Bab 2

447 68 12
                                    

"Ada yang ingin bertanya tentang materi yang baru saja saya jelaskan?" Gu Wei duduk pada tepian meja seraya mengedarkan pandangan ke seluruh makhluk usia remaja di hadapannya. Ia tersenyum. Sebuah senyum menawan hingga seluruh siswa berbisik sekaligus bergosip lirih tentang dokter tampan pemilik senyum secerah mentari itu.

"Dokter Gu, bagaimana rasanya menikah?" Sebuah pertanyaan yang membuat bumi seolah-olah terbelah. Pertanyaan macam apa itu? Gu Wei hampir saja melempar sepatu ke arah salah satu siswa yang sedang memberikan tatapan polos kepadanya. Dokter muda itu tampak berpikir sembari memijat pelipis. Ia mengembuskan napas lelah, tertawa canggung, lalu berdeham untuk menghilangkan rasa tidak nyaman.

"Itu ...." Sebuah pertanyaan yang tidak kalah mengejutkan, terlontar dari mulut salah satu siswa ketika Gu Wei ingin memberikan jawaban atas pertanyaan murid yang sebelumnya.

"Dokter Gu, Anda seorang dominan ataukah submisif?" Bumi, telan saja Gu Wei saat ini! Wajah dokter muda itu tampak merah nyaris terbakar, membuat seluruh siswa pada kelas biologi tersebut justru terkekeh gemas. Mereka saling berbisik, menyikut lengan sesamanya, ataupun menyatukan kepalan tangan. Satu langkah sangat berani ketika berhadapan dengan pasangan hidup sang pemilik sekolah.

"Anak-anak, kelas sudah berakhir." Bai Li tersenyum ke arah siswa yang sedang berbinar menatap pada wajah pemuda itu. Riuh terdengar kian menjadi ketika tanpa aba-aba, sang pemilik sekolah memeluk pinggang ramping Dokter Gu sambil melayangkan sebuah kecupan lembut di pipi sewarna kapas kepunyaan pemuda di pelukannya.

Kamera ponsel diarahkan pada pasangan yang terlihat sangat mesra itu seraya mengambil gambar. Beberapa siswa bahkan bersiul, sebagian lagi merasa malu hingga menyembunyikan wajah pada kolong meja. Tatapan memuja tidak lepas dari beberapa siswa yang memang seorang fujoshi tingkat akut atupun penggemar novel BL.

Dua pemuda tampan dengan paras menawan itu keluar kelas seraya menyusuri lorong dan menuju ke ruangan milik Bai Li. Pemuda yang sedang mengenakan kaca mata itu tersenyum penuh sambil menyapa orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan keduanya. Jangan lupakan pelukan pada pinggang yang membuat Gu Wei kian geram dan ingin sekali meninju wajah menyebalkan sang suami, bersamaan senyum palsu sekaligus memuakkan dari seorang Bai Li.

"Jangan terlalu jauh, Bai Li! Kecuali kamu ingin bekerja seraya menggendong tangan kanan atupun kiri karena patah!" Dokter Gu mencubit pipi Bai Li seraya menggertakkan gigi. Ia sudah setengah mati menahan amukan karena perjanjian konyol beberapa saat lalu yang telah mereka buat.

"Kenapa, Sayang?!" Bai Li memberikan tatapan menusuk ke arah Gu Wei.

"Perjanjian kita belum berakhir, itu pun jika kamu tidak lupa!" Sebuah kecupan mendarat sekali pada pipi hingga membuat orang yang tidak sengaja melihat ulah pemuda itu, harus menutup wajah sambil memutar arah.

"Aku tidak lihat, aku tidak lihat, aku tidak lihat!" Salah satu dari beberapa ucapan para penghuni sekolah kaum elit itu hingga Gu Wei terpaksa menendang betis suaminya karena kemarahan yang sudah di ujung kepala.

"Bedebah!" Gu Wei meninju perut Bai Li.

"Satu, kosong. Aku menang." Pemuda pemilik netra serupa elang itu terbahak seraya berlalu, mengelus perut yang sedikit nyeri, lalu mengacungkan jari tengah hingga membuat Dokter Gu kian kesal.

"Fuck!" Gu Wei menendang pada angin lalu meninggalkan sang suami. Ia merasa begitu bodoh karena menyetujui permintaan Bai Li yang sudah pasti banyak memiliki akal licik di kepala mesum milik pemuda itu.

"Sial, sial, sial!" Umpatan dan juga makian beruntun tanpa jeda hingga membuat beberapa orang yang mendengar harus mengelus dada karena merasa prihatin atas mulut kasar seorang pemuda manis kepunyaan pemilik sekolah.

*****

"Hei, ada apa dengan wajahmu?" Teman satu profesi Gu Wei menatap heran pada wajah dokter muda yang sedang cemberut seraya pipi menggembung. Sang dokter bedah meletakkan dahi pada permukaan meja dengan posisi tangan menjuntai ke bawah seolah telah kehilangan tulang belulang. Ia menangis palsu, memberikan tatapan memelas pada Dokter Liu yang tiba-tiba memegang tengkuk karena melihat ekspresi menakutkan dari Gu Wei.

"Yak! Jangan melihatku dengan wajah menakutkan seperti itu, Gu Wei!" Liu Wei memutar kursi yang tengah diduduki oleh teman satu profesinya agar menghadap ke arah yang sebaliknya.

"Demi Tuhan! Kamu mengerikan jika sedang kesal!" Liu Wei duduk di kursi lalu mengipas leher dengan tangan. Tidak ada reaksi, umpatan pun tidak. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Lebih sunyi dari gedung terbengkalai yang terletak beberapa blok dari rumah sakit besar tempat mereka bekerja.

"Haiz, baiklah-baiklah! Aku akan mendengarkan." Gu Wei memutar kursi dan melompat ke arah Liu Wei seraya mendaratkan bokong pada paha teman satu profesinya itu. Ia mencubit pipi Liu Wei dengan gemas hingga pemuda yang sedang memangkunya memekik sembari menahan suara agar tidak berteriak.

Keduanya memulai obrolan di tengah-tengah waktu istirahat. Gu Wei sudah terbiasa membicarakan banyak hal pada pemuda itu, bahkan terkesan betah untuk berlama-lama. Ia merasa nyaman. Sikap Liu Wei yang selalu menjadi pendengar setia tanpa mengeluh sama sekali, menjadikan hubungan dua orang tersebut kian dekat. Ya, sebatas dekat. Karena pada dasarnya, mereka sama-sama masih menyukai dada besar kepunyaan para gadis. Setidaknya untuk sekarang.

Beberapa masa terlewati hingga jam kerja telah usai. Gu Wei melepas jas putih, lalu memasukkan pada tas kerja yang ia punya. Ia menyusuri koridor rumah sakit yang menuju tempat parkir. Namun, ia menghentikan langkah dan menepuk dahi ketika kepala pintarnya telah mengingat satu hal, Gu Wei datang dengan menggunakan taksi.

"Ya Dewa!" Ia memutar arah lalu menuju lift yang mengarah pada pintu keluar. Langkahnya tiba-tiba terasa berat. Hari yang sangat melelahkan karena harus berurusan dengan Bai Li yang sangat menyebalkan seperti sebelum-sebelumnya.

Aula lantai bawah terlihat lengang. Gu Wei melihat ke sekeliling. Menatap seraya memberikan seulas senyum pada satpam rumah sakit yang terbiasa ia temui. Pintu kaca sudah berada tepat di hadapannya yang otomatis terbuka ketika ada seseorang yang melintas. Udara malam menerpa wajah menawan yang ia punya dan menerbangkan helaian anak rambut milik Gu Wei.

"Butuh tumpangan?" Seulas senyum menyambut tatapan Gu Wei yang terlihat kesal seraya mendengkus.

"Memangnya aku bisa menolak!"

TBC.

Ego! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang