Bab 3 : Istimewa

19 1 2
                                    

"Kalian seharusnya malu. Mereka yang mempunyai 'keistimewaan' masih memiliki rasa empati, dan kalian manusia 'sempurna' tak ada rasa perduli sedikitpun."

-Flora-

Air kolam yang berwarna hijau itu terus membasahi kaus berwarna biru dan celana panjang olahraga berwarna hitam yang dikenakan Glabis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Air kolam yang berwarna hijau itu terus membasahi kaus berwarna biru dan celana panjang olahraga berwarna hitam yang dikenakan Glabis. Bersamaan dengan itu, suara tertawa anak-anak itu semakin kencang.

"Kalau punya otak tuh dipake, dong ..." ejek anak berbaju biru.

"Eh, kan otak dia kaya bayi. Mana mungkin bisa digunain. Haha ..." timpal anak lainnya diakhiri dengan tawa mereka yang kian mengeras.

"Haha ... dasar autis!"

"AUTIS!"

Flora tersentak, hatinya seketika terenyuh. Kalimat itu seolah telah menusuk tubuhnya tiba-tiba, walaupun ia tak tahu kalimat itu ditujukan pada siapa.

Flora mengalihkan pandangannya ke arah taman. Namun, apa yang dilihatnya semakin membuat hatinya perih bahkan hancur berkeping-keping. Glabis, anak kesayangannya itu sedang mendapatkan perlakuan buruk dari anak lainnya.

"Astagfirullah, Glabis!" teriak Flora, histeris. Ia langsung bangkit dan menghampiri putranya yang sudah basah kuyup itu.

Sekelompok anak nakal itu langsung terdiam, mereka sedikit bergeser dari tempat mereka berdiri. Beberapa orang di taman memandang mereka berdua, merasa haru tapi hanya diam sambil mengamati apa yang sebenarnya terjadi.

Flora memeluk Glabis erat, tak perduli pakaiannya akan ikut basah dan berbau amis. Flora berusaha memberikan rasa tenang pada Glabis. Tangis Flora pecah.

Flora seakan tersambar petir yang sangat dahsyat siang ini, padahal cuaca hari ini cerah sekali. Flora kira hari ini akan menjadi hari bersantainya bersama Glabis, tapi semuanya berubah karena ia lalai mengawasi Glabis. Glabis tak tahu apa-apa tentang keistimewaan yang dimilikinya itu, kalaupun Flora menjelaskan semuanya secara detail tetap saja Glabis masih belum bisa memahaminya.

Flora melepaskan pelukannya, ia kemudian memegang bahu anak remajanya itu. "Kamu habis ngapain, Nak?" tanya Flora, bibirnya bergetar. Air matanya tak bisa ditahan untuk terus mengalir.

Tangan lembut Glabis menghapus air mata Flora, Glabis tersenyum bahagia seperti tidak ada hal buruk yang sudah menimpanya.

"Glabis tadi keluarin air itu, Bu!" jawab Glabis, ia menunjuk sebuah air mancur yang berada di tengah taman. "Tapi air di situ nggak habis-habis. Kenapa ya, Bu?" sambungnya, lugu.

"Untuk apa Glabis ngelakuin itu?" tanya Flora.

Bau amis air kolam yang sangat menyengat membuat kondisi Glabis semakin memprihatinkan. Glabis terdiam sejenak, Flora menunggu kata-kata keluar dari mulut anaknya.

Di Balik Jendela ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang