[10] Kepercayaan Hanya Harapan (2)

33 10 3
                                    

kebenaran pasti akan menang di atas segalanya

***

Aku masih duduk terdiam di depan tenda darurat tempat Risa diamankan. Sekarang sudah pukul 02.17 WIB, dan Risa belum tersadar. Di dalam ada anak-anak PMR yang menangani. Mungkin kalau sampai pagi Risa belum sadar dia akan dibawa ke puskesmas. Tapi entah, sampai sekarang Gilang tidak bicara apapun padaku.

Anak-anak yang lain kembali tidur di tenda masing-masing, ada juga yang masih duduk-duduk entah sedang apa. Ketiga temanku masih menunggu disini, menemaniku dalam keheningan. Raka sedang nikmat merokok, Theo sibuk dengan game onlinenya, dan Dika sama sepertiku-hanya duduk diam menerawang entah kemana.

Sedetik kemudian aku mendengar Gilang menyebut nama Risa panik, sepertinya dia mulai sadar. Aku dan ketiga temanku refleks langsung masuk ke tenda melihat keadaannya. Di dalam sudah ada Gilang beserta tiga anak buahnya, dan juga ada beberapa anak PMR. Aku berjalan mendekat ke arah Risa yang dibaringkan di atas velbed-tempat tidur lipat-milik PMR.

Risa membuka mata dan malah histeris. Entah dia ketakutan karena dirubungi anak-anak cowok, atau karena teringat kejadian sebelum ia pingsan, atau mungkin dia ketakutan melihatku. Gilang berusaha menenangkan Risa, tapi dia tetap histeris.

"Pergiii!! Sana pergii!" Risa masih berteriak sambil memukuli Gilang-karena dia yang paling dekat dengan Risa. Bukannya menenangkan Risa, Gilang malah berbalik ke arahku dengan mata merahnya.

"Lo liat! Bahkan Risa histeris liat lo!" Gilang kembali menuduhku.

"Kurang bukti apa, hah?!" Kali ini Gilang mulai mencengkram kerah bajuku-lagi. Aku hanya diam menatap tajam matanya.

"Gilang, lo apa-apaan sih. Kondisi Risa masih belum stabil gini lo malah teriak-teriak begitu," ucap salah satu anggota PMR. Gilang mulai melepaskan cengkramannya dan berbalik ke arah Risa yang masih menangis.

"Mending kalian yang cowok keluar dulu, biar Gilang sama PMR aja yang disini. Mungkin Risa masih takut," ucap anggota PMR yang lain.

Aku dan ketiga temanku menurut, kami keluar dari tenda. Anak buah Gilang masih mengawasiku. Aku tak takut. Karna aku percaya, kebenaran pasti akan terungkap. Setelah lumayan lama, Gilang keluar dari tenda dengan wajah yang lebih tenang.

"Risa masih belum bisa tenang," ucap Gilang padaku.

"Gue udah telpon bokap. Risa mau gue bawa pulang, mobil dari rumah udah jalan. Dan lo ikut gue," sambung Gilang yang ku balas dengan sebuah anggukan.

Mobil pun datang setelah cukup lama menunggu. Risa dibopong Gilang sendirian. Ternyata dia sudah tertidur, pantas saja dari tadi aku tak mendengar jeritannya lagi. Hampir tidak ada yang melihat Risa dibawa pulang. Semua sudah tertidur. Hanya ada anak yang berjaga, anak PMR, anak buah Gilang, dan juga ketiga temanku.

"Gue nitip ransel sama barang-barang gue yah. Ntar tolong dikasihkan ke Alfa," ucapku pada ketiga temanku.

"Gue juga nitip Alya. Barangkali dia kenapa-kenapa tolong dibantu," sambungku.

"Tenang aja, Van."

Aku ikut masuk ke mobil Gilang setelah melihat senyuman dari teman-temanku. Aku beruntung masih ada yang percaya dan peduli padaku. Disaat perasaan cinta membuatku hancur tak berdaya, ada ikatan persahabatan yang selalu berdiri tanpa lelah.

Mobil berjalan cepat menuju rumah orang tua Gilang. Gilang duduk di kursi tengah dan Risa berbaring di pangkuan Gilang. Sedangkan aku duduk di kursi belakang sendirian. Pak supir sudah membelokkan mobil ini memasuki rumah Gilang.

GALVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang