Deadline

15 3 3
                                    

Hari berlalu, kesibukan tim yang dipimpin oleh Damar bertambah. Pembangunan rumah di kota besar lama-kelamaan menjadi semacam ajang perlombaan untuk kaum berduit. Kesempatan untuk Damar dan teman tim-nya menebalkan dompet tapi menebalkan kantong mata juga.

"Dam, aku udah nggak bisa bedain mana garis lurus mana yang miring nih. Gila mata gue perih bat.", celetukan salah satu tim-nya yang bernama Herry. Herry guk guk guk, tentu saja bukan itu nama panjangnya, tapi ya itu salah satu candaan yang diberikan karena Damar dan tim-nya masih angkatan anak lama alias 80-90an. Anak gempal, yang suka banget beli makroni ngehe, dari yang kriuk sampek yang nyemek dengan dalih menambah konsentrasi ketika menghadapi komplain klien.

"Heleh, kan itu juga yang kamu bikin alasan kamu keliatan masuk akal ke calon bini lu kalau akhir-akhir ini kenapa jadi makin gendut karena harus makan sama klien dan stress padahal, mbell. Alasan tetep aja alasan, mau-maunya bini lu percaya gitu aja." Ari, dengan perawakannya yang kecil bikin orang tidak terlalu percaya kalau umurnya sudah di tepian 30 tahun.

"Hash, ben e. Dia nggak percaya yowes, orang aku emang stress cari duit buat katering cung!", jawab Herry sambil membuka krip-krip dengan tingkat ke-micinan-nya yang membuat anak-anak pada jamannya tergila-gila.

Damar yang sehari-hari mendengar celetukan penyegar di saat stress dengan deadline dan kunjungan sana-sini hanya bisa ikut tertawa. Dia sudah tak sanggup menimpali. Terlalu lelah. Dia berpikir butuh tambahan orang di-tim-nya meski hanya freelance untuk proyek yang mencekik leher seperti ini.

"Aku rasa kita butuh tambahan nih, buat freelance aja. Jadi tim tetap kita ber-4 tapi kalau ada desakan dari klien yang tiba-tiba minta maju dari tanggal jatuh tempo, kita butuh banget bantuan, tapi kalau minta dari tim lain kayaknya tim lain juga bakal kewalahan, deh. Kasian juga gue. Mmm, ambil anak magang gitu juga gapapa kalik ya. Toh training masalah desain dikit, biar kalau pas ada revisi nggak harus kita yang kerjainlah. Gimana pendapat kalian?"

"Aku sih yes mas. Hal-hal remeh gini, sepele sih, tapi membuang waktu juga. Kalau bisa dikerjain orang lain, kan kita bisa bagi tugas kalau harus ke lapangan." Jawab Ari disambut ketiga temannya yang lain, Herry, Pur, dan Novan yang hanya menimpali dengan anggukan.

"Oke, beneran kalian oke yaa, aku minta ijin deh ke Bapak Negara. Harusnya ngga pakek mikir udah yes aja sih." Damar menjawab sambil merapikan kembali lengan kemejanya yang dia gulung dan sedikit digosok dengan tangan agar agak terlihat halus kembali, untuk menemui bapak Negara yang dimaksud adalah bos pemilik perusahaan.

Dia salah satu kenalan trah Pamudya sebenarnya, namun dari kecil hingga dewasa seperti sekarang Damar benar-benar menutupi identitasnya kalau dia adalah anak bangsawan bernama Pramudya. Salah satu orang elit terkaya di Indonesia Raya saat ini. 

Before You Say NOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang