Bab 3

339 66 11
                                    

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Membawa dua pemuda itu dalam suasana sedikit canggung. Mereka tidak saling bicara hingga sampai pada mansion mewah yang mereka tempati. Besi beroda itu memasuki gerbang dengan pagar menjulang yang terbuka otomatis ketika mobil sang pemilik rumah memasuki kawasan tempat tinggal itu.

Kedua pemuda tersebut turun dari mobil tanpa saling menunggu. Tidak acuh dan saling mendiamkan sudah terbiasa mereka lakukan. Namun, setidaknya, mereka tidak pernah melakukan adu mulut hingga membuat para penghuni rumah itu merasa terbebani.

"Aiya, aku lelah." Dokter Gu merebahkan diri pada sofa ruang tengah tanpa mengganti baju terlebih dulu. Tas kerja ia letakkan di meja dengan sepatu masih melekat pada kaki.

"Mandi dulu, Gu Wei!" Bai Li menarik lengan pemuda manis itu hingga tubuhnya terduduk pada sofa. Gu Wei mengabaikan dan kembali tertidur setelah tangan pemuda itu sudah lepas dari genggaman Bai Li. Pemuda manis itu justru meringkuk, menyamankan posisi pada sofa, lalu memeluk bantal tidur dengan erat. Bai Li mengusap wajah kasar seraya menyisir rambut ke belakang dengan jemari.

Ia mengamati Gu Wei cukup lama hingga sebuah ide jahil melintas di kepala. Pemuda tampan berkacamata itu mendekat lalu berjongkok, salah satu tangan terulur, dan mengusap pipi putih milik Gu Wei yang terlihat berisi. Merasa tidak ada pergerakan, Bai Li melanjutkan kejahilan dengan memberi cubitan-cubitan gemas pada leher dan merambat hingga ke dada.

"Gu Wei," Bai Li mendekatkan bibir ke telinga dokter yang sedang tidur pada sofa, "mau aku mandikan?" Jurus dan kejahilan yang sangat ampuh. Gu Wei membuka mata dan melempar bantal di pelukan seraya mengumpat kesal.

"Bedebah!" Gu Wei mendorong Bai Li hingga terjungkal. Ia melangkahi tubuh sang suami, menyambar tas pada meja seraya menyentil dahi Bai Li hingga pemuda tampan itu mengaduh. Dokter muda tersebut menapaki anak tangga dengan langkah cepat seraya mengentak-entak. Ia menoleh ke belakang sekilas sembari mengacungkan jari tengah.

"Fuck!" Bai Li menutup mulut dan berusaha menahan tawa hingga membuat wajah pemuda itu memerah. Kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika Gu Wei malas untuk membersihkan diri setelah pulang dari rutinitas di rumah sakit. Ia hanya tidak suka jika harus tidur satu ranjang dengan orang yang malas untuk sekadar membasahi tubuh dengan air.

Bai Li beranjak dari karpet bulu yang menempel pada permukaan lantai marmer lalu menyusul Dokter Gu untuk menunggu giliran mandi. Ia menaiki tangga dengan berlari nyaris melompat-lompat, membuka pintu, lalu meletakkan tas kerja pada sofa dan duduk setelahnya. Ia melonggarkan dasi dan menempelkan punggung yang terasa remuk pada sandaran sofa. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati aroma terapi dan alunan musik klasik yang menjadi pengisi suara bersamaan dengan gemericik air dari kamar mandi.

Lima belas menit berlalu dan Gu Wei keluar kamar mandi, mengusap kepala yang basah dengan handuk kecil lalu menuju lemari untuk mencari piama. Ia melihat beberapa kali ke arah sofa. Sang suami tampak nyenyak tertidur hingga tidak sadar dengan posisi salah satu kaki yang menjuntai ke bawah. Ia berdecih, melihat Bai Li tertidur dengan nyenyak sebelum mandi. Padahal, beberapa saat lalu ia dengan gigih mengerjai pemuda manis itu agar mau beranjak dari sofa panjang yang nyaman agar bercengkerama dengan air.

"Tsk! Jangan salahkan aku jika membuatmu basah karena mengganggu istirahatku, Tuan Bai!" Setelah selesai berpakaian, pemuda itu mengambil gelas yang berisi air minum pada nakas lalu mendekat ke arah pemuda berkacamata itu. Langkah perlahan dan sedikit mengendap-endap, ia lakukan secara konsisten hingga berjarak kurang dari satu jengkal.

"Rasakan!" Hari yang sangat tidak beruntung untuk sang dokter muda. Ketika tangannya terulur untuk menuang air ke wajah tampan sang suami, salah satu kaki Bai Li yang menjuntai ke bawah secara tiba-tiba terangkat dan mendorong tubuh bagian belakang Dokter Gu hingga pemuda manis itu pun terjatuh tepat berada di atas tubuh pemuda yang masih asik dengan alam mimpi. Air pada gelas tumpah mengenai karpet bulu di kamar dan gelas, pun menggeliding setelah terlepas dari genggaman Gu Wei.

"Gu Wei, jangan banyak bergerak." Bai Li menarik tubuh pemuda yang sedang berada di atasnya hingga mereka berdua sama-sama berada di sofa dengan posisi yang ... mari kita bayangkan bersama-sama. Pemuda tampan itu tampaknya tengah mengigau. Bai Li tidak tahu apa yang baru saja ia lakukan telah membuat Gu Wei mengigit bibir bawahnya sendiri karena jarak mereka yang terlampau dekat. Bai Li memutar posisi hingga menjadi menyamping. Ia memeluk tubuh pemuda manis itu kian erat seraya mengusap-usap punggung sempit sang dokter muda.

Gu Wei masih tidak bergerak ataupun berusaha beranjak dari sofa. Netra pemuda manis itu mengerjap lucu. Ia berusaha bernapas dengan benar ketika tengah dipeluk sebegitu erat oleh pemuda yang sudah pasti memiliki kekuatan lebih besar daripada Gu Wei.

"Bagaimana ini? Apa sebaiknya aku bangunkan saja?" Gu Wei mencoba memanggil nama Bai Li secara berulang, menggoyang-goyangkan tubuh beberapa kali bahkan hampir saja menendang benda pusaka kepunyaan Bai Li karena pemuda berkacamata itu tidak juga membuka mata.

"Yak! Bai Li! Cepat bangun?!" Pada detik berikutnya, Bai Li tampak mengernyit, melepas pelukan untuk mengusap mata agar mampu melihat dengan jelas.

"Tidak perlu berteriak! Telingaku sakit, Gu Wei!" Bai Li meletakkan kepala pada leher pemuda manis itu hingga membuat geram si empunya tubuh.

"Buka matamu dan lihat apa yang sudah kamu lakukan?!" Netra setajam elang itu terbuka secara perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah manis dengan raut muka masam sedang memberikan tatapan membunuh ke arah pemuda yang baru saja tersadar dari alam mimpi itu.

"Gu Wei?" Bai Li secara refleks melepaskan pelukan sepenuhnya hingga Dokter Gu terjatuh dari sofa dengan tidak layak. Pemuda manis itu mengaduh, berteriak sambil menuding pada wajah tampan kepunyaan Bai Li. Memaki tanpa jeda hingga si empunya wajah tampan hanya meringis sembari menggaruk belakang kepala yang tidak gatal.

"Maaf, Gu Wei." Bai Li mengulurkan tangan, mencoba membantu dokter muda itu untuk berdiri. Namun, sesuatu yang tidak terduga, justru membuat pemuda itu membulatkan mata. Gu Wei menarik lengan sang suami hingga terjatuh dan menindih pemuda manis tersebut. Hal yang paling mengejutkan adalah kedua bibir mereka yang saling mengunci tanpa kedua pemuda itu pinta.

Diam, sunyi, tidak ada suara berisik, ataupun amarah. Hanya ada embusan napas yang tidak beraturan bahkan nyaris tercekat. Mereka masih terdiam dalam posisi yang sama. Entah karena terlalu terkejut ataukah memang terlalu malas untuk beranjak. Kedua netra mereka berkedip samar. Ada sesuatu yang sedikit tidak beres ketika dua bilah bibir tersebut saling menempel. Sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya hingga sebuah pergerakan kecil, membuat netra Gu Wei membola nyari melompat keluar.

"Emmmbb ...."

TBC.

Omong-omong, Tuan Bai usil ngapain lagi, ya?

Ego! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang