Bab 5 : Permintaan Issa

737 116 20
                                    

🌸🌸🌸

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌸🌸🌸

"Kamu kenapa? Aku liatin banyak bengong nya." Greta menepuk pundak kanan Azhiva.

Azhiva hanya menggeleng pelan, melanjutkan kegiatannya yang saat ini tengah mengelap meja-meja cafe. Kebetulan sebentar lagi jam makan siang, cafe akan segera istirahat lebih dulu.

"Nggak Kak Gre."

"Bohong. Aku kenal kamu. Lagi kenapa?"

Azhiva menghela nafasnya kasar. "Gak tau lah. Bingung sama hidup."

"Apa yang bikin bingung?" tanya Greta yang kini duduk di kursi meja kasir sembari mencatat beberapa persediaan barang yang habis.

Hening sekejap, Azhiva berhenti mengelap meja. "Salah gak sih Kak, kalau Zi masih sering bingung."

"Nggak. Memangnya bingung dalam hal apa?"

"Zi seperti gak tau arah. Zi ngerasa juga masih butuh orang yang bisa dijadikan petunjuk kemana Zi harus berjalan. Zi yang masih buta arah ini harus nuntun adik-adik di dunia yang Zi sendiri gak tau kayak gimana," tutur Azhiva dengan wajah murung nya.

"Bingung Kak Gre, bahkan untuk jelasin kebingungan ini aja Zi gak bisa."

Greta paham kenapa Azhiva seperti ini. Dirinya dapat mengerti, memahami apa yang gadis ini rasakan. Buat Greta, Azhiva memang masih terlalu kecil untuk bisa mengerti ini. Bukan soal berapa usia gadis itu sekarang, karena hal ini bukan baru dia rasakan. Sejak tiga tahun lalu, dia sudah harus berjuang untuk dirinya bahkan kedua adiknya.

Yang mana seharusnya saat usia itu, Azhiva masih bisa terus menikmati masa remajanya, bermain, bahkan berusaha untuk menggapai mimpi-mimpi nya.

Karena, mengenal Azhiva sejak lama, membuat Greta tahu betul bagaimana dia. Bagaimana gadis ini juga sebenarnya punya mimpi, mimpi yang sekarang ini dia kubur. Azhiva bilang pada Greta bahwa, mimpinya sekarang hanya ingin kedua adiknya bisa lebih bahagia.

"Kenapa ibu dan ayah pergi ya, kak?"

"Zhiva selalu ngerasa bersalah sama adik-adik."

Greta mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Seharusnya mereka gak punya kakak seperti ku. Seandainya aku gak tuli, mungkin ibu dan ayah gak akan malu punya aku. Mungkin mereka tidak akan pergi. Mereka pergi karena aku kan, Kak? Thava dan Reva harus ikut kehilangan juga. Harusnya kalau hanya aku yang memalukan, mereka tinggalin aku aja, jangan adikku juga," kata Azhiva, matanya mulai berair.

Dia dongakkan wajahnya, mengelap pelan area bawah mata, lalu tersenyum. "Maaf, Kak Gre. Aku malah curhat. Lupain aja. Aku kerja di sini, harusnya gak kayak gini di jam kerja. Maaf ya."

Azhiva kembali membereskan meja dan kursi cafe. Agar nanti setelah selesai istirahat semua sudah rapih dan pelanggan lebih nyaman.

"Gak perlu minta maaf, Zi. Lagipula ini jam istirahat. Cerita aja sama aku kalau kamu mau. Boleh kok."

Pelangi Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang