Kencan?

41 7 0
                                    

"Kamu serius?!"

"Apa aku keliatan lagi bercanda?"

Poppy masih memandang remeh, terlihat jelas ia tidak percaya dengan apa yang aku ceritakan. Berbanding terbalik dari biasanya, ia akan mudah percaya oleh gosip-gosip murahana.

"Memangnya Tian mau sama kamu?"

Aku tersedak ice coffee. "Kamu nanya gitu ke aku?" Aku menunjuk diriku sendiri. "Ke aku?! Tian harusnya bersyukur bisa dapetin aku."

Poppy berdecih. "Iydaeh, iyadeh. Tapi aku penasaran, emangnya cuma begitu doank kejadiannya dan kalian sekarang pacaran?"

"Iya, kenapa?"

"Aneh ajasih."

Garis didahi muncul. "Aneh gimana?"

Poppy memperbaiki posisi duduknya, mencondongkan tubuh kedepan meja. Bersiap-siap untuk bisik-bisik dan melakukan pembicaraan intens, ciri khasnya saat akan bergosip.

"Kalian berdua kan sudah lama bersama, sampai tinggal bareng pula." Aku mengangguk, Poppy sudah sangat jelas tahu hal itu tidak perlu mempertanyakannya lagi. "Aneh gak sih, setelah sekian lama waktu dan kenangan yang lewat hanya butuh satu malam buat ungkapin perasaan dan naikin status?"

Poppy gemas karena aku yang belum mendapati maksud dari kalimatnya. "Kalian itu sudah lama kenal dan bahkan bisa dibilang sudah kaya orang pacaran, cuma saling mengakuinya yang susah. Dan sekarang, cuma dalam semalam dan boom!" Poppy merentangkan tangannya membuatku terkejut. "Kalian udah jadian gitu aja, kek semuanya itu gampang banget."

"Terus maksudmu semua harusnya gak segampang itu gitu?"

"Bisa dibilang begitu."

"Aku gak ngerti, apanya yang salah kalau semua bisa terjadi dengan segampang ini. Lagian kita berdua juga selama ini memendam perasaan yang sama."

Poppy kembali memperbaiki posisi duduknya, kali ini duduk tegak. "Gini gini..."

"Iya gimana?"

"Diam!" Bentaknya. "Aku pernah dengar quote kehidupan, cocok banget buat kamu. Segala hal yang kita dapatkan dengan mudah atau dalam kasus ini gampang, maka akan mudah atau gampang juga hal itu akan hilang dari kita." Ujar Poppy.

Aku mengangguk. "Lalu?"

Poppy tersenyum miring. "Jadi cepat atau lambat kamu sama Tian akan mengakhiri hubungan kalian yang mendadak ini."

Aku tidak suka mendengar apa yang Poppy katakan.

"Saat kalian memulai, apa kamu pernah mikir apa jadinya kalian kalau sampai hubungan ini gagal? Kalian nggak mikir resiko dan akibatnya?" Poppy menjeda untuk memberikan kesan dramatis. "Aku tanya kamu." Tunjuknya. "Pernah bayangin tinggal bareng mantan?"

Bagaimana bom waktu yang tidak berhasil aku potong kabel merahnya, pemikiran itu meledak begitu saja didalam kepalaku. Membayangkan aku berakhir bersama Tian dan harusnya menjalani kecanggungan jika terus bersamanya.

"Gimana? Bisa kamu bayangin?"

Aku menggeleng syok.

Poppy terkekeh dari tempat duduknya. "Kalian itu ada-ada aja, bisa-bisanya setelah selama ini baru menjalin hubungan serius. Mana mulainya gak mikir-mikir dulu!"

"Ah, bodo!" Aku menutup wajah frustasi. Tidak peduli, mau bagaimana lagi semua sudah terlanjur terjadi. "Memangnya kalau aku sama Tian udahan, kita gak bisa tetep tinggal bareng?! Selama masih belum punya pasangan lagi kan gak masalah."

"Terus gimana kalau suatu hari Tian tiba-tiba pulang bawa pacar barunya? Terus ngenalin kekamu yang berstatus mantan?" Poppy menahan tawa yang kapan saja siap meledak. "Terus gimana ya reaksi cewek barunya Tian kalau tahu Tian masih tetep tinggal sama mantannya?" Gambaran itu membuat Poppy melepas tawa ejekannya, benar-benar sahabat yang tidak tahu diri.

CHAPELURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang