5

54.2K 3.3K 133
                                    

Kimi berjalan lambat menuju mobil swift hitam yang sudah ada Abra di dalamnya. Sebenarnya Kimi lebih suka pulang dengan kendaraan umum dari pada harus diantar jemput begini. Seperti anak TK, dia juga jadi nggak bisa menikmati perjalanan karena harus satu ruangan sempit berbentuk mobil dengan Abra.

"Mau makan dulu atau."

"Langsung pulang aja," potong Kimi.

"Ok."

Kimi melempar pandangan ke arah jalanan melalui kaca di sebelah kirinya. Melihat ramainya jalanan yang dipenuhi remaja dengan seragam putih abu-abu dan biru.

"Gimana sekolah hari ini?"

"Biasa."

"Masih marahan sama pacarmu?"

"Putus" jawab Kimi santai

"Ohhh...."

Mereka kembali diam, Kimi sibuk dengan pikirannya sendiri. Mengingat apa yang menjadi alasannya membenci Abra. Dia benci karena ditinggalkan begitu saja, dia benci diabaikan seolah dia tak berarti sedikitpun. Mungkin bebannya dua tahun ini yang membuat dirinya seolah gila dengan semua pemikirannya yang tak jelas. Kimi menyadari hal itu, sepertinya cukup dia jadi pendendam.

Kini mengehela nafas berat, mengiklaskan memang bukan hal mudah.

"Kenapa?" tanya Kimi tanpa mengubah arah pandangnya.

"Hah? Apanya?"

"Kenapa ninggalin aku? Kenapa semua lelaki suka meninggalkan? Ayah, kamu, kalian sama!"

Sebuah tangan menggenggam jemari tangan kanan Kimi perlahan. Kimi tak menolak, dia tetap diam dengan mata melihat ke arah kiri.

"Maaf."

Abra menepikan mobilnya, ingin lebih intens bicara dengan Kimi.

"Aku pikir kita nggak akan bisa ketemu lagi, dan aku nggak bisa menjanjikan apapun untukmu saat itu. Tapi aku akui semua itu salahku, harusnya aku tak berfikir sebodoh itu."

"Apa ayah juga berfikir sepertimu? Saat dia memilih pergi dengan wanita lain dan meninggalkan aku dan mama?"

Abra diam tak bisa menjawab, dia tahu Kimi masih memiliki trauma atas ayahnya dan dia menambah trauma itu, menambah sakit hati Kimi.

"Apa cowok itu menyakitimu?" tanya Abra hati-hati.

"Kamu yang menyakitiku, katamu kita teman tapi kamu hilang."

"Maaf, cuma itu yang bisa aku katakan karena memang aku salah."

Kimi mengambil nafas panjang lalu menghembuskan perlahan.

"Sudahlah, ayo pulang. Aku mau tidur."

"Seperti kataku dulu, saat kamu dikasih cobaan berarti Tuhan tahu kamu kuat."

"Yah, aku memang kuat. Tanpa kalian aku bisa tetap hidup."

Abra lah kali ini yang mengambil nafas panjang, Kimi masih tetap menyamakannya dengan ayah Kimi. Tapi Abra mengakui itu semua juga dialah penyebabnya.

"Kenapa kamu putus?"

"Dia sudah nggak tahan."

"Kenapa?"

"Semua orang punya batasan kesabaran, begitupun aku. Aku juga cukup bersabar saat semua orang meninggalkanku dan Gava sudah habis kesabaran karena ulahku. Aku memahaminya karena akupun begitu."

"Kimi, kuharap kamu mengikhlaskan sikap ayahmu dan nggak menyangkut-pautkan semuanya dengan hal itu. Pikirkan orang yang menyayangimu bukan mereka yang menyakitimu."

Be My BoyWhere stories live. Discover now