Broken Gift

256 37 4
                                    

Senyum itu ... masih tampak sama seperti saat terakhir kali Jimmy melihatnya. Jimmy sekuat tenaga melangkah dengan kakinya yang bergetar hebat. Begitu pelan, sebab takut terjatuh dan takut dengan apa yang ada di hadapannya saat ini.

Lelaki itu masih terus menampilkan senyum manisnya bahkan ketika Jimmy sudah berdiri tepat di depannya. Pandangannya tak lepas dari wajah Jimmy.

"Phi Tom ...." Suara Jimmy nyaris tak terdengar.

Senyum lelaki itu perlahan memudar. Tommy, yang harus mendongak supaya bisa memandang wajah Jimmy dari jarak sedemikian dekat juga mulai menundukkan kepala.

"Aku tahu. Tak seharusnya aku—"

Grep.

Benteng yang sudah Jimmy bangun dengan susah payah selama beberapa tahun terakhir pun runtuh seketika. Jimmy tak bisa menahan diri untuk tidak memeluk lelaki kecil itu. Ia menangis di bahu Tommy.

Tommy secara ragu ikut melingkarkan tangannya pada tubuh tinggi Jimmy. Matanya terpejam erat. Ada logika yang menyuruhnya untuk segera melepaskan pelukan itu sebab Tommy tak pantas mendapatkannya, ada juga hati yang berteriak betapa ia merindukan pelukan tersebut.

Tommy seperti sedang bertengkar dengan dirinya sendiri selama ia memeluk Jimmy.

Jimmy kemudian menjadi orang pertama yang melepas pelukan mereka. Mata sipitnya menatap tepat di kedua mata bulat Tommy.

"Phi, bagaimana bisa?"

"A-aku ...."

"Tunggu dulu!"

Jimmy menyentuh pipi kiri Tommy. Ia merasa ada yang berbeda darinya.

"Phi, kau pucat sekali. Apa yang terjadi padamu?"

Tubuh Tommy berdesir hangat ketika ia menangkap nada khawatir yang terselip dalam pertanyaan Jimmy.

"Aku akan menjelaskannya padamu nanti. Namun, bisakah kita pindah dari sini terlebih dahulu? Aku kedinginan. Petugas-petugas itu membuatku harus berdiri lama di luar gedung ini."

Jimmy baru menyadari akan angin yang berhembus kencang pada malam hari itu. Ia kemudian mempersilakan Tommy untuk berjalan duluan memasuki gedung JMK Studio. Jimmy di belakangnya ikut menyusul sambil menggigit sekali lidahnya sendiri.

Sakit.

Sekarang, Jimmy percaya bahwa apa yang sedang terjadi saat ini bukanlah mimpi. Tidak seperti semua kejadian yang sudah ia lewati sebelum-sebelumnya, yang membuat Jimmy selalu terbangun dari tidur dengan peluh bercucuran dan sudut mata yang basah.

•••

Kini keduanya duduk saling bersisian di sofa panjang yang terletak di dalam lobi. Mereka sama-sama bungkam. Diam seribu bahasa. Tommy memperlihatkan gelagatnya yang tampak gelisah sementara Jimmy menahan gejolak emosi yang entah sejak kapan mulai membara dalam dirinya.

Tommy tak seharusnya ada di sini.

Tommy tak seharusnya kembali.

Tommy tak seharusnya muncul lagi di hidup Jimmy.

Kebohongan besar namanya jika Jimmy berkata ia tak senang dengan kehadiran Tommy, jika ia tak rindu dengan sosok mungil itu. Nyatanya, Jimmy hampir menyentuh kata bahagia andai saja ia tak mengingat apa yang sudah Tommy lakukan terhadapnya.

Kecewa yang Jimmy miliki terasa lebih besar daripada rasa-rasa di atas tadi.

Jimmy jadi bingung sendiri. Ia bukanlah seseorang yang pandai mengambil jalan. Ia tak tahu harus melakukan apa. Melihat Tommy dengan kondisi yang tak semestinya membuat beribu pertanyaan mampir di kepala Jimmy, tetapi di satu sisi Jimmy juga tidak sanggup untuk berada dekat dengan Tommy.

Nothing Else MattersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang