"Yah, gak ada tempat duduk lagi. Gimana dong?" tanya Riska lesu.
Areta menarik tangan Riska ke kursi di pojokan yang terlihat baru saja kosong. Riska mendengus kala melihat tangannya ditarik. Sayangnya, belum sampai kursi di pojokan, Riska malah tak sengaja menabrak seorang cowok. Ini semua gara-gara Areta!
Areta yang merasa tarikannya berat pun membalikkan badannya 180° ke belakang, betapa terkejutnya ketika melihat Riska menabrak seorang cowok yang dikenal bobrok dan jail.
Areta melepaskan tarikannya, membuat Riska hampir terjatuh jika saja cowok itu tidak menaruh kedua tangannya di punggung Riska. Guna menopang tubuh Riska yang sedikit lagi menyentuh lantai.
Mereka berdua bertatapan cukup lama dengan pikiran yang melayang entah ke mana.
"Woy, malah tatap-tatapan! Awas jatuh cinta." Teriakan Areta membuat mereka gelagapan dan langsung berdiri.
"Ma--maaf. Gue ga sengaja."
Bukannya marah atau memaklumi, cowok itu justru tertawa membuat Riska kebingungan. Ia merasa aneh dengan cowok satu ini.
"Bayar lo! Mood makan gue hilang gara-gara lo. Kalau ga ada gue tadi, lo juga pasti udah jatoh," suruh cowok itu seenaknya.
Riska menatapnya tajam. "Gak mau! Oh iya, makasih pertolongannya Cowok Perhitungan! Amit-amit gue nanti punya pacar kayak lo."
"Lo pikir gue mau? Ogah!" balas cowok itu sengit.
Riska memasang wajah juteknya lalu menarik tangan Areta untuk pergi. Belum dua langkah, tangan Riska yang kosong ditarik kembali oleh cowok itu.
"Karena lo ga mau bayar, berarti lo udah ganggu hidup gue. Maka hidup lo harus gue ganggu juga," peringat cowok itu dengan nada main-main. Sengaja, ia memang terlalu humoris untuk keadaan serius.
Padahal tanpa sadar kata-kata mereka itu, mungkin dapat menjadi boomerang untuk diri masing-masing.
Riska melepaskan pegangan cowok itu dengan kasar, tak peduli dan tak takut. "Dasar Cowok Gila, perhitungan lagi! Baperan, gue cuma ga sengaja aja didramatisir banget. Inget, ya, gue udah minta maaf dan ngucapin makasih!"
Areta menatap Riska tak percaya, sangat terlihat sekali Riska tak tahu siapa Riordan ini. Memang, sih, mereka baru lima hari di sini, masih adik kelas pula. Tapi, tetap saja. Masa cowok yang terkenal bobrok, tapi ganteng ini ga dikenal sama Riska?
"Apa Riska benar-benar tak tahu cowok itu? Apa ia tidak takut dijaili?" Areta berpikir dalam hati.
Areta menarik tangan Riska ke kursi pojokan menjauhi cowok itu. Tatapan dari berbagai siswa mereka hiraukan. Meski Riordan, Riska, atau Areta sekali pun tidak terlalu terkenal, namun tetap saja kebisingan tadi membuat hampir seluruh penghuni kantin tertarik menontonnya.
"Lo ga tau siapa cowok tadi? Beneran ga tau?!"
Riska menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu. "Bodo, deh. Siapa pun dia gue ga takut dan ga peduli."
"Itu Riordan, yang terkenal paling gila di antara teman-temannya. Dia juga seangkatan sama kita, cuma karena ulah mereka yang bikin ngakak, mereka jadi lumayan terkenal," jelas Areta.
"Oh. Palingan ulah bandel, ya, 'kan?" Riska yang awalnya tak tertarik mengetahui hal tentang cowok itu, jadi sedikit tertarik.
Ingat, hanya sedikit.
Areta sebenarnya masih tak percaya kalau Riska tidak mengenal Riordan, cuma biarlah ia akan menceritakan kembali. Hitung-hitung sarapan ngakak. "Ya, ga bandel juga, sih. Lo tau Pak Apin yang botak yang terkenal galak?"
Riska mengangguk dua kali.
"Pak Apin yang sering dipanggil Pak Ipin karena botak itu, lo tau, 'kan?"
Riska mengangguk lagi, dua kali.
"Nah, Pak Ipin itu--"
Ucapan Areta terpotong kala mendengar suara dari seseorang yang ia sebut-sebut. "HEY, SIAPA YANG BERANI MANGGIL SAYA DENGAN IPIN LAGI?!"
Iya, yang memekik membuat telinga sakit itu Pak Apin. Dirinya sangat tidak suka dengan panggilan Pak Ipin, memang dia itu botak terus ga lulus-lulus TK apa?!
Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala Riska. Dalam hati ia memuji dirinya sendiri, otaknya sungguh bekerja di saat yang dibutuhkan.
Riska mencari laki-laki yang berteriak memekik membuat telinga sakit itu. Memutar kepala ke arah kiri, ah dapat. Riska melangkahkan kaki menuju Pak Ipin—maksudnya Pak Apin.
Perbuatan Pak Apin tadi membuat kantin hening, hingga derap langkah Riska terdengar walau kecil. Areta melotot, apakah Riska akan melaporkannya pada Pak Apin?
Saat sampai, Riska tersenyum. "Tadi saya dengar, Riordan yang manggil Bapak dengan sebutan itu."
Riordan yang sedang bermain game di ponselnya pun sontak mendongak. Ia melebarkan kedua mata dan seolah bertanya apa maksud Riska melakukan itu.
"Oh gitu, ya, Rio? Dasar Goriorio! Sini kamu," perintah Pak Apin dengan nada yang dapat membuat bulu kuduk merinding.
"Bu–bukan saya, Pak. Beneran, saya ga boong. Cewek aneh itu yang fitnah," ungkap Riordan takut dihukum.
Pak Apin berkacak pinggang. Mampus sudah, gaya berkacak pinggangnya ini ciri khas ia ketika akan menghukum siswa sedikit kejam.
"Dipikir saya percaya? Dari awal kamu masuk, kamu udah ga suka sama saya, 'kan? Sampai-sampai videoin pas saya lagi joget di toilet, terus di-upload ke Instagram dan tag saya pula. Mau ditaruh mana wibawa saya, hah?! Sini kamu, ga pake penolakan."
Riordan menghela napas, masih bingung dengan Pak Apin. Memang apa salahnya yang meng-upload video Pak Apin di Instagram lalu dipakaikan lagu Tiktok? Riordan pikir kan Pak Apin lagi latihan buat konten.
Riordan tak dapat berkata-kata lagi. Mau ia bilang kenyataan yang terjadi tadi pun, tak mungkin Pak Apin percaya.
Riordan memindahkan kakinya dari bawah meja ke lantai. Langkah demi langkah pelan ia berjalan hingga sampai ke Riska dan Pak Apin.
"Pak, kalau Bapak ngerasa saya salah pas itu, saya minta maaf, Pak. Tapi kan ga gila, ga seru, Pak! Ter--"
"Ya iyalah, kau salah! Masih pakai kalau juga?! Terus apa kau bilang ga gila, ga seru? Kamu bilang saya gila?" potong Pak Apin dengan satu nada bicaranya dinaikkan lebih tinggi.
Riordan menunduk. "Iya, Pak, maaf. Maksud saya, kalau ga lucu itu ga seru, ah pokoknya ga gila, ga seru. Tapi yang manggil Bapak dengan sebutan itu, tadi, tuh bukan saya."
"Jangan percaya, Pak. Dari awal aja dia udah ngerjain Bapak, pasti dia mau ngerjain Bapak lagi dengan buat Bapak marah. Terus nanti Bapak darah tinggi, terus Bapak kena stroke, habis itu meninggal. Pasti saat itu Riordan senang." Riska memanas-manasi dengan mulut julidnya.
Riordan mendelik. Sungguh tak terima difitnah seperti itu. "Heh, Cewek Aneh! Gue aja ga tau nama lo, gue juga ga punya urusan sama lo, kenapa lo fitnah gue, sih?"
"Itu bukan fitnah, Goriorio! Udah deh, ngaku aja." Belum Riska menjawab keluhan Riordan, malah Pak Apin yang menjawab duluan.
"Kenapa hidup hamba-Mu gini banget?" lirih Riordan seraya menengadah ke atas.
Berpura-pura dramatis agar tidak jadi dihukum.
"Dramatis," cibir Riska pelan. Hanya Riordan yang dapat mendengarnya.
Riordan yang ingin membalas ucapan Riska pun mengurungkan niatnya. Ia mendengar kalimat yang membuat dirinya ingin menghilang saja dari bumi.
"Bersihkan toilet kantin sekarang. Setelah itu, kamu wajib baca dua buku di perpustakaan minimal 100 halaman lalu buat ulasannya. Ah, ya, jangan lupa, sesudahnya kamu antarkan semua makanan yang sudah dipesan ke ruang guru. Tenang saja, Bapak sudah bayar semuanya."
"Ta--"
Baru saja Riordan ingin berucap, lagi-lagi dipotong oleh Pak Apin. "Oh iya, sehabis pulang sekolah, kamu juga wajib ketemu guru BK agar diajar tata krama dan sopan santun di sekolah. Ga lama, paling dua jam."
"Ayo bunuh gue sekarang." Riordan berpasrah dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ga Gila, Ga Seru!
Teen Fiction(Budayakan vote dan komen saat membaca :>) Spin off Prata Story >>>>>>>>>>>>>>><<<<<<<<<<<<<<< Awal perkenalan Riordan dan Riska tidak klasik seperti, "Hai, gue Riordan. Salam kenal." "Hai, gue Riska. Salam kenal." Tidak, tidak begitu. Mereka kenal...