Bai Li tersenyum miring. Ia menyukai tatapan terkejut dari dokter muda yang sedang ia tindih. Keusilan kembali hadir bersama dengan keinginan yang menggebu untuk menjahili Gu Wei sekali lagi. Pemuda tampan itu memagut daging kenyal kepunyaan dokter muda itu sembari memberikan gigitan-gigitan gemas, mengunci gerakan kedua tangan Gu Wei di atas kepala, menghimpit tubuh bagian bawah dengan menekan kedua kaki. Ia mengerjai habis-habisan pemuda manis tersebut seolah tidak kenal ampun.
Menit-menit berlalu dengan sentuhan dan juga desahan tertahan yang kian menjadi ketika suasana kian memanas. Ciuman pun terlepas setelah merasakan pasokan oksigen dalam paru-paru terasa menipis. Keduanya terengah dengan kedua mata saling bertemu tatap. Ada rasa penasaran yang menjalar hingga membaut Bai Li ingin merasakan sekali lagi bibir mungil yang berada di bawahnya. Pemuda tampan itu mendekat sekali lagi. Kali ini dengan sesuatu yang berbeda. Ia memasukkan jari telunjuk pada bibir mungil kepunyaan Gu Wei yang masih terbuka. Kesan sensual tidak terelakkan. Pemuda dengan netra setajam elang itu ingin sekali memakan pemuda yang sedang memberikan tatapan sayu setelah pertempuran panas bibir keduanya.
"Menyingkir!" Tendangan lutut mengarah pada perut telah dilayangkan hingga Bai Li mengaduh sembari berguling ke sisi kiri. Tidak hanya sampai di situ, Gu Wei beranjak, mencengkeram kerah si pemilik sekolah seraya menyeret pemuda itu hingga keluar kamar.
"Tidur di luar dan jangan coba-coba untuk masuk!" Pintu di tutup dengan kencang hingga mengeluarkan debaman. Gu Wei mengumpat tidak ada henti, membuat beberapa pelayan terbangun dan keluar kamar, berusaha untuk memastikan keadaan. Mereka hanya berdiri di ujung tangga, tidak berani memastikan lebih detail. Penjaga mendekat ke arah Bibi Xuan, mencoba menenangkan wanita paruh baya itu seraya meminta beberapa pelayan yang berkerumun untuk kembali ke kamar masing-masing.
"Siapkan mobil! Aku ingin keluar!" Penjaga menghadap ke arah sang tuan yang sedang menuruni tangga, mengangguk sekilas, lalu menuju garasi untuk mempersiapkan mobil yang dibutuhkan oleh si empunya rumah. Pemuda pemilik netra setajam elang itu sepertinya sedang kesal. Beberapa kali terlihat mengusap wajah secara kasar, melepas jas yang melekat pada tubuh, meletakkan pada jok belakang. Pemuda itu memasuki mobil dan mengendarai besi beroda tersebut dengan kecepatan penuh.
"Bye-bye, Tuan Bai Li." Gu Wei menyesap wine merah seraya menyandarkan tubuh pada tepian balkon kamar. Ia menghadap pada langit malam sembari terkekeh geli. Niat hati hanya ingin mengerjai sang suami, justru harus berakhir dengan membuat pemuda tampan itu marah hingga meninggalkan rumah. Gu Wei sendiri tidak ingin ambil pusing, membiarkan pemuda tampan itu selesai dengan amarah yang ia punya hingga Bai Li akan kembali pulang karena sudah merasa bosan.
Malam kian merajai. Dua jam berlalu hingga Gu Wei tertidur di ayunan yang berada pada balkon kamar pasangan itu. Dokter muda tersebut terbanguna ketika dering ponsel yang ia letakkan di dada berbunyi beberapa kali. Pemuda itu mengernyit, memijat pelipis karena efek minuman beralkohol yang beberapa saat lalu telah ia minum, sepertinya belum sepenuhnya menghilang.
Gu Wei mencoba mendudukkan diri sambik melihat siapa yang tengah menghubungi dan mengusik jam tidur yang pemuda manis itu miliki, memfokuskan pandangan pada layar sentuh di genggaman, lalu menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilan telepon.
Satu menit berlalu, penggilan telepon telah dimatikan. Gu Wei meletakkan telepon pada nakas lalu mencuci muka agar terlihat lebih segar. Ia harus bergegas menuju rumah sakit karena ada pasien yang harus segera ia tangani. Meskipun pada kenyataannya, ia sendiri sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Pemuda manis itu harus segera meminta obat pada rekan kerja terdekatnya agar segera pulih dari pengaruh wine yang membaut kepala dokter muda itu terasa berat.
"Sial! Ini semua karenamu, Tuan Bai!" Gu Wei duduk di tepian ranjang, mengusap wajah, menyambar ponsel seraya merebahkan diri pada ranjang. Ia menghubungi Liu Wei, memberitahu bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
Pengaruh satu botol wine merah sudah membuat pemuda itu nyaris tidak bisa berpikir dengan benar. Ia menutup sambungan seluler secara sepihak ketika Liu Wei sedang mengajar berbicara pemuda manis itu dari tempat yang berbeda. Pada detik berikutnya, pun Gu Wei sudah tertidur dengan posisi kedua kaki menjuntai ke bawah. Sepersekian masa berikutnya, seorang pelayan memasuki kamar sang tuan rumah, melihat ke arah dokter muda yang sedang berbaring pada posisi kurang mengenakkan.
"Tuan Gu sepertinya mabuk lagu, Tuan Bai." Pelayan itu berbicara pada sang pemilik rumah melalui telepon genggam sambil berdiri di antara pintu kamar yang terbuka. Bibi Xuan dengan patuh menunggu perintah dari Bai Li mengenai apa yang selanjutnya harus ia lakukan. Beberapa menit berlalu dan sambungan telepon telah berakhir. Bibi Xuan menunjuk kepala penjaga untuk membetulkan posisi tidur Dokter Gu dan bergegas meninggalkan kamar setelah membereskan beberapa kekacauan yang sudah dokter muda itu telah buat.
******
Satu Minggu berlalu sejak kejadian ciuman paksa dan Bai Li belum juga kembali ke rumah. Gu Wei berteriak pada beberapa penjaga beserta pelayan karena merasa kesal. Tidak ada satu orang pun yang memberi tahu keberadaan Bai Li ketika dokter muda itu tengah bertanya. Pihak sekolah tidak juga memberi jawaban yang menyenangkan ketika sang pemilik sekolah tidak menampakkan diri selama satu minggu belakangan.
"Bagaimana itu mungkin?! Apa dia diculik makhluk asing?!" Gu Wei menendang sofa, meninggalkan rumah dalam keadaan emosi yang tidak stabil. Ia berniat untuk bertemu dengan Liu Wei seraya menyusuri jalan perkotaan yang berjarak beberapa jam dari kediaman dokter muda itu. Namun, sosok yang sudah sangat ia kenal, tiba-tiba melintas seraya menaiki kuda besi hitam dengan kecepatan sedang.
"Bedebah!" Gu Wei memutar arah lalu menyusul pemuda yang beberapa saat lalu sempat ia lihat. Ia mengembuskan napas kesal beberapa kali, mencoba meredam amarah yang sudah berada di ujung kepala. Dua puluh tiga menit berlalu hingga berakhir pada sebuah rumah sederhana dua lantai bergaya khas China kuno. Kuda besi yang sedang diikuti oleh Gu Wei terlihat terparkir pada halaman dengan rerumputan hijau dan juga bonsai pinus di beberapa titik.
Gu Wei menghentikan laju mobil dan memarkirkan pada luar halaman rumah. Ia melepas sabuk pengaman pada tubuh, membuka pintu mobil, kemudian turun secara perlahan. Ia menutup pintu besi beroda itu sembari bergumam beberapa kali. Satu tahun pernikahan yang sudah ia lalui dan tidak satu kali pun Gu Wei paham mengenai kehidupan Bai Li ketika berada jauh dari pemuda manis itu.
"Tuan Gu?" Seorang pria paruh baya membungkuk sekilas lalu mengulurkan tangan sembari menunjuk ke arah pintu.
"Tuan Bai sudah menunggu Anda." Dokter muda itu bergegas memasuki rumah, meninggalkan pria berusia baya yang menyambutnya beberapa saat lalu karena perasaan kesal yang tidak mampu lagi ia tahan.
"Bai Li!" Gu Wei menyerukan nama sang suami pada ruang tengah.
"Sepertinya, Gu Wei sangat merindukan suaminya." Seorang pemuda manis dengan poni menyamping, pemilik netra sedikit sayu itu sedang menuruni tangga secara perlahan sembari menata penampilan yang sedikit berantakan. Senyum mengejek tercetak sangat jelas. Ia menyelipkan anak rambut pada sela-sela telinga sembari menunjuk sofa, mempersilakan dokter muda di hadapannya untuk duduk.
"Wow, jadi ini seseorang yang sudah membuat seorang Bai Li harus---"
"Katakan! Di mana Bai Li!" Gu Wei menarik kerah baju pemuda tersebut hingga tanpa sengaja netra kecokelatan yang ia miliki melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.
"Apa hubungan kalian sebenarnya?!"
TBC.