[6] Aku Baik

37 17 1
                                    

"Lakukanlah hal baik bukan karena untuk menunjukannya pada siapapun.
Tapi lakukanlah hal baik karena itu adalah kewajiban sebagai manusia
yang harus saling memanusiakan."

***

Mentari pagi sudah lama menampakkan sinarnya. Hari minggu membuat aktivitas terasa berjalan lamban. Jalan protokol pun sepi entah karena banyak keluarga yang sedang berlibur ke gunung, pantai, ataupun mereka masih terlelap berselimut tebal di dalam kamarnya.

Hari minggu ini aku akan latihan band, semalam Dika yang mengabari. Biasanya kami berlatih band di studio dekat sekolah. Aku memacu motor retroku dengan santai. Sekarang masih pukul 7 pagi, pasti yang lain masih belum bangun.

Aku sangat suka bermain alat musik dari mulai gitar, bass, piano, drum, bahkan biola. Tapi aku lebih suka gitar, apalagi gitar akustik. Karena gitar akustik bisa menetralkan emosiku, merambat sesuai nada yang keluar dari petikannya.

Aku sampai di studio sekitar pukul delapan lebih, dan benar saja mereka belum ada yang datang. Aku memilih duduk di atas motor sambil menyalakan rokok yang ku bawa dari rumah. Aku suka merokok, tapi aku tidak suka merokok di tempat umum. Karna pasti ada yang tidak suka dengan asap rokok atau bahkan sampai alergi.

Biasanya wanita banyak yang tidak suka asap rokok, begitupun Alya. Itu sebabnya aku tidak pernah merokok di depan Alya, meskipun Alya juga tau kalau aku perokok. Di rumah pun aku menghindarinya. Bukan karena takut dimarahi papah, tapi karena mamah dan Gea-adikku-juga tidak suka asap rokok.

Sebenarnya aku heran, kenapa orang-orang sering mencap jelek orang yang merokok. Padahal para publik figur, pejabat, bahkan tokoh masyarakat dan agama pun banyak yang perokok. Hanya saja mereka tidak pernah mempublis dalam media. Aku tahu merokok itu bisa merusak tubuh, dan aku terima resiko itu.

Lagi pula aku pribadi bukan termasuk perokok berat. Aku hanya merokok diwaktu senggang, seperti sekarang ini. Dan prinsipku, mungkin aku memang merusak tubuh sendiri tanpa sadar, tapi aku tidak boleh merusak tubuh orang-orang disekitar dengan asap rokokku.

"Bruumm" terdengar suara mobil. Sepertinya itu Dika

"Eh Van, udah lama?" Benar saja, Dika langsung menghampiriku setelah keluar dari mobilnya.

"Eh Pak, nanti aku telpon yah," ucap Dika pada sang supir yang langsung mengiyakan ucapak Dika.

Dika adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang pengusaha pakaian khas Jawa seperti batik, kebaya, dan beskap. Keluargaku juga sering memesan pakaian di ayahnya Dika, karena model pakaiannya cukup trendi meskipun terkadang batik sering dianggap kuno. Ayah Dika menginovasikan batik menjadi pakaian anak muda yang modis.

Usaha Ayah Dika masih tergolong kecil, baru buka satu butik di Ibukota. Namun kata Dika, ayahnya sedang melebarkan sayap dengan membuka cabang lagi,  karenanya sekarang mereka sedang berhemat. Dan keluarga Dika hanya punya dua kendaraan yaitu mobil. Satu untuk dipakai ayahnya bekerja, dan satu lagi untuk dipakai bersama dika, ibunya, dan kedua adiknya.

Dika biasa memakai mobil Toyota yaris warna hitam dan pasti diantar oleh supir. Setiap sekolah pun Dika diantar jemput bersama adik-adiknya yang lain. Kata Dika, sebenarnya sang ayah juga sengaja tidak mau membelikannya kendaraan sendiri supaya Dika tidak terlalu sering keluar main dan bisa fokus belajar. Berhubung Dika memang suka belajar, jadi dia menurut saja.

"Kira-kira aja sendiri gue di sini udah berapa lama. Nih udah habis dua batang," ucapku pada Dika sambil melempar putung rokokku yang kedua.

"Sory, gue tadi nungguin adek gue dulu. Katanya dia mau les, jadi sekalian berangkatnya bareng," jelas Dika sambil tersenyum lebar.

GALVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang