Kau terlihat memelukku, namun nyatanya pelukanmu hanya akan membuat pisau yang kau tancapkan menjadi lebih dalam.
_____
"Yuhu mbak Aquila, minta obat merah dong!" Gama menyembulkan kepalanya dibalik pintu UKS.
Qila yang tengah sibuk mencatat rekapan reflek memelototkan matanya, dengan telunjuk di depan mulut, menyuruh lelaki itu diam.
Gama segera mengatupkan mulutnya, berjalan menghampiri Qila. Sebagai ketua ekskul PMR, Qila memang kerapkali menghabiskan waktu di sana, membantu Bu Santi-katanya.
"Ada yang sakit, lo jangan berisik!" omelnya dengan suara tertahan.
Gama melirik ke samping kanan, ada lima bankar, dengan dua diantaranya sudah berpenghuni.
Gama cengengesan, "sorry, biasanya UKS gak pernah laku, selain hari Senin" kelakarnya.
Qila hanya mencebik, menyodorkan buku kunjungan di depan Gama.
"Bu Santi mana?" tanya Gama sembari mengisi nama dan keterangan keluhan.
"Lagi beli sarapan." Qila melirik Gama yang sedang mengisi daftar kunjung.
"Minta obat buat bersihin luka?"
"Iya."
"Jatuh dimana?"
"Di gelanggang belakang, deket kolam renang."
Qila menelisik Gama dari atas sampai bawah. "Lo kelihatan baik-baik aja," tambahnya.
"Ya emang bukan gue yang jatuh Mbak, temen gue."
"Siapa?" tanya gadis itu, yang kini beranjak membuka etalase, tempat semua obat-obatan tersimpan.
"Si dekil, Nara." Gama membalas singkat. Qila tak mengenal Nara, hanya sesekali pernah berpapasan. Itupun mereka tak pernah bertegur sapa. Ia hanya mengenal Gama, karena dulu mereka satu SMP.
Gadis dengan poni tipis itu menyodorkan kotak P3K mini. Gama segera menerimanya, namun bukannya beranjak pergi, lelaki itu malah bergeming di tempatnya. Membuat kerutan dalam di dahi Qila.
"Kenapa masih disini? Ada yang kurang?" tanya Qila memastikan.
Gama menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Itu ... ini bayarnya dimana?"
Qila menatap lelaki di depannya tak percaya. Bukan rahasia umum jika Gama adalah manusia, yang seringkali membuat si lawan bicara mengelus dada.
"Ini UKS Gama, bukan Apotek! Mana ada bayar disini."
Gama menyengir, menampilkan deretan giginya yang rapi. "Oh gitu ya." Cowok itu lantas menunjuk bankar sisi kanannya. "Itu yang lagi sakit, dirawat disini juga gak bayar?"
"Enggak."
"Kalau gue kena tipes, dirawat disini nggak bayar, juga?"
"Enggak bayar, gratis."
Mata Gama membola. "Beneran bisa, Mbak?"
"Bisa," senyum manis Qila terbit. "Hari ini di rawat, besok udah bisa pulang ke rumah buat dimakamkan."
Gama mendelik, wajahnya berubah masam, "Manusia gak bener lo, Mbak."
"Pertanyaan lo yang gak bener!"
"Hehehe."
"Haha, hehe." Qila menirukan tawa Gama dengan wajah datar. "Sebelum gue darah tinggi, mending lo cepetan pergi."
"Enak dong Mbak, darah tinggi, darahnya banyak. Jadi kalau digigit nyamuk darahnya gak habis-habis."
"Gam...." Qila mendesis galak, dengan satu tangan teracung, bersiap melemparkan bolpoin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beloved-II: Season of Nara [Completed]
Novela JuvenilSeperti puzzle, kepingan demi kepingan dimasa lalu muncul begitu saja saat Nara mencoba menutupnya rapat-rapat. Semakin ia mengabaikannya, kepingan itu semakin mengusiknya. Nara merasa bahwa dirinya telah berlari sejauh mungkin. Namun saat ia menole...