2

58.8K 3.3K 39
                                    

Kimi menempelkan ponsel di telinganya dengan bibir mengerucut. Gava tak juga merespon pesan dan telponnya. Bahkan dia sudah dihina-hina Kila karena Gava nggak muncul juga di pintu gerbang.

"Neng, udah sore nggak capek berdiri di situ terus?" tanya satpam sekolah pada Kimi.

Kimi melirik jam tangannya menunjukkan pukul setengah empat. Dia mendadak sadar bahwa dia sedari tadi udah jadi orang tolol nunggu Gava hampir dua jam. Jadi juara olimpiade Fisika nggak menjamin dia juga pinter soal hal seperti ini.

Kimi menghela nafas berat lalu melirik pak satpam.

"Kimi pulang dulu deh pak, sampai ketemu besok pagi." kata Kimi dengan wajah kembali ceria walaupun hatinya sedih.

Kimi berjalan lemas ke arah halte, dia tak ingin naik taksi. Dia mau suasana yang ramai biar sedihnya ilang. Dia menendang sembarangan kerikil di depannya, tak berniat bikin drama siapa tahu kena orang. Tapi dia memang merasa perlu melampiaskan rasa sedihnya.

Setelah duduk beberapa lama akhirnya bus trans jurusan ke rumahnya berhenti, sudah tak seramai kalau jam-jam pulang sekolah. Kimi memilih duduk di kursi yang sebelahnya kosong, biar lebih leluasa dan bebas dari kepo. Hal biasa saat teman duduk di bus mendadak kepo saat lihat ponsel sebelahnya menyala.

Tapi sepertinya takdir berkata lain, kursi di sebelahnya langsung ada yang nempatin. Kimi tak berniat menoleh apalagi kepo, dia memilih memasang headset karena malas kalau mulai ditanya-tanya. Hal biasa saat orang asing menjadi seolah dekat saat duduk berdampingan, tapi Kimi lagi malas berbasa-basi.

Kimi membuka-buka aplikasi ponselnya. Nggak ada yang lebih menarik dari kepo akun instagram Gava yang kebanyakan berisi foto-foto koleksi tokoh miniatur, dan foto Gava bersama tim basketnya. Selama instagram Gava belum ada foto cewek selain mamanya Gava, itu adalah kelegaan tersendiri buat Kimi. Kimi tersenyum saat memandang foto Gava sedang memegang piala saat lomba basket seDIY.

"Misi mas." Kata Kimi pada cowok di sebelahnya yang sepertinya tertidur dengan topi menutupi mukanya saat kondektur bus trans mengatakan sebentar lagi akan berhenti di halte Timoho.

Kimi sedikit kesal sama cowok di sebelahnya tadi yang cuma minggirin kaki tapi nggak mau berdiri dulu kasih jalan buat dia turun.

***

Ponsel Kimi bunyi bip bip, Kimi langsung ceria melihat nama Gava di layarnya. Dia langsung melompat dari kursi belajar ke atas kasur.

Jangan nelp m kirim stiker terus, berisik

Kimi manyun tapi lalu senyum lagi, akhirnya setelah sekian lama Gava mau membalas pesannya.

Asyik.. makasih my boy udah mau balas pesanku. Lagi apa? Aku lagi ngerjain tugas.

Dua menit.

Lima menit.

10 menit.

30 menit.

Kimi menatap layar ponselnya nanar. Dia kembali mengambil nafas panjang agar dadanya tak merasa sesak. Mengerjapkan matanya berkali-kali seraya menatap langit-langit.

"Sayang."

Ketukan pintu terdengar setelah panggilan dari mama Kimi.

"Iya ma." Seru Kimi sudah berwajah cerah ceria seraya membuka pintu kamarnya.

Matanya melebar saat melihat cowok di belakang mamanya. Reflek Kimi menelan salivanya tak percaya dengan penglihatannya.

"Heh cengeng, habis nangis ya?"

"Ngapain kamu nongol di sini lagi?"

"Kimi sayang, nggak boleh gitu dong sama Abra. Jauh-jauh dia ke sini lho."

"Kimi nggak minta dia buat dateng ke sini ma. Dia sendiri yang pergi, ya udah," kata Kimi dengan mata masih menatap Abra.

Kimi memilih masuk lagi ke kamar mengabaikan Abra dan mamanya. Saat ini dia tak menginginkan kejutan seperti ini. Mendapati Abra di hadapannya setelah dua tahun lebih pergi begitu saja meninggalkannya.

"Kamu marah denganku? Aku minta maaf."

Kimi tetap sibuk dengan tugasnya walaupun sebenarnya sudah selesai dia kerjakan.

"Kimi, aku minta maaf", kata Abra seraya memegang pundak Kimi.

"Sudah kumaafkan."

"Tapi kenapa nggak mau melihatku?"

"Kimi...." kata Abra dengan nada memelas.

"Aku sibuk, sudahlah kamu pulang saja sana."

"Kamu mengusirku?"

"Iya."

Kimi merasa hatinya bergemuruh hebat saat mengatakan iya. Kenangan saat Abra tiba-tiba saja pindah tanpa memberitahunya, tanpa kabar setelah itu membuatnya semakin membenci Abra. Bersahabat, bertetangga dari bayi tapi Abra seolah tak menganggapnya penting karena Abra pindah tanpa kabar. Itu cukup menjadi alasan dia harus mengatakan iya.

Terdengar pintu kamarnya tertutup, Abra sudah pergi.

Kimi menenggelamkan wajahnya. Air matanya luruh sudah. Dia sudah biasa diabaikan, sudah biasa ditinggalkan. Oleh papa, Abra dan sekarang Gava. Tapi untuk Gava berbeda, dia sendiri yang menginginkannya untuk diabaikan Gava yang jelas-jelas tak menyukainya. Semua dia lakukan agar hatinya tak semakin sakit saat mengingat papanya dan Abra. Dan saat ini dia ingin bisa belajar untuk mengabaikan Abra.

Dia berharap ini hanya halusinasi semata. Besok pagi, semua kembali seperti hari-hari biasanya. Dengan dia yang selalu mengejar Gava.

Kota pelajar, 060215
Saat malam sepi tanpa rembulan.

Be My BoyWhere stories live. Discover now