[7] SMA Peradaban

29 17 2
                                    

"Gelud kok cuma pas tawuran. Gelud ya di gelanggang tarung dong,
biar lebih keren."

***

"Sh*tt,, ngantrinya panjang banget lagi. Arghh,, kenapa juga bensinnya harus habis sekarang," aku mengumpat kesal sambil menendang-nendang ban motorku. Bagaimana tidak kesal, bensin habis saat aku sedang ngebut berangkat ke sekolah. 10 menit lagi jam tujuh dan sekarang aku masih mengantri di pom bensin.

"Tenang, Alfi," gumamku untuk menenangkan diri sendiri.

Tadi pagi aku berangkat sekolah seperti biasanya, jam tujuh kurang 20 menit. Biasanya aku bisa sampai ke sekolah dalam waktu 20 menit bahkan kurang. Gara-gara sekarang bensinku habis, jadi harus mengisi dulu di pom bensin. Dan sialnya pagi ini banyak sekali kendaraan yang sama-sama kehabisan bensin, sehingga membuat pom bensin sangat ramai. Setelah hampir lima menit, aku baru bisa mengisi bensin.

"Full," ucapku pada petugas pom.

Tanpa banyak buang waktu, aku langsung melajukan motor menuju ke sekolah. Lima menit yang terbuang tadi harus aku ganti dengan kecepatan. Okey, kita coba seberapa cepat motor retroku ini bisa melesat.

Ku libas jalanan ibukota yang padat merayap. Tak peduli macet, semua kendaraan aku simpangi. Ku lihat jam tangan, gila!! Semenit lagi bel masuk. Akhirnya ku tancapkan gas lagi seperti rudal yang sedang meluncur. Gedung sekolah sudah terlihat, diluar nampak sudah sepi. Awas saja kalau gerbang sudah ditutup.

Ternyata dewi fortuna masih menyertaiku. Bel terdengar berbunyi, dan Pak Sa'id-satpam sekolah-sudah mulai menutup gerbang. H-1 detik gerbang ditutup, ban depan motorku bisa mengganjal gerbang agar aku bisa masuk. Yeahh ... aku tidak jadi telat.

"Permisi Pak," ucapku pada Pak Said dengan senyuman lebar tanda kemenangan.

"Kamu tuh yah, sana cepetan masuk."

Gerbang langsung ditutup saat aku memasuki sekolah. Di belakang terlihat ada siswa lain yang terlambat. Dengan sombongnya aku membanggakan diri bisa lolos dari si gerbang maut itu.

Parkiran nampak sesak, tapi untung saja masih ada tempat untuk motor kesayanganku ini. Aku langsung menuju kelas setelah memarkirkan motor. Lorong sekolah nampak sepi karena jam pertama sudah dimulai. Saat aku melewati lorong kelas IPA, ku lihat Alya sedang ngobrol dengan seseorang di luar kelasnya. Aku melambaikan tangan ke arahnya, dan Alya hanya melongo heran melihatku di luar kelas dan masih mengendong tas sekolah.

Dulu waktu SD, aku Alfa dan Alya selalu satu kelas selama enam tahun. Pas SMP kita juga satu kelas selama dua tahun, dan saat kelas tiga kami baru pertama kali yang namanya beda kelas. Hingga sekarang SMA, kami pun beda kelas bahkan beda jurusan. Alya masuk IPA, tepatnya kelas MIA 1. Sedangkan aku dan Alfa masuk IPS namun beda kelas, Alfi kelas IIS 2 dan aku IIS 4.

Dulu waktu kami satu kelas, absen kami pasti selalu berurutan. Alfa, Alya, baru aku. Mungkin karna takdir, awalan nama kami abjadnya berurutan. Dhenalfian Galfano Wijaya (Alfa), Galyarista Sofia Ramadan (Alya), dan aku Ghenalfian Galvano Wijaya. Kadang guru yang mengabsen kami pun lidahnya sedikit terbelit gara-gara membaca nama kami berurutan.

Aku masih melihat ekspresi bingung Alya saat belok ke lorong IPS. Untung saja guru belum memasuki kelas, dan kelas terlihat ribut padahal masih pagi. Dengan santai aku masuk ke kelas penuh orang-orang absurd.

"Baru dateng lo Van. Bisa lolos dari petaka gerbang maut?" Tanya Bima si ketua kelas.

"Gue tadi terbang, jadi Pak Said nggak liat gue," jawabku santai.

Aku langsung menuju bangku ku, tepatnya meja sebelum terakhir di barisan tengah. Aku satu meja dengan Raka, kebetulan kami satu kelas. Band kami memang terdiri dari berbagai kelas. Aku dan Raka kelas IIS 4, Theo kelas IIS 5, dan Dika kelas MIA 3. Hanya Dika yang dari kelas IPA.

GALVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang