
Callista mengikuti Raifan dengan bersungut-sungut. Tampaknya ia tak terlalu senang, kena air. Meminta pergi ke pantai mungkin hanya ingin duduk-duduk saja melihat pemandangan dan berfoto untuk kemudian dipajang di instagram. Percuma pula gadis itu membawa pakaian ganti. Celana panjang yang dipakai kena pasir sedikit saja, Callista minta diantar beli baju baru di toko-toko yang berderet di area wisata pantai. Makanan dan minuman pun akhirnya beli juga di restoran outdoor. Selesai makan, Callista dan Raifan menggelar tikar di atas pasir.
“Kita bisa duduk-duduk di sini sambil melihat matahari terbenam.”
“Spot-nya bagus. Semua bagian terlihat jelas dari sini.” Callista tersenyum puas.
“Aku mau mandi sebentar dan ganti baju dulu. Seluruh tubuhku lengket kena air laut dan pasir. Tidak nyaman rasanya.” Raifan menepuk-nepuk celana pendek birunya hingga butiran pasir berjatuhan.
Sementara Raifan pergi ke kamar mandi umum, Callista asyik membidik sudut-sudut indah dengan kamera ponselnya.
Ponsel milik Raifan yang tergeletak di tikar berbunyi. Callista memandangi selama beberapa saat. Ia penasaran karena nama yang tertera di layar ponsel adalah nama perempuan. “Maya”. Callista juga paham bahwa mengotak-atik ponsel orang lain tanpa izin itu tidak sopan. Akhirnya rasa penasaran mengalahkan segalanya.
“Halo?”
“Halo, ini siapa?” tanya suara di seberang.
“Lho, seharusnya saya yang tanya, kamu ini siapa?”
“Saya Maya. Ini hp Mas Raifan, bukan? Pemilik ‘Java Butik’?”
“Benar.”
“Tapi, kok, yang menerima telepon perempuan?” si penelepon lebih heran lagi.
“Kamu sendiri juga perempuan! Memangnya kenapa kalau yang terima telepon perempuan? Tidak boleh? Aku beri tahu, ya... Aku ini pacarnya Raifan! Jadi aku punya hak untuk tahu siapa saja yang menelepon Raifan! Aku juga berhak tahu siapa saja temannya! Jadi Mbak Maya... kalau tujuan Mbak menelepon Raifan hanya untuk mengganggunya, Mbak salah sasaran! Raifan sudah ada yang punya!”
“Oh... kasihan sekali Raifan salah pilih!”
Sambungan telepon terputus.
“Hah?” Callista mendengkus kesal. “Kurang ajar sekali perempuan ini! Berani bilang Raifan ‘salah pilih’!”
Raifan kembali dari kamar mandi umum dan melihat Callista memegang ponselnya. Buru-buru direbutnya ponsel itu. “Apa ada yang menghubungiku?”
Callista memasang senyum yang dibuat-buat. “Tidak... cuma itu... perempuan yang tidak tahu sopan santun...”
“Perempuan yang tidak tahu sopan santun?” Curiga, Raifan memeriksa catatan telepon masuk. Ada nama Maya di waktu dua menit lalu. Raifan buru-buru menelepon balik sambil berjalan menjauh dari Callista.
Tampaknya telepon tersambung. Raifan berbicara dengan Maya sambil sesekali menatap Callista yang menundukkan kepala. Kedua tangan gadis itu meremas-remas ujung rok, tampak gelisah.
Selesai bicara di telepon, Raifan melangkah lebar-lebar mendatangi Callista. “Lancang kamu! Kenapa menjawab teleponku tanpa izin? Maya adalah pelanggan butik kami, kamu malah menuduhnya yang bukan-bukan! Dan apa maksudnya... kamu adalah pacarku? Sejak kapan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
SIAPA LEBIH CANTIK
Fiksi UmumTentang seorang gadis bertubuh gemuk bernama Gumala, bersahabat dengan seorang gadis cantik, Callista. Mereka menyukai laki-laki yang sama. Muncullah sebuah persaingan yang mengancam persahabatan keduanya.