Green Tea?

76 11 0
                                    

Click.

"Tian, hubungi Pak Rian dan Bu Selli. Suruh ke ruangan saya segera."

"Baik."

Aku memeriksa laporan keuangan. Total nominal pengeluaran masih tidak masuk akal, angka-angka yang muncul diakhir laporan tidak sesuai dengan perhitungan.

"Apakah sekarang harga bahan bangunan naik? Atau sudah tidak ada lagi tenaga kerja yang bisa dibayar murah?" Tanyaku pada Pak Rian selaku Kepala Divisi Keuangan dan Bu Selli Kepala Divisi Administrasi.

Aku berjalan mondar-mandir dihadapan mereka yang duduk di sofa ruang kerja dengan wajah tegang.

"Saya sudah berusaha memangkas tipis pengeluaran, tapi memang angka hasil akhir tidak terlalu berbeda jauh." Ujar Pak Rian.

"Bu Selli, apa ada kemungkinan jika kita menggunakan furniture dari dalam negeri saja untuk menghemat?"

Bu Selli tidak langsung menjawab, alisnya berkerut melakukan simulasi singkat dalam kepalanya. "Sepertinya angkanya juga tidak akan jauh berbeda. Saya kira masalah yang paling utama adalah dari bahan bangunan itu sendiri, harga sekarang dan harga dulu sangatlah berbeda."

Aku menatap tajam pada satu-satunya orang yang sejak tadi berdiri memperhatikan. "Tian, segera putuskan kontrak kerjasama dengan perusahaan kontraktor yang bekerjasama dengan kita." Tian mengangguk. Pak Rian dan Bu Selli terkejut, aku rasa mereka tidak setuju dengan pendapatku.

Aku menghela nafas. "Saya membutuhkan orang yang bisa diajak bekerjasama untuk saling menguntungkan bukan untuk merugikan satu sama lain."

"Tapi perusahaan kita sudah sangat lama saling bekerjasama."

Aku menatap tajam Pak Rian. "Bukankah artinya mereka seharusnya bisa mengapresiasi kerjasama itu dan memberikan solusi yang menguntungkan? Ini sama saja dengan mereka memanfaatkan seolah-olah perusahaan kita bergantung pada mereka."

"Maaf jika saya memotong," Kata Bu Selli. "Setahu saya gambar bangunan yang kita miliki secara hukum adalah milik mereka, jadi kita tidak perlu membeli sepenuh harga untuk gambar itu."

"Saya yakin Pak Arif dapat mengurusnya," Jawabku memberikan solusi dengan menyebut kuasa hukum perusahaan kami. "Baiklah, saya rasa cukup sampai disini keputusan saya. Setelah ini saya mau dicarikan perusahaan kontraktor yang jauh lebih mudah dan lebih efisien dalam penawaran pengeluaran untuk kita. Saya mau segera."

Pak Rian dan Bu Selli mengangguk pasrah, perintah mutlak dan harus dipatuhi. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menuruti apa yang aku katakan.

Aku menjatuhkan tubuh di atas sofa dengan gusar. "Bukannya mereka lagi nyindir ya?" Suaraku meninggi. "Mentang-mentang sekarang aku yang pegang kekuasaan tertinggi lalu mereka seenaknya coba mempermainkan seolah-olah aku gak tahu kalo lagi digerogoti seperti lintah!" Pak Rian dan Bu Selli sudah pergi jadi aku bisa melepaskan emosi.

Tian mendekat dan mengulurkan tisu, aku menatap tisu itu dengan kerutan. Lalu sadar air mata membasahi pipiku. Aku menangis.

Menyembunyikan tangisanku dengan menunduk, berusaha kembali menenangkan diri. Tidak terima jika aku harus meneteskan air mata untuk orang-orang brengsek seperti mereka. Aku adalah orang yang kuat, yang tidak takut akan apapun.

Sofa bergerak ketika Tian mendudukan dirinya di sampingku. "Menangis bisa membantu mengurangi beban."

Aku menumpukan kepala di pundak Tian. Membuatnya merasakan berat beban yang sedang aku topang. "Mereka masih terus coba untuk menjatuhkan."

Menjadi pewaris diusia muda merupakan tantangan berat, banyak yang meremehkan apalagi dengan fakta jika aku adalah seorang perempuan. Mereka selalu menghakimi jika aku hanyalah perempuan pewaris yang malas dan manja, tidak berkompeten dan selalu menyepelekan. Walaupun menyadari semua itu, tapi aku hanya diam saja karena ingin memberikan bukti nyata jika semua itu salah. Aku bukanlah perempuan yang melakukan semua hal dengan semena-mena. Aku adalah wanita yang bisa berpikir dan akan memimpin dengan baik.

CHAPELURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang