Maaf?

45 7 0
                                    

Setiap aku menatapnya, aku akan menangkap basah ia yang menatapku balik. Aku berdecih menyikapi situasi yang tiba-tiba canggung, Tian terus menunduk tidak berani membalas tatapanku. Walau sesekali aku menyadari ia yang mencuri pandang.

Belum ada percakapan ataupun suara yang keluar dari bibirnya. Beberapa kali ia mencoba untuk berbicara, aku tahu itu. Namun ditahannya, ingatannya pasti kembali memutar kejadian pagi ini.

"Hari ini ada rencana?"

Tian berhenti mengaduk nasi dipiringnya, tanpa suara ia menggelengkan kepala merespon jika tidak ada memiliki rencana untuk hari ini.

"Berarti seharian diem dirumah terus?"

Tian mengangguk.

Sarapan selesai dengan kecanggungan yang terus terbawa hingga siang hari. Tian terus mengurung diri didalam kamarnya dan aku hanya bisa memencet remot tv tanpa minat. Tidak ada percakapan apapun sampai sekarang keculi dua pertanyaanku tadi pagi.

Kurang dari lima menit lagi pukul dua siang, Tian terlambat dua jam untuk menyiapkan makan siang. Aku berbaring diatas sofa menatap langit-langit apartemen, bertanya-tanya apakah kita benar-benar melakukannya atau sama sekali tidak. Lalu mengapa Tian sampai bersikap seperti itu? Ataukah mungkin ia merasa sangat malu.

Setelah dipikir-pikir lucu juga, cenderung tidak wajar malah. Jika ada kejadian seperti pagi ini terjadi bukankah seharusnya pihak perempuan yang merasa dirugikan, merasa malu? Bisa-bisanya malah terbalik, Tian yang sebagai laki-laki yang merasa malu. Tian tidak mungkin lari dari masalah yang dibuatnya, ia seorang pria yang bertanggung jawab. Maka kesimpulannya adalah Tian malu.

Aku juga tidak ingin membohongi diriku karena merasakan hal yang sama. Padahal untuk tidur bersama kami sudah sering melakukannya, tidak ada kecanggungan, tidak ada juga rasa malu. Hanya saja insiden pagi ini membuat semuanya terasa diluar batas wajar, aku yakin kami tidak sampai melakukannya. Tapi pelukan dan nafas hangat Tian sangat nyata kurasakan. Diam-diam aku mengelus bagian belakang leherku.

Pintu kamarnya terbuka aku memperbaiki posisi duduk diatas sofa begitu melihat siluet Tian yang berjalan mendekat. Agak ragu-ragu.

"Mau makan apa?"

Bertanya makan siang yang terlambat dua jam. "Terserah apa aja, tergantung bahan yang ada."

Setelah itu tidak ada balasan, Tian hanya mengangguk dan berpaling menuju dapur. Aku mendesah, situasi ini tidak boleh dibiarkan.

"Tian." Panggilku membuatnya berhenti, aku melirik dari ujung mata. "Aku mau ngomong." Dan punggung itupun menegang.

Jarum detik jam bergerak dari angka satu sampai enam tapi Tian tidak juga bergerak dari posisinya, tidak berbalik juga tidak mengeluarkan suara.

"Kesini."

Tian berjalan menghampiri, dengan cara berjalan mundur.

"Duduk." Ketika ia sampai diujung sofa.

"Cut the shit. Gak ada basa-basi, aku langsung keintinya!" Tian memandangku takut-takut. "Kita ngapain semalam?"

Beberapa detik terlewati sampai Tian berani menjawab. "Tidur."

"Hanya tidur? Gak lebih dari itu?"

Tian mengangguk.

"Yakin?"

"Ya... kin." Jawabnya ragu-ragu.

Aku menurunkan tatapan, berpikir sejenak untuk menyelaraskan topik. "Kamu sadar nggak? Seberapa mabuknya kamu kemarin?"

Tian menggeleng. Tentu saja ia tidak akan sadar, karena mabuk.

"Kemarin, kamu tuh bikin repot aku. Mesti nopang badanmu yang segede gorila itu! Belum lagi dengerin setiap ocehanmu yang gak jelas! Dan sekarang, belum lagi harus hadepin kamu yang kabur-kaburan karena ketahuan tidur dikamar aku!"

CHAPELURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang