Bab 9

268 60 21
                                    

Napas hangat menggelitik tengkuk. Bai Li mengendus tidak ada jeda. Serupa candu pada kokain, tubuh sang kekasih tengah Bai Li jamah hingga satu jengkal pun tidak ada yang terlewat. Memeluk erat, mendekap seraya menghimpit, menyesap sekaligus mengigit hingga si empunya paras manis mengerang nikmat ketika liang surga kembali dihantam pedang kokoh kepunyaan sang kekasih.

"Bai Li, sudah cukup. Aku lelah." Mata terpejam, tubuh terentak-entak, napas putus-putus, tidak menyurutkan gerakan Bai Li ketika tengah melakukan penyatuan. Gu Wei menyesali keputusan yang ia buat, mengizinkan sang suami menyentuh tubuh yang dokter muda itu miliki, serupa melepaskan binatang buas dari kandang dan memberikan suguhan kelinci gemuk.

Ranjang berantakan, selimut berhamburan, baju berserakan dari depan pintu kamar hingga tepian pembaringan. Sang perindu mendapatkan persetujuan. Himpitan luka mulai menghilang. Pemuda tampan pemilik cinta besar telah berhasil mendapatkan sang pujaan.

Tidak ada lagi yang menginterupsi selain desahan nikmat dari dua tubuh saling memiliki. Larut dalam hubungan kasih, membuat keduanya lupa sejenak tentang penat pekerjaan yang menanti. Telepon pintar yang berdering berulang, pun tengah mereka abaikan hingga suara ketukan keras pada pintu, membuat keduanya memberi jeda sejenak seraya menoleh ke arah pintu.

"Bai Li Ge! Kita harus bicara!" Rahang Gu Wei mengeras, memukul bahu sang suami seraya melepas penyatuan secara paksa. Bai Li meringis, miliknya yang masih berdiri kokoh, telah kehilangan liang surga karena tamu tidak diundang yang tiba-tiba mengganggu kegiatan panas keduanya.

Gu Wei turun dari pembaringan, menuju kamar mandi dengan langkah tertatih, menyambar handuk pada penggantung di dekat pintu, memasuki ruangan lembab itu dengan kecemburuan di ujung kepala. Sang dokter benar-benar membutuhkan air dingin sangat banyak untuk sekarang.

Bai Li bingung. Sang kekasih masih saja cemburu. Seolah-olah pernyataan cinta yang pemuda itu utarakan adalah sebuah kebohongan. Namun, si pemilik netra elang tidak ingin merusak mood dengan menanggapi kecemburuan si empunya paras manis. Ia menyambar celana secara asal, mengenakan dengan tergesa, lalu membuka pintu.

Wajah Hua Lian sewarna tomat. Marah telah menguasai. Pemuda manis dengan lesung pipi di kedua sisi itu menunjuk hidung Bai Li, menggertakkan gigi, menarik lengan pemuda tampan itu dan membawa turun melewati anak tangga dengan setengah berlari.

Sang pemilik rumah terkekeh, membiarkan pemuda itu berbuat sesuka hati. Bagaimanapun, Bai Li tetaplah salah. Ia seenak hati mendekati pemuda itu, lalu menghilang tanpa kabar ketika suasana hati sang pemilik rumah tengah membaik.

"Ge, Gege tidak menghubungiku sama sekali! Gege melupakanku?!" Hua Lian memukul dada Bai Li berulang kali, melampiaskan amarah, meluapkan rasa rindu ketika rumah besar peristirahatan sang pemilik sekolah terasa sepi tanpa kehadiran si pemuda tampan.

Hua Lian mencoba sabar, berusaha tidak mendatangi rumah utama ketika sang pemilik belum tentu menerima kehadiran pemuda itu. Sesak menyelimuti. Hubungan tanpa status yang dua pemuda itu jalani telah menimbulkan bekas pesakitan teramat dalam.

Si pemuda mungil menekan perasaan yang ia punya. Cinta, kekaguman, pengabdian, tergambar jelas di wajah Hua Lian ketika tangis mulai menguasai. Pemuda itu tidak mampu lagi merasakan sendiri. Ia membutuhkan Bai Li lebih dari apa pun.

Beberapa kali mencoba menepis, berulang kali pula si empunya tubuh mungil merasa takut kehilangan. Beberapa tahun melewati kebersamaan tanpa sepengetahuan Gu Wei, membuat Hua Lian terasa nyaman, melupakan fakta bahwa sang empunya netra elang sudah memiliki pasangan tersendiri.

Kini, manis tidak lagi mampu dirasakan ketika Bai Li mulai mengubah kebiasaan. Hua Lian merindukan orang yang ia anggap kekasihnya. Ia ingin sang pemilik paras tampan kembali pada pelukan. Terdengar jahat dan egois. Namun, si pemilik tubuh mungil tidak patut dipersalahkan ketika menjadi tempat berlabuh sang pemilik sekolah, telah ia nikmati selama sekian masa.

"Rindu, Hua Lin rindu Gege, A-Lian mau Gege kembali ke rumah peristirahatan. A-Lian mohon, Ge." Bai Li terhenyak. Ia menarik Hua Lian dalam pelukan hangat. Pedih mengelilingi hingga lupa bahwa keduanya tidak bisa lagi bersama.

Bukan! Tidak seperti ini yang Bai Li inginkan. Rasa bersalah kian menjadi ketika melihat pemuda mungil itu terisak kian kencang sembari mencengkeram erat punggung sang pemilik rumah.

"Menjauh dari milikku!" Gu Wei menarik Hua Lian dari pelukan sang suami, mencengkeram kerah pemuda itu seraya memberikan tatapan tidak suka. Dokter muda itu marah, mengamuk tidak ada henti. Segala sumpah serapah keluar hingga membuat si pemuda merasa tersakiti.

Tidak hanya pemuda itu yang salah. Bai Li pun melakukan hal yang sama. Bukankah tidak adil jika hanya si empunya tubuh mungil menjadi tersangka tanpa meminta penjelasan? Melontar kalimat kasar bukan sebuah penyelesaian. Setidaknya, biarkan Hua Lian memberikan pembelaan. Tidak memberikan kesempatan, hanya akan memperkeruh suasana ketika kata maaf menjadi begitu sulit untuk diutarakan.

"Gu Wei! Biarkan dia memberikan penjelasan! Kendalikan amarahmu!" Bai Li menarik lengan sang kekasih. Ia memeluk si empunya netra kecokelatan, mencoba menenangkan, menggiring langkah pada sofa seraya memangku. Bai Li menatap pada si empunya tubuh mungil yang masih berdiri, menatap permukaan lantai, seolah semua disekitar akan menelan pemuda itu hidup-hidup jika sedikit saja berpaling.

Tubuh mungil pemuda bergetar, menahan marah dan juga takut ketika rasa manis mulai menghilang tertutup kenyataan pahit. Harus apa? Bagaimana pemuda itu menjalani hari ketika sang pemilik netra sewarna malam tidak lagi bersama di setiap embusan napas, ketika pemuda itu kesepian, pada saat rindu mengelilingi?

"Ge, A-Lian tidak suka seperti ini. Aku ingin Gege kembali bersamaku." Pemuda itu mulai menepis jarak.

"Aku lebih dulu bersama Gege, bukan? Gege bahkan melakukan hal itu lebih banyak denganku daripada dengan Gu Wei!"

Untuk kali ini, Gu Wei sudah kehilangan kesabaran. Ia tidak lagi memiliki belas kasih ketika mendengar ocehan tidak menyenangkan keluar dari mulut seorang pemuda mungil, tetapi memiliki mulut yang berbisa.

Vas bunga pada meja, Gu Wei sambar, lalu ia lempar ke arah pemuda itu tanpa berpikir dua kali. Tidak ada keluhan, meringis pun tidak. Pemuda itu terkekeh tanpa minat. Langkah Hua Lian tidak surut walaupun darah mulai menetes dari pelipis. Bai Li tidak bisa berbuat banyak. Ia ingin menolong si pemuda mungil, tetapi tatapan Gu Wei terasa mematikan.

"Gu Wei, sang dokter muda dari keluarga Gu. Dengar ini baik-baik! Jika aku tidak bisa mendapatkan Gege kembali dengan cara memohon, maka merampas adalah hal terakhir yang aku pilih dan aku pastikan Bai Li Ge manjadi milikku seutuhnya!"

TBC.

Ego! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang