"TASYA! WOOH!"
"I LOVE YOU, TASYA!"
"TASYA … "
Sorak riuh sekelompok mahasiswa saat sebuah mobil sport mewah berwarna kuning memasuki parkiran kampus. Di tangan mereka terdapat poster untuk melengkapi aksi mereka setiap paginya. Ini sudah seperti tradisi harian!
"Makin banyak aja penggemar lu, Tas," ucap Kaila dari bangku belakang, salut.
"Hebat lo!" seru Nindi seraya mengacungkan dua jempol ke arah Tasya yang masih berusaha untuk memarkirkan kendaraan itu.
"Gue juga heran, setiap hari pasti nambah terus. Tapi gue bersyukur berarti banyak yang sayang sama gue," ujar Tasya setelah berhasil memposisikan mobil itu di dalam garis.
Setelah merapihkan riasan wajah beberapa menit, ketiga gadis itu keluar dari dalam mobil. Melihat itu sekumpulan mahasiswa langsung mendekati mereka bertiga. Bahkan aspal yang dilintasi mobil sport itu masih hangat dan matahari baru sedetik menerpa kulit mulus mereka bertiga, tetapi segerombolan manusia telah berhasil menciptakan sedikit ketidaknyamanan pagi ini.
Ketiga gadis itu seperti makanan lezat yang siap diserbu oleh manusia dengan perut keroncongan dan air liur yang menetes-netes.
"Pagi, Tasya!"
"Mau foto dong … "
"Hari ini Tasya cantik banget, deh."
"Minta tanda tangannya dong, Kak."
"Koprol dong, Kak."
Ketiganya diserbu oleh banyak keinginan yang setiap hari semakin aneh. Dari koprol sampai guling-guling. Keinginan-keinginan tersebut tidak serta merta dituruti oleh mereka bertiga. Bisa-bisa urat malu mereka putus dari pangkalnya.
Dengan pelan Tasya mencoba memberi pengertian kepada mereka, "Maaf ya, tapi kita sedang buru-buru. Kelas akan dimulai 30 menit lagi. Maaf ya … teman-teman."
Ketiga sahabat itu langsung membelah kerumunan dan melangkah menuju ruang kelas. Sekumpulan penggemar itu terlihat sedikit kecawa, tetapi karena sikap Tasya yang sabar membuat mereka mengerti.
Valuariella Anastasya, gadis paling populer di Universitas Alitlis. Ia tak seperti gadis populer yang digambarkan di sinetron-sinetron yang memiliki sifat sombong dan kejam. Sangat jauh dari yang kalian bayangkan.
Gadis bermata biru dan berambut hitam sebahu itu sangatlah ramah, senyumannya sangat menyejukkan. Gadis seperti inilah yang seharusnya menjadi standar mahasiswi terpopuler di seluruh dunia, bukan karena keluarganya kaya saja dan paling berpengaruh di kampus.
"Kaya dan populer boleh, tapi attitude tetap nomor satu," kata Tasya sewaktu makan di kantin satu minggu yang lalu.
• • •
"Kotak ini mau diletakkan dimana, Bu?" tanya Glabis pada wanita paruh baya yang sedang memasak di dapur.
Kedua tangan Glabis bekerja sama menopang sebuah kotak yang tadi ia temukan di teras rumah. Napas remaja berkulit sawo matang itu masih tak karuan.
"Eh … kenapa kamu mengangkat barang, Nak?" ucap Flora, terkejut.
Flora segera mengambil alih kotak itu tapi Glabis malah menjauhkan kotak itu dari tangan sang Ibu, mencoba memberi isyarat bahwa ia juga sanggup menangkat kotak itu.
"Nak … " lirih Flora.
"Tidak papa, Bu. Biar Glabis saja yang angkat ini, Glabis bisa kok."
Untaian kata itu berhasil membuat air mata Flora jatuh. Bagaimana tidak, anak semata wayangnya yang mengidap keterlambatan otak bisa sepeka itu dengan sesuatu. Sebenarnya sudah tujuh tahun Glabis menjalani terapi dan ia semakin menunjukkan kemajuannya.
Flora menyekal bulir bening itu, harap-harap Glabis tak melihat bulir itu jatuh.
"Ibu boleh bantu?" tanya Flora.
"Tidak usah, Bu. Ibu memasak yang enak saja supaya nanti Glabis punya energi penuh buat main," ucap Glabis, polos.
Flora mengangguk, tanda menyetujui. Walaupun dalam hatinya ada kekhawatiran yang menggema kuat.
"Letakkan di dekat lemari pendingin saja," ujar Flora. Glabis hanya mengangguk dan segera menuruti perintah Ibunya.
Kulkas itu masih di area dapur dan tidak jauh dari tempat Glabis tadi. Flora tak memalingkan pandangannya dari putranya, ia sesekali menggerakkan spatula di tangannya tapi nertanya masih tertuju pada Glabis.
Glabis meletakkan kotak itu dengan napas yang semakin tak beraturan, ia mencoba tenang supaya Ibunya tak terlalu khawatir.
"Glabis hebat!" puji Flora sambil mengacungkan jempol.
Glabis tersenyum, walaupun kepalanya terasa pusing dan napasnya hampir habis. Glabis masih mencoba bersikap biasa saja, sekali lagi agar Ibunya tak terlalu menghawatirkannya.
• • •
"Nin, lo mau bikin laporan tentang apa?" tanya Kaila.
Nindi menyedot minuman boba miliknya kemudian menjawab, "Belum tahu, nih. Otak gue sekarang lagi krisis ide," jawab Nindi.
"Bukannya sekarang tapi setiap hari," ledek Kaila, lalu tertawa.
"Enak aja!" sangkal Nindi.
"Hm … kalau gue sih kemungkinan bikin laporan tentang alam gitu," gumam Tasya.
"Cielah … anak alam nih," goda Nindi.
"Dan lo harus masuk hutan gitu? Ribet tahu," tanya Kaila.
"Mending suruh orang buat pengamatan di sana, lo gak harus capek-capek ke sana," gumam Nindi.
"Asal ada uang, semuanya selesai. Jaman sekarang gak ada orang yang mau nolak uang, 'kan?" timpal Kaila.
"Tapi girls, gue lebih seneng ngelakui suatu pekerjaan dengan pikiran dan otot gue sendiri. Kalian kan tahu itu," elak Tasya.
"Kalau kita masih sanggup melakukan sesuatu itu, kenapa kita harus bergantung kepada orang lain?" imbuh Tasya.
Tasya memang seperti itu, selalu kontras dengan kedua sahabatnya. Walau begitu, mereka bertiga selalu kompak tanpa adanya perselisihan di antara mereka.
Slogan mereka bertiga.
"Perbedaan itu wajar, kita tak bisa memaksakan semua orang sepandangan. Tapi kalau masalah kebaikan, kita selalu sepaham."
Nekat ikutan challenge ini, mudah-mudahan bisa konsisten dan gak selingkuh naskah😂. Ini ide juga lagi mampet tapi dipaksain supaya gak mampet-mampet amat, hihi.
#salamjabo_writingmarathon
#challengemenulis3bulan
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Jendela Itu
Fantasy"Jangan cepat menilai sesuatu, jika kau belum tahu apa yang sebenarnya terjadi." ------ Terjebak di sebuah perkampungan penuh keanehan dimana tidak ada teknologi dan apapun yang terdapat di abad ini, membuat seorang gadis terkenal di kampus bernama...