"Jangan cepat menilai sesuatu, jika kau belum tahu apa yang sebenarnya terjadi."
------
Terjebak di sebuah perkampungan penuh keanehan dimana tidak ada teknologi dan apapun yang terdapat di abad ini, membuat seorang gadis terkenal di kampus bernama...
“Bertanya adalah cara terbaik mengetahui sesuatu yang belum kauketahui.”
-Di Balik Jendela Itu-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suasana perkampungan amat ramai, semua berbisik bahkan berteriak membicarakan kekuatan apa yang akan mereka miliki jika pil berwarna merah muda itu masuk ke tubuh mereka. Suara gaduh semakin bersanding dengan riuh kicau burung, saling bersahutan dan bersaing tak kenal ampun untuk menjadi pemenang latar musik pagi ini. Hawa dingin masih setia menyapa kulit seakan keegoisan agar terus bersanding terus mengembang hingga tak rela berpisah saat matahari mulai meninggi. Kakek memberi isyarat pada Zallea untuk menenangkan para anggota suku, ia sangat mengandalkan cucu keduanya itu.
"MOHON MAAF, BOLEH TENANG SEBENTAR?" pinta Zallea, berteriak.
Pagi kali ini diawali dengan teriakan yang belum tentu akan membisukan seketika para anggota suku. Mereka terdiam, menutup mulut rapat-rapat dan memfokuskan pandangan pada sang tetua perkampungan yang berdiri di sebuah panggung kayu rendah bersama Lily dan Zallea. Kakek menepuk punggung Zallea pelan, memberi isyarat terima kasih yang dapat dipahami juga oleh setiap orang.
Kakek maju satu langkah, menarik nafasnya dan berkata, "Tuan Britha telah memberikan imbalan pada kita lebih dari apa yang kita butuhkan. Pil-pil yang ada di tangan kita ini merupakan bukti dan pertama kalinya kita dapatkan imbalan seistimewa ini. Tidak hanya karena kerjasama hebat yang kita miliki juga karena kedua orang asing yang dengan sukarela membantu menyelesaikan tugas ini."
Mereka bertepuk tangan sambil memuji dirinya masing-masing.
"Sebelum melanjutkan ke acara inti kita akan mengenal lebih jauh tentang kedua penduduk baru kita ini," ujar Kakek dengan suara seraknya yang penuh wibawa.
Lily melambaikan tangannya ke arah Tasya, mengajak Tasya dan Glabis maju ke depan. Tasya menangkap isyarat itu dan mengajak Glabis yang kebetulan berdiri di sampingnya untuk segera menerobos kumpulan manusia itu. Kaki-kaki penuh keasingan itu naik ke panggung kayu.
"Nama saya Valuariella Anastasya, panggil Tasya saja. Umur saya 19 tahun dan sedang melakukan study di Universitas Alitlis. Jujur saja saya tidak menginginkan untuk tinggal di sini selamanya dan akan selalu mencari jalan keluar yang saya inginkan dengan sekuat tenaga," ucap Tasya lantang.
Semua orang terdiam saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan gadis bermata biru itu. Bukan lagi karena khawatir menghadapi keinginan kuat Tasya untuk menemukan jalan keluar itu tapi akibat yang akan ditimbulkan jika Tasya benar-benar menemukan jalan itu dan memutuskan untuk pergi meninggalkan perkampungan.
"Masalah besar akan muncul jika Tasya tidak menetap di sini. Tuan Britha akan marah dan semua yang kami miliki saat ini akan lenyap," pikir Kakek, cemas.
Sekarang giliran Glabis mengambil alih suasana, memperkenalkan diri kepada mereka siapa ia sebenarnya.
"Halo!" Glabis melambaikan tangannya. "Aku Glabis Trinandika, dipanggil Glabis. Umurku 13 tahun dan tinggal bersama Ibuku yang bernama Flora di sebuah rumah peninggalan Ayahku. Jika besar nanti aku ingin menjadi pilot sama seperti Ayahku!" ujar Glabis kemudian tersenyum simpul.