Beberapa hal yang menyulitkanku untuk tinggal dirumah Tian adalah cara keseharian mereka yang masih sederhana. Seperti masih sering memasak menggunakan kayu bakar, tv dengan antena sederhana, sinyal hp yang sulit stabil dan sedikitnya hiburan yang bisa dilakukan disekitar desa.
Menyesal aku tidak membawa laptop untuk melanjutkan menonton drama viral, lumayan mengisi waktu luang selagi hanya berdiam dirumah Tian. Tetapi seperti yang kita tahu penyesalan selalu datang belakangan. Sekarang setelah mandi, tidak ada satu halpun terpikirkan untuk dilakukan. Satu-satunya hiburan yang ada hanya mengganggu Tian.
"Dek, Tian kemana?" Tanyaku pada Sintia yang sedang duduk diteras rumah.
"Mas Tian tadi nganterin Ibu kepasar Mba."
Sudah mau tengah hari tapi Ibu baru kepasar sekarang. "Kira-kira jam berapa balik?"
"Kemungkinan sejam lagi Mba, soalnya Ibu suka lama kalo sudah dipasar. Apalagi Mas Tian baru pulang, pasti banyak yang pengen ngomong."
Benar juga. Tian sejak tinggal dikota sudah seperti selebriti didesanya, mungkin karena efek muka gantengnya yang cocok jadi pemain sinetron. Belum lagi banyak dari mereka yang menjodoh-jodohkan anak perempuannya dengan Tian, aku semakin menyesal telah merubah cara berpenampilannya yang akhirnya bikin orang mudah terpesona.
Menyadari hal itu membuatku khawatir. "Sintia, ayo temenin Mba nyusul Tian sama Ibu."
Aku bergegas mengenakan sandal milik Sintia yang ia pinjamkan selama aku disini, sebelumnya aku hanya membawa sepatu heels untuk kerja kemarin.
"Buat apa Mba?"
"Ayo buruan!"
Sintia berjalan cepat menutup pintu rumah lalu menyusulku yang sudah sampai pagar depan.
"Mba mau liat-liat suasana pasar disini, udah lama gak pernah kesana." Sekaligus mau lihat siapa saja yang berani menjodoh-jodohkan anaknya dengan Tian.
Jarak antara rumah dan pasar hanya 15 menit jalan kaki, melewati beberapa gang kecil dan rumah-rumah yang jaraknya sangat jauh antara satu sama lainnya. Pasar sudah lengang dan cenderung sepi setibanya aku dan Sintia disana.
Lahan yang digunakan warga sebagai pasar kata Sintia adalah milik kepala desa yang murah hati membiarkan warganya melakukan transaksi perdagangan disana, karena sebenarnya pasar terdekat dari desa berjarak cukup jauh. Jadi untuk memudahkan kegiatan rumah tangga, dibuatlah pasar khusus untuk desa ini.
"Loh Inge, Sintia? Ngapain disini?" Ibu menemukan kami terlebih dahulu sebelum kami menemukannya, tas pasar besar yang terbuat dari anyaman Ibu bawa ditangannya. Aku tidak melihat keberadaan Tian disekitar Ibu.
"Mba Sintia katanya mau main-main kepasar jadi datang kesini."
"Walah, tau gitu tadi Ibu ajak kamu. Kalo siang gini pasarnya sudah agak sepi, jadi sedikit pedagang yang jualan."
"Gak apa-apa Bu, yang penting bisa main kesini aja." Aku menjawab masih mencari-cari keberadaan Tian, badannya besar tidak mungkin sulit terlihat. "Ibu sudah selesai belanjanya?"
"Sudah..." Ibu memperlihatkan isi didalam tas belanjanya, aku melihat kedalamnya sekilas penuh dengan bungkusan plastik. "Ibu mau buat daging rendang kesukaan Tian, katanya Tian kamu juga suka sama rendang?"
Aku tersenyum. "Iya Bu, suka banget."
"Nah ini Ibu ada beli jajan-jajanan tradisional buat ganjel perut nanti siang sambil minum teh dibale."
Aku mengangguk senang, karena sebenarnya aku juga sedang menginginkan jajanan pasar.
"Mas Tian mana Bu?" Tanya Sintia, memiliki pertanyaan yang sama denganku. Bersyukur ia bisa mewakili untuk bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHAPELURE
Romance(COMPLETED 24 Mei 2020 - 06 Maret 2021) Dalam hidup, tidak ada namanya kebetulan. Ada takdir, ada juga pilihan. Perjalanan hidup bisa jadi penuh lika-liku dan tidak bisa ditebak antara cinta, pertemanan dan situasi dimasa depan. Tapi hanya satu yang...