Sepi menguasai dan keheningan mulai menyapa. Dua pemuda duduk pada tepian ranjang seraya saling memunggungi. Penat pada hati, mereka abaikan sementara. Berpikir tenang sekaligus meredam emosi, sangat dua pemuda itu butuhkan hingga waktu tidak terbatas.
Lontaran kalimat belum mampu dicerna dengan baik. Kata maaf terabaikan. Ego menjadi pemicu semua masalah dan keras hati menjadi penggugah. Tidak ada kesepakatan, belum mampu memperoleh penyatuan. Cinta mulai terkikis ketika salah satu justru terbangun dari kecemasan.
Kecemburuan sekaligus gengsi membuat keduanya tidak bisa saling memahami. Cinta luar biasa, menjadi hal cacat karena sebuah kesalahan tidak terduga. Bai Li memendam semua sendiri, berusaha tidak melukai, mencoba menerima walaupun sangat paham semua berujung kegagalan.
Gu Wei, pemilik prinsip sekuat baja, menolak sentuhan dalam wujud cinta. Kata jijik ia lontarkan secara berulang. Pemuda manis itu mengira semua menjadi baik jika terus berpikir bahwa ia mempertahankan hal yang benar.
Namun, pemuda itu mulai merasakan hal sebaliknya ketika melihat sang suami bersama orang lain. Ada rasa tidak suka, kesal, keinginan menjauhkan teramat besar hingga lupa mengontrol untaian kalimat. Niat hati ingin memojokkan Hua Lian, justru berimbas luka pada si empunya netra sewarna malam.
"Bai Li," Gu Wei mengubah posisi duduk, menaikkan kaki ke permukaan ranjang, berjalan dengan lutut ke arah sang pemilik sekolah. Ia memeluk leher kokoh si empunya paras tampan yang masih terdiam dan belum memberikan reaksi, menempelkan dahi pada bahu pemuda itu seraya mengulang kata maaf.
Gu Wei mencoba semua cara agar tidak diabaikan, menggesekkan hidung pada leher, mengusap pedang kokoh si empunya paras tampan hingga gigitan gemas yang membuat Bai Li memekik tertahan. Sang pemilik netra elang mencoba mengabaikan. Godaan bertubi yang dilayangkan dokter muda itu, sebisa mungkin ia anggap angin lalu.
Detik menjalar hingga batang kokoh kepunyaan Bai Li telah mengeras sempurna. Gu Wei tersenyum miring, bersikap lebih berani, melepas pelukan seraya duduk di pangkuan sang pemilik sekolah. Ego ia kesampingkan sementara, membuat sang suami melupakan amarah adalah fokus dokter muda itu saat ini.
Menahan geraman, mendesis, memberikan tatapan nyalang pada pemuda angkuh yang sedang berusaha mati-matian membuat Bai Li luluh atas amarah yang sudah di ujung kepala.
"Hei! Setidaknya hargai usahaku!" Gu Wei berdecak, berdiri dari pangkuan seraya mendorong kedua bahu Bai Li hingga sang suami terjatuh pada permukaan ranjang. Si pemilik netra kelam tersenyum miring, menikmati setiap sentuhan sang dokter muda walaupun amarah tidak juga mereda.
Menit terlampaui begitu cepat. Gu Wei hampir kewalahan ketika Bai Li bergeming, tidak membalas setiap sentuhan pada tubuh. Tidak ingin menjadi pihak kalah, dokter muda itu menegakkan punggung, menurunkan celana sang suami secara paksa seraya mengigit bibir. Tatapan menggoda tengah pemuda manis itu layangkan seiring perbuatan nekat tanpa memperoleh balasan.
"Apa yang ingin kamu buktikan, Gu Wei?" Sentakan pada lengan, membuat Gu Wei terperangah. Bai Li duduk dengan tergesa, mendorong si pemilik netra kecokelatan hingga tubuh kecil pemuda itu terlentang pada pembaringan. Suami dokter muda itu merapikan penampilan, memunggungi sang kekasih hingga tidak ada lagi geraman tertahan.
Gu Wei kesal, teramat kesal. Persona yang ia miliki tidak mampu membuat amarah Bai Li pudar, justru kian bertambah ketika pikiran sang dokter muda mulai terbaca. Rasa tidak ingin kalah, lebih mendominasi. Ketika kecemburuan menyatu dengan sebuah kuasa, menjadikan cinta tertutup rasa tidak suka.
Bai Li memutar tubuh, bersedekap sembari menatap netra si empunya paras manis. Sang suami mendekat perlahan, senyum miring terlihat jelas seiring langkah perlahan pemilik paras tampan. Tangan pemuda itu terulur, menyentuh pipi Gu Wei yang baru saja membenarkan duduk. Getir mengelilingi ketika remeh adalah satu-satunya hal yang mampu di tangkap penglihatan.
"Kuasa tidak bisa membeli perasaan, Gu Wei. Kamu tahu benar tentang itu. Aku pernah mencintaimu serupa orang hilang kewarasan, mendedikasikan hidup untuk menuruti semua aturan konyol yang kamu buat, menjadi bodoh dan terlampau mengalah, melupakan rasa sesak ketika mengabaikan adalah pilihan yang kamu pilih."
Jemari Bai Li mengepal lalu ia tarik kembali ketika hampir menyentuh pipi. Air mata Gu Wei meluncur perlahan. Sakit mulai berakar, kalimat panjang yang mampu menampar sanubari hingga dada pemuda manis itu terasa sakit.
Gu Wei tidak paham, pemuda itu terlambat mengerti. Dokter muda yang terbiasa menyembuhkan luka ataupun pesakitan, menjadi kebingungan ketika perasaan pemuda itu patah dan berhamburan tanpa arah. Siapa yang akan memperbaiki ketika sumber bahagia memilih meninggalkan daripada bertahan?
"Mungkin, aku akan mulai mencintai Hua Lian, Gu Wei! Setidaknya, pemuda itu tidak peduli dengan kekuasaan ataupun rasa malu! Biasakan untuk hidup tanpaku! Mulailah mencari melon besar yang bisa kamu belah dengan kekuasaan!"
Bai Li keluar kamar sembari menutup pintu dengan kasar. Keheningan menjadi teman pemuda itu. Lelehan bening menguasai seolah tidak ada jeda. Gu Wei merindu. Sang dokter muda tidak rela. Pemilik paras menawan menjadi lemah ketika kekalahan menjadi hasil akhir dan tidak sesuai dengan harapan.
"Tidak, tidak, tidak! Aku tidak mau!" Gu Wei berdiri tergesa, menuju pintu seraya membukanya. Tidak! Bukan seperti ini yang dokter muda itu inginkan! Ia cemburu dan benar-benar tidak suka ketika miliknya bersentuhan dengan orang lain. Kaki beradu dengan anak tangga menarik perhatian beberapa pelayan yang tengah berbisik.
"Bai Li! Kembali atau aku benar-benar akan mencari melon besar!" Si pemuda tampan mengabaikan. Ia mengepalkan jemari ketika Gu Wei masih saja keras kepala. Tidak bisakah pemuda itu sedikit menggunakan perasaan ketika berbicara? Kata-kata mengancam sekaligus angkuh, selalu mengikuti. Mungkin, pernikahan keduanya benar-benar tidak bisa lagi tertolong.
Garasi menjadi tujuan Bai Li ketika Gu Wei memutuskan mengikuti dengan langkah tergesa. Ia mendesah kasar, meminta kunci pada penjaga, lalu membuka pintu mobil setelahnya.
"Berhenti!" Gu Wei menarik bahu sang suami, memutar tubuh secara paksa, menghajar dengan ciuman panas hingga Bai Li gelagapan. Tendangan pada pintu mobil, membuat para penjaga menahan senyum. Mereka menunduk seraya memalingkan wajah. Ciuman panas setengah memaksa, membuat sang pemilik sekolah hampir saja mengigit bibir pemuda itu.
"Yak! Satu kali mendengar ucapanku tidak akan membuatmu menjadi jelek, Bai Li! Setidaknya biarkan aku bicara! Aku memiliki hak untuk mempertahankan pernikahanku jika kamu tidak hilang kewarasan!" Gu Wei memeluk leher Bai Li dengan erat. Pemuda manis itu menangis seperti bayi, memukul punggung sang suami secara berulang. Si pemilik netra kecokelatan meruntuhkan ego hingga tidak ada yang tersisa. Ia kalah, pemuda manis itu tidak mampu lagi menahan cemburu sendirian.
"Hei! Kamu jelek saat menangis!" Bai Li terbahak, mengeratkan pelukan, menghujani wajah sang kekasih dengan ciuman gemas. Sepertinya, sedikit licik sangat membantu jika berhubungan dengan sebuah perasaan. Ketika sandiwara tidak juga membuahkan hasil, maka pikiran nakal harus bekerja lebih cepat dari tarikan napas.
"Kalah?" Bai Li mengusap air mata pada pipi Dokter Gu.
"Uum!"
End.
Canda. TBC.🤣🤣🤣