Fifty Shades Darker?

73 7 0
                                    

Sulit untuk menyangka jika akan menemukan diriku berlomba dengan waktu, seharusnya aku mendapatkan apresiasi yang luar bisa untuk usaha ini. Setelah apa yang terjadi pagi tadi bisa dipastikan Tian cukup kaget, namun bagaimana pun ia harus segera membiasakan dirinya. Selama setengah hari berlalu sebisa mungkin tidak membutuhkan bantuan Tian untuk pekerjaan apapun, aku harus bisa mengerjakannya sendiri. Dengan fokus yang dibagi dua karena harus mengawasi setiap detik jam.

Ketika jarum jam itu berputar di poros angka dua belas aku semakin sering menolehkan kepala kearahnya, sampai hanya tinggal sepuluh menit lagi jam dua belas tepat, langsung berdiri untuk melakukan misi berikutnya.

"Mau makan siang dimana?"

Tian mengerutkan dahinya mendapatiku yang berdiri didepan mejanya, dengan kedua tangan disisi pinggang.

"Terserah."

Aku mengangguk.

Hening.

Kita hanya saling menatap dalam diam.

"Ya udah, ayo!"

Tian berdiri, memastikan mejanya rapi lalu kami berangkat. Kerutan di dahinya tetap tercetak jelas, mungkin akan segera permanen, karena dipastikan ia akan terus berhadapan dengan perubahanku sekarang.

Sekarang kerutan di perbatasan alis itu semakin tercetak dalam saat Tian memandangiku di kursi pengemudi.

"Inge."

Tangan tertahan diudara, hendak memutar kunci. "Apa?"

"Kamu ngapain?"

"Main kano."

Air muka Tian datar. "Kamu serius mau bawa mobilnya?"

"Beratlah Tian kalau dibawa, makanya aku yang nyetir."

"Inge, aku serius."

Helaan nafas lelah ini, ternyata begini rasanya selalu mendapat keraguan dari seseorang yang sama. Rasa-rasanya apapun yang aku lakukan selalu Tian ragukan, seakan aku benar-benar tidak sanggup melakukannya.

"Tian." Aku menarik nafas. "Tolong kamu jangan banyak ngomong, percaya sama aku. Mungkin awalnya akan terasa aneh dan kamu gak terbiasa. Tapi aku yakin perlahan tapi pasti kamu mulai bisa nerima aku yang seperti ini, bahkan kamu mungkin bakal terbiasa." Jelasku mencoba dimengerti. "Jadi sekarang kamu nikmatin aja ya prosesnnya."

Secara ajaib kerutan itu menghilang, aku memeriksa tatapan yang ia berikan. Tatapan yang sulit diartikan. "Inge." Panggilnya lembut, rasanya begitu jelas bagaimana jantung ini berdetak lebih cepat, tapi aku sangat siap untuk mendengar tanggapannya.

"Kamu kan gak bisa nyetir."

Aku diam, hanya terdiam. Sementara Tian sibuk mengendarai mobil di jalanan yang cukup ramai, entah sudah berapa kali aku menghela nafas. Ternyata cukup sulit juga menggantikan posisi disaat diri sendiri masih punya banyak keterbatasan. Setelah sadar, sepertinya bukan Tian yang harus membiasakan dirinya, melainkan aku yang harus membiasakan diriku. Usaha ini sangat sulit.

"Turun."

Tian membuka pintu, menungguku turun, lalu menutup pintu penumpang. Kami berjalan masuk ke dalam restoran, beberapa langkah hingga aku merasakan sesuatu yang aneh dan berhenti, membuat Tian juga berhenti. Aku melihat tanganku yang digenggam Tian.

"Kenapa?" Tanyanya.

Tidak ingin menjawab, masih memperhatikan sejak kapan jari-jari itu bisa terselip begitu pas pada jari-jariku. Dengan ukuran kedua tangan yang berbeda tapi terasa nyaman. Tian ikut melihatnya, lalu dengan sengaja mengeratkan genggamannya membuatku mendongak. Tian hanya tersenyum, senyuman yang begitu tulus. Tanpa sepatah kata ia kembali menarikku masuk kedalam restoran.

CHAPELURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang