Fallen Heart

136 27 0
                                    

September, 2015.

Komunikasi dan kejujuran adalah dua dari sekian banyak hal penting yang ada dalam sebuah hubungan. Tanpanya, hubungan yang sangat dekat sekali pun akan terasa jauh dari jangkauan.

Itulah yang terjadi selama lebih dari sepekan ini.

Jimmy dan Tommy seperti sedang berada dalam situasi perang dingin. Jimmy yang sudah kelewat lelah untuk menanyai dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi akhirnya memilih untuk membiarkan Tommy sampai sekiranya Tommy dapat dengan sendirinya berbagi masalah yang ada. Tindakan Jimmy justru membuat Tommy semakin kalut, dan semua ini tak akan jadi rumit jika saja Tommy berani serta sanggup untuk mengatakan segalanya.

Namun, sayang. Tommy jauh dari kata berani dan sanggup.

Tommy terlalu takut untuk menerima kenyataan.

Keputusan bersama yang diambil secara sepihak tentu tak akan berakhir dengan baik. Persetan. Tommy tak peduli. Ia mengemasi pakaiannya sambil berlinang air mata. Tangannya gemetar sebab terlalu terburu-buru. Tommy harus pergi secepat mungkin sebelum Jimmy kembali, tetapi keberuntungan sepertinya memang sedang tak berpihak pada Tommy.

Jimmy muncul tepat ketika Tommy membuka pintu.

"Phi, apa yang kau lakukan? Kau mau ke mana?"

Tommy tak menjawab. Ia berusaha menerobos satu-satunya akses keluar meski Jimmy menahannya.

"Kau itu kenapa sih, Phi?!" Jimmy menggebrak pintu di sisinya. "Kenapa kau tak mau berterus terang? Kenapa kau biarkan kita berada dalam ketidakjelasan seperti ini?!"

"Cukup, Jimmy!"

Tommy membanting tas ranselnya sekuat tenaga. Tangisnya pecah semakin keras. Tommy memeluk tubuhnya sendiri ketika ia tak sanggup lagi untuk berdiri. Kepalanya berdenyut sakit.

Jimmy menutup pintu apartemen sebelum perhatian para tetangga tertuju pada mereka. Ia lalu berjongkok di hadapan Tommy sambil sekali lagi menanyakan pertanyaan yang sama. Kali ini dengan nada yang lebih stabil.

"Mereka benar. Aku tak seharusnya mencintaimu."

Mata Jimmy melebar. "Apa?"

Tommy mengangkat kepalanya. Netra yang dilingkupi ketakutan tingkat tinggi milik Jimmy, bertemu dengan netra penuh keputusasaan milik Tommy.

•••

"Kenapa, Yah? Bu? Sepertinya ada hal yang sangat serius di sini."

Ibu Tommy melirik sejenak pada sang suami. Seperti sedang memberi kode supaya mereka langsung terjun pada poin penting yang harus disampaikan.

"Begini," ayah Tommy berdeham. "Kau masih ingat dengan Fai? Teman kecilmu?

Tommy mengangguk. "Ya. Aku mengingatnya."

"Kami ... kami berniat akan menjodohkanmu dengannya, dan orang tua Fai setuju dengan itu. Kami bahkan sudah membicarakan tanggal pernikahan kalian."

"Apa?!" Tommy memandang ayahnya tak percaya. "Bagaimana bisa Ayah melakukannya tanpa meminta persetujuan dariku? Mengapa mendadak begini?"

"Tommy ...." Ibu Tommy mencoba menenangkan sang anak. "Apa yang kami lakukan adalah yang terbaik untukmu."

Tommy menggeleng kuat-kuat.

"Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak akan mau dijodohkan seperti ini."

"Kau tidak bisa menolaknya, Tommy!"

"Kenapa tidak bisa?!" Suara Tommy tak kalah tinggi dari ayahnya.

Nothing Else MattersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang