[11] Terlambat, Tapi Sudahlah

37 9 3
                                    

Sudah dua hari sejak kejadian Risa ditemukan pingsan di acara camping. Kemarin bu Ani telpon, katanya Risa sudah sangat baik, namun belum bisa menceritakan semua kejadian secara jelas. Risa teriak-teriak saat ketakutan itu muncul kembali. Akhirnya sang ibu membawa Risa ke psikolog untuk ditangani secara tepat.

Selama dua hari itu pula aku hanya berdiam di dalam kamar, kadang menulis coretan-coretan, kadang membaca, kadang bermain game online, dan kadang juga hanya duduk melamun memandang ke luar jendela. Mungkin papah tidak menyuruhku untuk tetap di dalam kamar, tapi aku sadar diri, papah pasti sedang tidak ingin melihatku. Dan aku tidak ingin bertengkar dengan papah lagi yang bisa membuat mamah menangis.

Tapi dengan aku mengurung diri di kamar juga membuat mamah panik, takut aku melakukan hal buruk di sini. Mungkin mamah berpikir aku akan bunuh diri, tapi aku tidak selemah itu, menyelesaikan masalah yang hanya akan menambah masalah di dunia lain.

Hampir setiap waktu mamah melihatku di kamar. Kadang mamah membawa makanan, minuman, cemilan, atau hanya sekedar menanyakan kabarku. Waktu kemarin Alfa juga menemuiku, sekedar bertegur sapa dan menanyakan kabar.

Aku senang, karena mamah dan Alfa masih sedikit mempercayai ku. Itu adalah penambah semangat di saat ada tuduhan seperti ini. Namun masih saja aku merasa ada bagian yang hampa, yaitu kabar dari Alya.

Semenjak kejadian itu, Alya sama sekali tak pernah menghubungiku. Bahkan dia sama sekali tak terlihat duduk di gazebo lagi. Aku takut Alya membenciku, tapi aku lebih takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada Alya karena sudah dua hari aku tak tahu kabarnya.

Terdengar suara ketukan pintu saat aku sedang menatap ke luar arah jendela, dan tanpa jawaban dariku pintu itu sudah dibuka. Ternyata mamah dengan senyumnya yang masuk ke dalam kamarku. Dengan lembut mamah memanggilku dan berjalan mendekat. Mamah berkata, ada keluarga pak Surya yang datang berkunjung bersama Risa yang ikut serta.

Aku paham, dan bersiap-siap untuk turun menemui mereka. Aku mengusap wajah dengan air mengalir agar kerut-kerut kekecewaan sedkit menghilang. Meskipun ku tau, kekecewaan itu akan tetap ada sampai kapan entah aku tak tahu.

Aku berjalan turun ke bawah dengan pelan, berusaha agar langkah kakiku tak terlalu terdengar. Namun gagal, mereka tetap mendengar langkah kakiku dan langsung mencari si sumber suara. Semua menghadap ke arahku dengan tatapan yang berbeda-beda.

Aku ikut duduk di sofa, di samping Alfa yang juga ada di sini. Pak Surya ternyata datang ke sini bersama keluarganya lengkap-Bu Ani, Gilang, dan juga Risa. Risa sudah nampak sangat sehat, terlihat dari sinar matanya. Namun entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, Risa terlihat malu dan seperti sedikit takut.

Sekarang kami masih saling sapa biasa, menanyakan kabar dan pekerjaan sambil menikmati suguhan yang sudah disediakan. Hingga akhirnya papah yang mengawali, menanyakan kabar tentang Risa.

Pak Surya menjawab, bahwa tujuannya kesini adalah untuk mengabari kondisi Risa yang sudah sangat baik sekaligus menjawab teka-teki kejadian yang telah menimpa Risa. Risa yang menjadi objek pembicaraan hanya tertunduk sambil didekap sang ibu.

"Bukan nak Vano yang berusaha menyentuh anak kami, Alhamdulillah Risa sudah bisa cerita semuanya. Namun sayangnya Risa tidak melihat jelas siapa lelaki itu," pak Surya menjelaskan.

Kami semua terdiam memikirkan solusi apa yang tepat untuk disarankan. Papah terlihat memijit keningnya sendiri, dan bu Ani terus mendekap sang putri agar ketakutan itu tak datang lagi.

"Saya tau orangnya," ucapku memecah keheningan. Semua kaget dan langsung menatap tajam ke arahku. Tatapan seperti bertanya, "maksud kamu apa?" Bahkan Risa terlihat melotot kaget mendengar perkataanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GALVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang