Prolog

150 34 13
                                    

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, setting, ataupun kemiripan alur itu hanyalah kebetulan semata. Mohon dipahami.

***


Awan hitam menggantung cantik menghiasi langit di sore ini. Seakan menegaskan betapa perkasanya dia bisa menangkal sinar matahari untuk menemui sang buminya.

Pak Begjo-supir papahku-mengendarai mobilnya cukup cepat, seperti adu balap dengan hujan yang mungkin akan turun. Ramai kemacetan sudah biasa, tak membuat pak Begjo mengeluh, dan tetap memacu mobil dalam keadaan stabil.

Tak terasa mobil sudah memasuki rumah, melewati gerbang yang telah dibuka oleh mbok Maryam. Aku yang setinggi 120 cm sedikit kesusahan saat akan keluar dari mobil sambil membawa gitar elektrikku dan sebuah piala yang cukup besar. Untung saja mbok Maryam membantuku dengan membawakan gitar masuk ke dalam rumah.

Aku masih memakai pakaian serba hitam yang dibalut dengan jaket jeans saat memasuki rumah. Aku sedikit berlari memasuki rumah sambil membawa piala yang tingginya hampir separuh tubuhku. Tak lupa pula aku meneriakkan kata, "mamah," untuk menandakan aku sudah pulang.

Mamah yang terlihat sedang sibuk di dapur langsung mengahampiriku, menanyakan apa yang terjadi. Aku pun menjelaskan, bahwa aku sudah menjuarai kompetisi gitar solo elektrik anak-anak se'ibu kota sebagai juara satu. Mamah yang tidak mengetahui aku mengikuti kompetisi itu berteriak senang dan memanggil papah untuk melihat piala yang aku bawa. Betapa senangnya aku melihat mamah bahagia.

Papah pun datang dengan langkah kaki yang mantap, dan menatap piala yang aku bawa saat sudah berada di dekatku. Selama beberapa detik papah hanya menatap piala dan gitarku secara bergantian, hingga akhirnya suara keluar dari mulut papah.

"Jadi ini yang buat nilai semesteran kamu turun?"

Hening.

"Jadi ini yang buat kamu tidak ranking? Bahkan tidak masuk 10 besar," ucap papah datar. Mamah yang ada disamping papah hanya mengelus punggung lelaki bertubuh tinggi itu. Sedang aku masih mematung mendengar ucapan papah.

"Lihat kakakmu, dia bisa ranking dua," sambung papah.

"Tapi Pah, anak kita ini juga juara satu loh. Lombanya tingkat kota lagi." Mamah berusaha membelaku, setidaknya aku tidak perlu bersuara yang bisa membuatku menangis.

"Tapi itu lomba gitar kan Mah, bukan lomba akademik. Terus juga bukan ngewakikin sekolah. Lagian papah masukin mereka ke sekolah musik itu bukan biar mereka lebih mentingin musik dari pada pendidikan." Papah masih kekeh dengan pendiriannya.

"Dengar yah Nak, Papah ingin kamu lebih mentingin akademik dari pada gitarmu itu. Kamu harus ingat, kalau kakakmu bisa, kamu juga harus bisa," titah papah yang langsung pergi ke ruang keluarga untuk menyalakan televisi.

Aku masih terdiam, mendengarkan perkataan papah yang masih terdengar di telinga. Entah sampai kapan aku selalu salah dan kurang. Entah sampai kapan aku harus menjadi boneka papah, menjalankan kehidupan yang papah inginkan.

Tangan lembut itu mengusap pundak dan beralih mengusap pipiku, itu tangan mamah. Raut wajahnya seperti berkata, "sudah, jangan terlalu dipikirkan ucapan papahmu itu," yang aku jawab dengan anggukan kecil dan sedikit senyuman yang membuat mamah ikut tersenyum.

"Alfi mau ke kamar dulu, Mah. Mau istirahat."

Yang diajak bicara mengiyakan, dan aku langsung berjalan gontai ke kamar sambil membawa piala yang tak ada harganya di mata papah.

Terdengar suara memanggil-manggil namaku dari luar rumah saat aku baru saja membaringkan tubuh di atas dipan. Terpaksa aku harus melihat ke arah jendela untuk melihat siapa yang memanggilku.

Ternyata anak itu.

Dia berteriak memanggi namaku dari halaman samping rumahnya, sambil membawa kertas besar bertuliskan, "selamat Alfi atas kemenangannya." Aku yang melihat hal itu langsung tersenyum senang dan membuka jendela agar bisa jelas mendengar suaranya.

"Terima kasih, Alya," ucapku sedikit berteriak.

Dia hanya melambai-lambai bahagia dan tak berhenti tersenyum. Aku akhirnya memamerkan piala yang baru saja aku dapat dan ikut berjingkrak dari dalam kamar sendirian. Bersama kita tertawa bahagia, melepas semua hal sedih yang membuat hidup semakin pedih.

Semoga saja selalu ada yang menemaniku melewati keadaan yang membuatku semakin rapuh. Entah sampai kapan, tapi aku harap selamanya.

***

Gimana cerita pertamaku ini?
Kalau ada typo komen yah, biar nanti aku perbaiki
Dan jangan lupa vote😉

GALVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang