Seperti tertindih batu, sesak dan kesulitan bernapas. Bai Li meremas tepian balkon seraya memeluk pinggang si empunya paras manis yang terus-terusan mengoceh karena mabuk. Suami Dokter Gu membopong tubuh pemuda manis itu sambil mendengarkan kalimat tidak menyenangkan yang membuat telinga suami Gu Wei terasa panas.
Entah apa yang dilakukan Dokter Gu bersama sang rekan ketika si pemilik rumah tidak ada. Bai Li kesal tidak keruan, membaringkan tubuh sang kekasih sedikit kasar, lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sembari mendinginkan kepala. Ia berharap, guyuran air dari shower, dapat mengurangi sedikit rasa cemburu yang ia miliki.
"Sial! Aku mencintai makhluk aneh!" Pada akhirnya, pemilik sentra elang itu memilih menghabiskan waktu dan bercengkrama dengan air. Mencintai dalam diam ternyata sangat sakit. Lebih sakit lagi ketika rasa suka dianggap sebagai hal yang menjijikkan. Bai Li selalu berpura-pura menyukai lawan jenis, bertingkah manja, mencari perhatian Gu Wei dengan berpura-pura selingkuh. Namun, semua tidak dianggap ketika rasa remeh dan menyepelekan, menjadi jawaban atas perasaan yang Bai Li punya.
Tiga puluh menit di kamar mandi dan tidak berhasil membuat emosi Bai Li mereda. Ia keluar kamar dengan rasa membara. Sang pemilik sekolah bersandar di tepian pintu yang terbuka, menatap si dokter muda seraya mengusap kepala dengan handuk kecil.
Si pemilik rumah tersenyum miring. Melihat Gu Wei tertidur ketika mabuk adalah hal yang menyenangkan. Ia bisa mencuri ciuman ataupun sedikit sentuhan. Katakan Bai Li curang, katakan Bai Li kurang ajar. Namun, dilihat dari banyak sudut, pemilik mata elang itu tidaklah salah. Ia hanya tidak tahan dengan pesona dokter muda itu.
Pernikahan konyol sekaligus penuh warna. Rasa suka yang tumbuh seiring pertengkaran dan perselisihan. Berpura-pura tidak peduli, pura-pura selingkuh, pura-pura tidak suka. Lebih parah lagi, pura-pura menikah karena terpaksa.
Bai Li berdecih ketika mengingat semua hal itu. Ia berharap, Gu Wei bisa memahami lebih cepat perasaan si pemilik rumah. Kesabaran orang memiliki batas. Kecemburuan manusia bisa menjadi menakutkan. Ketidaksukaan bisa memicu pertengkaran dan posesif yang berlebih.
Selesai dengan urusannya, Bai Li meletakan handuk di gantungan kecil, mengambil piama di almari, lalu mendekat ke pembaringan. Tepian ranjang menjadi hal pertama yang ia tuju. Pemuda itu duduk perlahan, tangan terulur, mengusap anak rambut, menyelipkan di sela-sela telinga sambil mencium dahi si pemuda manis sangat lama.
Sendu, Bai Li mungkin terlihat baik-baik saja, tetapi memiliki sakit yang tersembunyi. Cinta tertahan, rindu tertutupi, duka berselimut tawa. Akankah ia bertahan dengan ego yang Gu Wei miliki? Dokter muda manis penyuka melon. Kata-kata menyebalkan yang ingin ia hapus dari dunia.
"Aku ingin menyembunyikan dirimu dari dunia jika saja aku bisa." Bai Li berdiri, berpindah ke sisi ranjang yang kosong, lalu tidur seraya memeluk si pemuda manis. Si pencuri nakal. Pemuda galak yang sangat lurus. Namun, bisa tiba-tiba berubah manja ketika sedang mabuk lalu tertidur seperti bayi.
"Jangan menendangku ketika sudah bangun, oke?" Ciuman di pipi sudah Bai Li lakukan. Ia menenggelamkan wajah di ceruk leher Gu Wei, mengendus-endus, dan memeluk dengan erat. Pertama kali dalam beberapa tahun pernikahan, mereka tidur satu kamar, satu pembaringan, sangat dekat, dan tidak ada jarak.
*******
Malam berlalu dan pagi menggantikan peran. Ia menampakkan sinar cerah dan menelusup melalui celah tirai jendela. Dua pemuda di kamar luas itu masih setia dengan alam mimpi, berpelukan erat dan salah satu menjadikan dada si dominan sebagai bantal.
Pelayan dan penjaga rumah menunggu dengan sabar sang tuan keluar kamar untuk sarapan. Mereka berbisik sambil bergosip. Tidak biasanya sang pemilik rumah terlambat bangun. Pikiran kotor sekaligus harapan manis mulai merajai kepala mereka. Bagaimanapun, sepasang kekasih haruslah memiliki momen romantis walaupun satu kali.
Sementara itu, di dalam kamar sang pemilik rumah, Dokter Gu terlihat bergerak-gerak, menyamankan posisi tidur sambil memberikan ulasan senyum meskipun dengan mata tertutup. Sinar matahari yang mulai menusuk penglihatan, mulai mengusik kenyamanan tidur sang dokter muda. Si pemuda manis mengulurkan tangan, mengusap mata berulang, dan membukanya perlahan.
"Aiya, kepalaku." Ia mengaduh, memegangi pelipis, mencoba duduk dengan benar seraya melihat ke sekitar. Rasa tidak nyaman karena terlalu banyak minum, membuat Gu Wei memilih untuk tidur lebih lama lagi.
"Apakah sangat nyaman, Dokter Gu?" Pemuda yang sedang memiringkan tubuh serata menyangga pelipis itu, bersikap santai, mata mengerling bersamaan bibir mengerucut.
"Ciuman selamat pagi." Kesal dan marah meluap sampai ke ujung kepala. Gu Wei mendudukkan diri, mengambil bantal untuk ia jadikan alat pukul gratis.
"Dasar mesum! Pergi sana! Siapa yang mengizinkanmu tidur di kamarku?! Bedebah tengik! Tukang selingkuh! Jika rindu lubang kekasihmu, kenapa tidak pergi saja ke rumahmu yang lain?! Sial, sial, sial!" Gu Wei mengamuk. Ia meluapkan kekesalan seperti gulungan ombak. Entah setan apa yang menguasai hingga pukulan bertubi-tubi ia layangkan tanpa ada jeda.
"Aku membencimu! Sangat! Brengsek! Suami tidak waras!" Setelah merasa puas menganiaya Bai Li, Gu Wei membuang bantal secara asal. Ia memunggungi sang suami, lalu turun dari pembaringan. Kepala berdenyut, pun ia abaikan. Entah kenapa pemuda itu sangat marah ketika mengingat perselingkuhan Bai Li. Wajah menyebalkan sekaligus sombong dari kekasih sang pemilik sekolah, membuat pemuda manis itu merasa kalah satu langkah.
"Dasar pendek! Memangnya apa istimewanya laki-laki bertubuh pendek sepertinya?!" Ketika Gu Wei mencapai pintu kamar mandi dengan susah-payah, Bai Li melontarkan jawaban atas hinaan yang dilayangkan kepada Hua Lian. Bai Li berdiri, menyambar lengan sang kekasih, menyentak hingga tubuh pemuda manis itu menghadap ke arahnya.
"Setidaknya, ia jauh lebih baik, Gu Wei. Ia tahu cara menghibur orang. Hua Lian tidak malu untuk mengatakan cinta walaupun kami sesama pria! Ia berusaha membuatku tertawa ketika aku kesal dengan sikap egoismu! Hua Lian tidak munafik! Hua Lian tidak berpura-pura padahal ia tahu aku tidak pernah menyukainya! Dia seribu kali lebih baik walaupun dia bukan dari golongan orang berada sepertimu, Gu Wei!"
Amarah menakutkan sudah membuat Gu Wei terkesiap. Pemuda manis itu hampir terjatuh setelah mendengar semua penuturan Bai Li. Dada pemuda itu seperti dihujam peluru. Sesak sekaligus sakit. Tidak suka sekaligus merasa kalah. Benci sekaligus tidak terima.
"Kenapa? Sakit, bukan? Ah, maaf, aku lupa, kamu jijik dengan orang-orang seperti kami. Ucapanku pasti hanya angin lalu buatmu!" Bai Li tersenyum miring. Ia berjalan menuju pintu dan melangkah dengan tergersa. Ia tidak menoleh ataupun mencoba berhenti. Bagi pemuda tampan itu, meluapkan amarah sudah lebih dari cukup agar pikirannya tidak terus berputar di tempat sama.
"Maaf, maafkan aku. Maafkan aku, Bai Li." Pelukan erat di pinggang, membuat si pemilik rumah menghentikan langkah. Ia melepas pegangan di pintu secara perlahan sambil mengepalkan jemari dengan kuat.
"Aku tidak pernah memaksamu untuk mencintaiku, Gu Wei. Tidak sekali pun. Pergilah jika itu membuatmu lebih nyaman. Karena cinta tidak terbalas terasa lebih menyakitkan dari kata-kata menjijikkan dari orang-orang lurus sepertimu."
TBC.