Sepanjang perjalanan yang ditakuti Mala akan menjadi aneh dan diam seribu bahasa, ternyata itu sama sekali tidak terjadi. Damar sama sekali tidak membicarakan apa yang terjadi di kantor. Ya, seperti tidak terjadi apa-apa.
Apa Damar sengaja menghindari pembicaraan itu atau dia tipe manusia yang berpikir, apa yang sudah terjadi memang tidak penting dan tidak menarik untuk dibahas lebih lanjut. Entahlah, pikir Mala.
Justru perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 menit menjadi hal yang bahkan tidak terasa panjang dan membosankan. Baik Damar maupun Mala bisa berbicara mengenai banyak hal, meski tanpa membicarakan hal pribadi. Untungnya, mereka mempunyai kesamaan, big no yang namanya pribadi-pribadi apalagi dalam dunia pekerjaan.
"Ternyata, Mas tadi keluar beliin sarapan sebanyak ini. Beneran deh mas, tengkyu ya. Saya kenyang betul!", seru Mala sambil menepuk pelan perutnya yang kekenyangan.
Nih anak kenapa jadi ke-saya-saya-an gini, mencoba jaga jarak gara-gara masalah tadi pagi, batin Damar.
"Iya, abisin aja. Sandwich di kantin kantor bawah emang andalan kita kalau lagi males makan di luar. Lumayan buat amunisi kalau lagi dadakan proyek dan kita butuh asupan kalori.", sahut Damar tersenyum puas.
"Udah nggak pusing lagi kan kalau gitu? Penting lho tenaga kamu kalau lagi di lapangan nanti, karena belum tentu ada tempat makannya juga.", lanjut Damar.
Lah, dibahas lagi deh! Emang yang bos satu ini, hobi bikin mulas untuk semua hal yang dia lakukan dan katakan.
"Saya nggak pusing, Mas. Cuma lagi bingung aja, jadi spontan aja melakukan hal itu, beneran deh.", jawab Mala cepat sembari mengacungkan jari telunjuk dan tengan memberikan tanda V.
"Kamu bilang biasa dan spontan untuk melakukan hal kayak gitu kalau lagi bingung?", tanya Damar keheranan.
"Iya.", jawab Mala singkat tidak ingin bicara ini lebih jauh.
"Iya. Aja. Gitu.", tandas Damar tegas.
Oh, dia gila hormat. Disentil dikit langsung keluar kan aslinya. Sungut Mala dalam hati.
"Ya, Mas. Maaf.", sahut Mala singkat.
10 menit sisa perjalanan terasa panjang untuk mereka berdua. Perdebatan singkat kekanakan yang terjadi membuat atmosfer di antara mereka memanas, padahal mereka harus banyak berbincang di lapangan nanti. Egois dan salah paham, menjadi hal yang tepat untuk menggambarkan penyebab keadaan mereka saat itu.
Sesampainya di lapangan, Damar langsung disambut oleh manajer tim yang bertanggung jawab dan sudah lebih dulu berada di lapangan disusul Mala di belakangnya. Kedatangan Mala membuat anak lapangan yang sudah berpanas-panas ria meski hari masih pagi, tiba-tiba tersenyum cerah. Maklum, wanita jarang ditemukan untuk pekerjaan lapangan yang panas dan kotor seperti yang mereka lakukan saat ini.
Damar yang mempunyai pandangan cukup konsevatif, menyadari hal itu dan dia agak merasa risih dengan apa yang dilakukan oleh tim lapangannya saat itu.
"Ayo langsung briefing semuanya, tolong meski di lapangan tetap profesional ya.", ucap Damar mencoba mengalihkan perhatian rekan tim-nya.
"La, tolong kamu pergi ke bagian konsumsi. Dicek apa jumlahnya sudah sesuai dengan data yang kita bawa tadi.", lanjut Damar kepada Mala agar dirinya terhindar dari tatapan teman-temannya.
Apa yang Damar lakukan ini, disambut dengan teriakan ber-huuu panjang dan ber-yahhh ria oleh rekan tim-nya. Damar pun tertawa jahil sambil mengedikkan bahunya merasa puas.
Sesampainya di tempat konsumsi disimpan, Mala pun mulai menghitung dan mengelompokkannya sesuai dengan catatan data yang dia pegang saat itu. Sembari mengecek lagi sebelum keluar ruangan, Mala mulai kebiasaannya. Lagi. Entah keberapa kalinya untuk hari ini. Bergumam dan merutuki diri sendiri.
"Ternyata Damar anaknya profesional kerja, nggak make bawa-bawa masalah pribadi ke kerjaan. Hmm, ya pantes aja, tim dia selalu jadi Tim Alfa. Eh tapi ini sekalinya ke lapangan, ujung-ujungnya konsumsi, dasar Damar tetep maennya gender.", gumam Mala cukup keras seraya memukul mukanya dengan secarik kertas yang dibawa-bawanya sedari tadi. Bingung dengan pikirannya sendiri. Memang semua hal kira-kira itu tidak akan ada ujung akhirnya.
"Mala!!", teriak Damar seraya memasuki ruangan konsumsi.
Mala terkejut dan mundur beberapa langkah. Saat melihat Damar, Mala nyaris menangis.
"Mas, kenapa sih?", Tanya Mala memelas.
Damar yang melihat reaksi Mala berkebalikan dengan apa yang diharapkannya pun terkejut.
"Eh, La aku nggak bermaksud bikin kamu mmm ya bermaksud sih memang bikin kamu kaget tapi beneran cuma iseng.", ungkap Damar dengan wajah meringis karena merasa bersalah.
Damar berjalan mendekati Mala, sambil menyentuh lengannya sedikit mencoba agar apa yang dilakukannya sedikit membuat Mala tenang dan memaafkan perbuatan yang dilakukannya. Namun ketika Damar mendekat Mala malah menutup wajahnya dengan kedua tangan dan bahunya mulai berguncang.
Wah, jangan bilang gue bikin nangis anak orang mana lagi di tempat kerja gini. What the fuck are you doing, Damar!
Damar pun hanya menepuk-nepuk lengan dan punggung Mala, selang 1 menit kemudian tetiba Mala membuka tangannya sambil tertawa terbahak. Damar pun kemudian mengangkat tangannya dari punggung Mala. Tahu kalau juniornya berbalas melakukan hal iseng padanya, tanpa sadar tangannya berpindah ke kepala Mala, menyentuhnya lembut dan pelan sembari ikut tertawa terbahak.
Tanpa sadar mereka mulai mendistraksi diri mereka masing-masing dengan tawa yang saling mereka bagi hari itu. Menjadikan itu hal yang positif atau malah badai bencana. Entahlah. Manusia hanya bisa berusaha menentukan arah hidup diselipi dengan doa baik, namun Tuhan tetap memiliki rencana-Nya yang terbaik meski kadang dianggap cukup unik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before You Say NO
Short Story"Bukannya dia anak bangsawan ningrat yang membenci kaum urban macam aku gini. Cewek urakan ke mana-mana sama laki beda-beda. Terserah sih, kalau aku mah se-bodo amat." -Mala, pemagang kelas teri yang memaksakan diri mengikuti arus ala anak milenial...