Gu Wei memaki tidak ada henti. Ia mengacungkan jati telunjuk pada hidung dan juga dahi Bai Li secara bergantian kemudian merapikan kemeja yang terlihat sangat kusut. Sang suami mencoba menahan senyum sekaligus berpura-pura tidak mendengar. Pemuda tampan itu justru asik membaca surat kabar pagi seraya meminum kopi.
"Ah, pagi yang cerah." Bai Li menaruh kopi yang ia pesan kepada petugas kantin sekolah beberapa saat lalu di meja, merapikan lembaran-lembaran surat kabar yang sedikit berantakan, lalu meletakkan di permukaan sofa yang tidak diduduki. Si pemilik sekolah bersedekap sambil memandang wajah manis sekaligus galak yang tercetak di wajah Dokter Gu. Pemuda manis itu merasa tidak terima dan masih saja mengamuk ketika krisan merah yang sungguh menggoda selera sudah berhasil Bai Li kuasai.
Gu Wei mondar-mandir sembari memegangi pinggang. Entah sudah berapa kali pemuda itu mengumpat tidak ada henti. Ia menuju pintu, menghentikan langkah, membuka pintu lagi, menutup lagi, dan kembali mengomel. Bai Li membiarkan saja. Ia justru menyukai pemuda manis yang sedang dalam mode galak tersebut walaupun pada kenyataannya, telinga pemuda tampan itu terasa penuh akibat kata-kata kasar sekaligus umpatan dari sang dokter muda.
"Aku benar-benar membencimu, Bai Li!" Gu Wei akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan kepunyaan sang pemilik sekolah, tidak peduli dengan cara jalan pemuda manis itu yang terlihat aneh dan sedikit tertatih. Guru yang kebetulan berpapasan, sebisa mungkin menahan diri dan mencoba mengabaikan, terlepas dari sapaan basa-basi agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Bai Li tidak sedikit pun merasa menyesal. Setelah kepergian Gu Wei dari ruangannya, pemuda tampan itu merebahkan diri di sofa seraya terbahak. Untuk kali ini, ia benar-benar merasa puas. Sedikit keangkuhan si dokter muda itu sudah mampu ia patahkan. Ego tinggi dan juga pemikiran yang selalu merasa benar, sudah membuat hubungan keduanya tidak ada kemajuan sama sekali.
Bahkan, ketika melihat Bai Li memiliki seorang kekasih, ia tidak satu kali pun merasa cemburu atupun marah. Justru pandangan remeh dan juga jijik yang Gu Wei berikan bersamaan dengan kalimat-kalimat tidak mengenakkan di telinga kepada sang suami. Harapan untuk sebuah pernikahan yang menyenangkan hanya menjadi angan semu yang sangat sulit untuk digapai.
Tidak ada rasa suka yang terlihat dari sorot mata seorang Gu Wei. Pemuda manis yang berhasil membuat pemuda tampan itu berbelok arah, ternyata tidak sedikit pun memiliki rasa suka terhadap sang pemilik sekolah. Hanya belum. Bukan berarti tidak mungkin. Bukankah perasaan manusia tidak ada yang bisa menebak? Hari ini bisa saja sang dokter muda menyuarakan sebuah penolakan seperti sebelum-sebelumnya, tetapi tidak akan ada yang tahu untuk hari esok akan menjadi seperti apa.
Bai Li mengusap wajah kasar. Ia melihat ke arah pintu dan menyudahi angan menyesakkan karena meruntuhkan tembok pembatas seorang Gu Wei tidak semudah yang ia pikir. Perlakuan kasar dari Bai Li beberapa saat lalu kepada sang dokter muda, menjadikan rasa menyesal tiba-tiba menyeruak.
Beberapa laporan hasil kinerja guru tidak satu kali pun ia sentuh. Tumpukan lembaran kertas ia biarkan memenuhi permukaan meja kerja di ruangannya. Bai Li mulai gelisah. Ia mengigit kuku pada jemari seraya menyalurkan kecemasan. Untuk kali ini, mungkin pemuda tampan tersebut benar-benar sudah keterlaluan. Kepala pintar pemuda tampan itu mulai bekerja dengan cepat lalu memutuskan untuk menemui Gu Wei sesegera mungkin.
"Aku harus segera bertemu dengannya!" Bai Li menyambar jaket yang beberapa saat lalu ia lepas karena aktivitas panas dan memakai dengan tergesa. Ia mengambil ponsel di saku celana yang terdapat sedikit goresan karena terjatuh dari sofa ketika pemuda tampan itu membuka celana dengan tergesa untuk melakukan penyatuan dengan sang dokter muda. Lalu, ia pergunakan untuk menghubungi kepala sekolah agar memeriksa berkas laporan guru dan diselesaikan dengan segera. Ia melewati koridor panjang lalu berbelok dan menuju ke arah gerbang sambil menghubungi taksi online.
******
Beberapa menit terlampaui dan kecemasan itu belum juga mereda. Bai Li terlihat duduk dengan gelisah ketika menunggu Gu Wei di aula rumah sakit yang berada di lantai bawah. Ia sampai meminta si sopir taksi agar mengendarai besi beroda itu dengan kecepatan tinggi, tidak peduli jika harus membayar lebih. Baginya, segera sampai di tempat kerja sang dokter muda adalah hal yang paling utama.
Lima menit berlalu dan Gu Wei belum juga menemui Bai Li. Pemuda tampan itu masih setia menunggu seraya mondar-mandir. Ia melihat ke arah lift secara berulang. Setiap ada pergerakan, si pemilik sekolah selalu mengira bahwa itu adalah si pemuda manis. Namun, hingga jam kerja telah berakhir, pun Gu Wei tidak menampakkan rupa.
Suami dokter muda itu sampai tertidur di kursi tunggu antrian periksa. Ia meringkuk seperti anak kucing. Seorang satpam hanya bisa menggelengkan kepala ketika saran untuk menemui Gu Wei di lantai atas, hanya dianggap angin lalu dengan alasan takut menjadi pengganggu ketika pemuda manis itu tengah sibuk dengan pekerjaannya.
Akan tetapi. Nasib benar-benar memberikan kesialan kepada Bai Li sekali lagi. Permintaan maaf tidak disalurkan dan ketika terbangun dari tidur yang membuat tubuh tidak nyaman, harus mendapati Gu Wei yang terlebih dulu pulang tanpa memberi kabar walaupun hanya sebatas pesan singkat.
Lelah dan kesal menjadi satu. Si pemuda tampan memilih beranjak dari kursi dan meninggalkan rumah sakit sekaligus membawa serta rasa kecewa yang menyatu dengan penyesalan tidak ada jeda.
Beberapa menit terlewati dan Bai Li tiba di rumah dalam keadaan kurang baik. Ia turun dari taksi online yang ia pesan tanpa mengambil uang kembalian, berjalan melewati pintu gerbang dengan langkah gontai seraya menendang-nendang bebatuan kecil yang ia jumpai. Tinggal beberapa meter menuju pintu utama, tetapi ia menghentikan langkah dan melihat ke balkon bersamaan dengan gelengan kecil di kepala.
"Tsk! Dia pasti mabuk lagi!" Bai Li membawa langkah kaki dengan setengah berlari, memasuki rumah setelah penjaga membukakan pintu, dan menuju lantai atas seraya menapak anak tangga. Ia membuka pintu dengan tergesa, menyalakan lampu kamar sambil menyerukan nama si dokter muda.
Botol wine yang sudah kosong tergeletak tidak jauh dari tempat pemuda manis itu berdiri. Bai Li mendekat secara perlahan dan memeluk pinggang ramping Gu Wei seraya menghirup aroma manis dari leher si dokter muda.
"Hei, jangan menyentuhku!" Gu Wei memutar tubuh sambil mengalungkan lengan pada leher kokoh sang suami. Tubuh dengan ucapan sedang tidak sinkron. Wajah memerah dan juga mata sedikit sayu, membuat Bai Li kian gemas. Ia mencubit hidung mancung si pemilik paras manis seraya menggoyangkan secara berulang, lalu melepaskan cubitan setelah si empunya hidung mengeluh dengan bibir mencebik.
"Gendong!" Ke mana sifat keras kepala pemuda manis itu ketika tengah mabuk? Gu Wei terlihat sangat kekanakan. Ia memperlakukan Bai Li seperti seorang anak yang meminta gendong kepada sang ayah. Perasaan si pemilik sekolah sedikit tergelitik. Ia mencoba mengikuti alur yang ada sekaligus mencari tahu secara perlahan sejauh apa perasaan dokter muda tersebut kepada Bai Li.
"Liu Wei," Gu Wei menyembunyikan wajah pada leher Bai Li, "aku masih ingin bermain sekali lagi."
TBC.