Tidak ada yang sempurna. Dasar hidup insan bertelinga adalah harus mau saling mendengarkan. Memangkas amarah agar selalu berada di bagian dasar. Memupuk kata kata maaf dan juga terima kasih untuk mencegah timbulnya kemungkinan buruk atupun keruhnya sebuah hubungan.
"Aku sibuk, Bai Li! Tidak bisakah kamu melakukan semuanya sendiri!" Gu Wei melempar dasi pada wajah suaminya seraya menyambar tas pada meja kerja. Ia membanting pintu dan keluar kamar lalu menuruni tangga dengan langkah cepat.
Menjadi hal yang biasa untuk para penghuni rumah, saksi hidup atas pertengkaran sepasang suami dengan jam kerja padat atupun waktu perjumpaan yang bisa dihitung menggunakan jari.
"Tuan Gu, sarapannya?" Bibi Xuan mencoba mengehentikan langkah pemuda itu sambil menunjuk meja makan.
"Suruh monster itu saja yang menghabiskan, Bi! Aku tidak nafsu untuk mengisi perut!" Kata-kata yang sama dan terlontar secara berulang. Menyebut Bai Li dengan sebutan monster atau hal buruh yang lainnya. Tidak satu kali pun dokter muda itu mau beramah-tamah pada orang terdekatnya tersebut ketika mereka sedang dalam satu rumah.
Gu Wei, dokter spesialis bedah yang secara kebetulan terlibat dengan pernikahan paksa karena perjanjian turun generasi.
"Sial! Satu tahu yang sangat menyiksaku!" Dokter muda itu memasuki mobil dalam keadaan marah, menutup pintu, memasang sabuk pengaman, lalu bergegas mencari kunci yang terbiasa ia letakkan di saku jas. Namun, kosong. Ia tidak mendapati apa pun.
"Bedebah! Nasibku benar-benar buruk!" Gu Wei memukul-mukul setir lalu membuka sabuk pengaman dan berniat keluar mobil. Akan tetapi, seseorang tiba-tiba saja mengetuk kaca besi beroda itu dan memperlihatkan kunci dari arah luar.
"Berikan!" Gu Wei membuka pintu secara kasar dan hampir saja mengenai wajah Bai Li.
"Hei, kendalikan amarahmu, Gu Wei! Marah tidak akan mengubah apa pun! Sadarkah sejak awal mobilmu tidak terkunci?!" Bai Li yang merasa geram dengan sifat emosional dokter muda itu, melepas ikatan sabuk pengaman pada tubuh pemuda di dekatnya dan menarik Gu Wei untuk keluar.
"Yak! Apa maumu sebenarnya?!" Gu Wei meninggikan suara.
"Memberimu hukuman!" Bai Li mengangkat tubuh pemuda itu dan menggendongnya seperti karung beras.
"Lepaskan aku, bedebah!" Gu Wei memukul punggung tegap pemuda berkaca mata itu dengan kaki menendang-nendang tidak bisa diam. Ia tidak peduli manusia yang sedang menggendongnya akan kesakitan bahkan terluka karena perbuatannya.
"Turunkan aku! Mau kamu bawa ke mana aku, hah?!" Bai Li menuju pada mobil miliknya yang sudah terparkir di depan pintu gerbang. Ia membuka pintu dan menurunkan tubuh si dokter muda lalu mendorongnya secara kasar hingga hampir saja Gu Wei terjungkal.
"Diam dan menurut!" Suara Bai Li terdengar sangat menakutkan.
"Jangan coba-coba menyentuhku! Aku masih normal!" Gu Wei mundur secara cepat hingga tubuhnya membentur kaca.
"Kamu pikir aku tidak menyukai melon dan memilih untuk bermain pedang denganmu?! Tsk, pikiranmu sungguh menjijikkan, Gu Wei!" Bai Li menutup pintu mobil dan memasuki kendaraan mewah kepunyaannya melalui sisi pintu yang lainnya.
"Akan ada kelas biologi pada tempat aku mengajar. Jadilah pembicara yang baik dan jelaskan pada murid-murid di sana mengenai tema yang akan para guru itu bahas!"
Mobil itu pun akhirnya melaju dengan kecepatan normal. Bai Li tidak satu kali pun mengajak pemuda itu untuk berbicara. Keheningan menguasai hingga mencapai sebuah sekolah menengah atas ternama pada pusat kota tempat dua pemuda itu tinggal.
Gu Wei menatap gedung lima lantai seraya turun dari mobil. Ia melihat betapa luas sekolah kepunyaan sang suami. Ia mengambil tas kerja lalu meletakkan jas putih pada lengan seraya bersedekap.
Bai Li turun setelahnya, menarik pergelangan tangan Gu Wei hingga dokter muda itu hampir saja tersandung kakinya sendiri. Sang dokter berusaha menahan diri dan menurut seraya bersikap seolah mereka adalah adalah pasangan mesra. Ia menyamai langkah sang suami dan memeluk lengan kokoh Bai Li secara tiba-tiba.
"Diam! Aku tidak ingin mereka mengetahui hubungan kita yang sudah seperti seekor anjing dengan kucing!" Gu Wei mendesis setelah mengucapkan kalimat panjang tersebut. Tanpa ia sadari, senyum miring bersamaan dengan pikiran licik, tengah merajai kepala pintar sang pemilik sekolah.
"Jadi," Bai Li menarik pinggang dokter muda itu hingga tubuh mereka menempel, "sepeti ini?" Gu Wei terjengit. Ia melotot pada Bai Li hingga netra kecoklatan yang ia punya seperti hendak melompat keluar. Sebenarnya apa yang sedang pemuda itu pikirkan? Mereka terlihat mesra, tetapi raut wajah memperlihatkan hal yang sebaliknya.
"Baiklah, mari kita membuat kesepakatan!" Bai Li membuat tubuh keduanya saling berhadapan.
"Jika kamu bisa bersikap semanis ini dan menemaniku hingga jam sekolah usai," Bai Li memosisikan bibir pada telinga dokter muda itu, "aku akan memberimu kebebasan selama satu minggu untuk berkencan dengan pemilik melon besar." Pemilik sekolah itu mencium pipi pemuda di pelukannya sekilas.
"Sepakat!"
TBC.