Ibu?

31 8 0
                                    

Petang menjadi malam. Hangat menjadi dingin. Kegelapan menyambut kami saat tiba dirumah Tian. Lampu mobil menerangi halaman depan rumah yang sudah gelap, terasa mencekam ketika Tian turun dari mobil untuk membuka pintu pagar. Lampu-lampu rumah sekitar juga sudah padam, kami tiba terlalu malam. Lampu penerang jalan memiliki jarak yang cukup jauh antara satu dan lainnya, cahayanya juga tidak terlalu terang, menambah kesan menyeramkan.

Rumah Tian adalah rumah semi tradisional khas jawa yang sederhana, pondasi kayu mendominasi dengan beberapa bahan bata yang menyokong bangunannya. Halamannya yang luas membuat bangunan rumah terlihat sangat kecil. Ada beberapa bangunan pendukung disekitar rumah seperti gudang, bale kecil yang dibangun dari kayu dan taman-taman kecil.

"Dikunci?" Tanyaku, saat Tian berusaha membuka pintu masuk rumah. Ia mengeluarkan kunci dari tas ranselnya, kunci rumah bewarna hitam. "Kita langsung masuk nih? Gak apa-apa?"

"Gak apa-apa."

Setelah makan malam tadi, Tian sempat menepikan mobil dipinggir jalan hanya untuk membeli jagung bakar. "Kangen, gak pernah makan jagung bakar lagi." Katanya. Jadi aku hanya menemani selagi ia menikmati jagung bakarnya, aku sudah terlalu kenyang untuk memasukan makanan lagi kedalam perut.

"Terlalu dingin, aku gak mau mandi malam."

"Mau aku masakin air panas buat mandi?"

Aku mengecek jam tangan, sudah jam sebelas malam. Kalau dirumah mungkin aku masih bisa berendam 10 menit, tapi suhu udara disini terlalu dingin dan akupun tidak bisa berendam karena rumah Tian tidak ada bathub.

"Besok aja, lagian aku gak terlalu berkeringat hari ini."

Tian mengangguk, sibuk mengatur koper dan tas tanpa mengeluarkan isinya. Kita hanya akan berada disini untuk beberapa hari, jadi tidak perlu repot-repot untuk menata barang-barang yang dibawa.

"Kamarmu gak pernah berubah." Aku memperhatikan kamar Tian yang tidak seluas kamar diapartemen, meskipun begitu masih tergolong nyaman. Ranjangnya juga masih ranjang dipan yang tradisional.

Tian berajalan kearah jendela kayu yang berpalang besi, lalu membukanya mempersilahkan kegelapan malam masuk kedalam kamar. Jendela Tian menghadap kearah kebun dibelakang rumah yang tembus kearah hutan, cukup menyeramkan memang, tapi jika siang hari Gunung Salak bisa terlihat jelas dari kamarnya.

"Kamu yakin kita gak perlu bangunin mereka?"

"Lebih baik gak usah, biarin mereka istirahat."

Aku hanya menurut saja, karena memang benar juga kata Tian. Jika membangunkan Sintia atau Ibu, mungkin kita akan tenggelam dalam obrolan malam yang tanpa akhir.

"Aku mau ganti baju, temenin kekamar mandi." Aku masih mengenakan baju kerja, tidak sempat berganti. Tian mengeluarkan satu set piyama yang sudah ia siapkan kemarin malam, tidak mau membiarkan aku tidur dengan baju biasa karena suhu udara yang dingin.

Tian menunggu didepan kamar mandi sedangkan aku berganti baju dan membersihkan make up, tidak lupa menggosok gigi sebagai ganti tidak mandi hari ini dan menyemprotkan cukup banyak parfum. Setelah itu Tian sedikit merapikan ranjang yang sudah terlihat bersih, walaupun ditinggalkan Ibu Tian tetap membersihkan kamarnya. "Kalau dibiarin kotor entar Tian gak mau-mau pulang." Jawabnya dulu saat aku pertama kali datang.

"Kamu mau kemana?" Tian membawa satu bantal dan selimut.

"Tidur."

"Tidur kemana?"

"Ruang tamu."

Aku mengerutkan kening, ruang tamu Tian yang cukup luas tidak memiliki sofa. Hanya kursi-kursi penerima tamu yang terbuat dari kayu.

CHAPELURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang