Senggang, hal paling sulit dicapai ketika dua pemuda penghuni rumah besar itu kian sibuk. Memiliki profesi yang berbeda, membuat jam kerja Bai Li beserta sang kekasih sering kali berselisih. Serupa manusia tanpa pasangan, menjalani rutinitas pagi dan malam tanpa saling menyapa.
Rindu, sudah pasti dan tidak perlu dipertanyakan. Dua pemuda itu hanya bisa berkomunikasi ketika waktu benar-benar senggang. Lebih parah lagi, Bai Li memiliki kerja sama dengan beberapa sekolah swasta yang lain, dalam hal meningkatkan kualitas pendidikan.
Tamu khusus dari luar lingkungan sekolah, rapat dengan beberapa staf yang berkaitan, melakukan peninjauan murid dari jalur khusus dan juga umum, semua hal harus dipertimbangkan oleh Bai Li masak-masak. Ia tidak ingin menghadapi kesulitan ketika semua hal sudah memenuhi syarat dan mencapai standar kesepakatan dari beberapa belah pihak.
Sementara itu, pada lain sisi, Gu Wei memiliki jadwal khusus bepergian ke beberapa desa, meninjau rumah sakit berfasilitas kurang memadai, melakukan kunjungan pada rumah-rumah penduduk desa, memeriksa kembali fasilitas rumah sakit yang ia bangun khusus untuk warga kurang mampu.
Salah satu nilai lebih dari dua pemuda itu. Sosok ramah dan dermawan yang dikenal banyak orang atas kredibilitas untuk kehidupan masyarakat luas. Namun, setiap kelebihan, memiliki kelemahan tersendiri, dan mereka mampu untuk menutupi hal itu.
Cinta, kerinduan, kesalahpahaman, perselisihan yang berujung pertengkaran, sudah berhasil mereka atasi ketika dua ego besar sudah mampu mereka kendalikan bersama cinta luar biasa. Bertanya dan menjelaskan, meminta dan menghadirkan, memohon seraya memberikan keyakinan, sepasang kekasih bersama kasih sayang yang kian menumpuk hingga ombak kecemburuan tidak mampu menembus kokohnya rasa percaya walaupun dengan bujuk rayu dibuat semanis mungkin.
Sepeti saat ini, Gu Wei menertawakan kebodohan seorang Hua Lian. Pemuda bertubuh kecil bersama rayuan mematikan yang hadir di tengah-tengah waktu senggang sepasang kekasih tersebut.
Mendekat paksa, memeluk secara serakah, memaksa meminta sebuah ciuman walaupun si empunya netra sewarna malam tidak ingin memberikan, Hua Lian merengek seperti bayi. Ia membuang harga diri, memohon agar menjadi bagian dari keluarga Bai meskipun sebagai pelayan.
"Kami sudah memiliki banyak pelayan, A-Lian, cari saja rumah besar yang lainnya untuk kamu mintai pekerjaan." Gu Wei menarik kerah belakang pemuda itu, membawa pada salah satu sofa, dan menghempaskan sedikit kasar.
"Ah, maaf, aku terlalu menggunakan banyak tenaga." Gu Wei mendekat pada sang suami, mendudukkan diri pada paha Bai Li, saling berhadapan dan sengaja menunjukkan kemesraan pada seorang pemuda dengan raut muka memerah.
"Gu Wei! Bai Li Ge masih menjadi kekasihku jika kamu tidak pura-pura lupa!" Hua Lian berdiri kasar, mendekati dua pemuda yang tengah mengerang nikmat pada ruang tengah seraya menyatukan dua bibir sekaligus membelit lidah.
Hua Lian tidak bisa berbuat banyak. Bai Li bersikap tidak acuh, mengabaikan, dan tidak memberikan pembelaan ketika sebuah status telah pemuda itu utarakan. Mencintai hanya dari satu pihak. Tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan. Pemuda itu serupa barang yang tidak lagi memiliki guna.
Bai Li melupakan dan seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Pemilik netra elang itu tidak satu kali pun meminta ataupun memohon pemuda bertubuh kecil tersebut tetap tinggal. Rasa tidak berbalas hanya menjadi ranjau tanpa tahu kapan akan menyakiti si pemilik.
Meledak, menyakiti orang sekitar tanpa sadar, menghancurkan akal sehat dan juga pemikiran waras jika tidak ada rasa mengalah. Cinta Hua Lian pada Bai Li bukan semata-mata karena terpaksa, bukan pula karena kedudukan, bukan tentang dua hati yang kesepian, tetapi ketika rasa nyaman mulai melekat dan tidak mau berpisah.
Hua Lian menumpahkan tangis, terisak-isak, memohon agar selalu bisa berdekatan walupun hanya sebagai bayangan. Lalu, bagaimana itu bisa menjadi mungkin? Hua Lian tetap orang lain dan pihak lain, sedekat apa pun hubungan pemuda itu dengan Bai Li di masa lalu, tetapi tidak akan memberikan pengaruh.
Tidak rela dan tidak akan pernah mengizinkan, Gu Wei memilih menghajar Hua Lian hingga kesulitan untuk menggerakkan bulu mata jika memang diperlukan.
"Pergilah, A-Lian. Tidak ada tempat untukmu di sini! Suamiku memberimu rumah peristirahatan, fasilitas lengkap, dana berlebih sekaligus perlindungan dari orang-orang tidak diinginkan! Mau apa lagi?!" Gu Wei menoleh, mengubah posisi duduk, menatap netra sembab yang masih saja mengeluarkan cairan bening. Hua Lian menunduk dalam, sangat dalam hingga Dokter Gu kesulitan untuk melihat wajah pemuda itu.
Terisak hingga tersengal-sengal, tubuh pemuda itu bergetar, si pemilik lesung pipi di kedua sisi mengepalkan jemari kuat-kuat. Hua Lian menerima, Hua Lian pasrah, Hau Lian masih memiliki harga diri walaupun berasal dari kelurahan sederhana.
"Ge, aku ... aku ... aku memiliki cinta yang lebih besar dari Gu Wei." Hua Lian menegakkan kepala. Sorot mata pemuda itu memperlihatkan kejujuran walaupun berbalas keraguan.
Gu Wei berdecih, berdiri dari pangkuan sang suami, mendekat perlahan sembari melontarkan kalimat tanya tentang definisi cinta itu sendiri kepada seorang pemuda yang mengaku memiliki cinta besar.
"Lalu, cinta macam apa yang kamu janjikan untuk suamiku, Hua Lian? Cinta seperti apa?" Gu Wei bersedekap, sedikit menunduk, menunggu jawaban si empunya dua lesung pipi tersebut atas sebuah tanya.
"A-aku ... aku ...." Tergagap-gagap, berjalan mundur perlahan, menjauh diri dari jangkauan Gu Wei yang kian dekat pada Hua Lian.
Gu Wei terkekeh lirih, menggeleng seraya menyambar lengan pemuda itu dan mendudukkan paksa pada salah satu sofa kosong. Embusan napas kasar mengiringi. Dokter muda itu hanya bisa marah kepada diri sendiri, menghujat takdir, pun percuma, berusaha menerima dan memaafkan adalah hal paling tepat ketika amarah terkadang tiba-tiba berada di ujung kepala.
"A-Lian, cinta bukan hanya memiliki satu sama lain, tetapi menjadikan satu dari dua pribadi yang sudah pasti sangat bertentangan." Menghela napas, mendudukkan diri di sofa panjang bersama Bai Li, Gu Wei mencoba mencari ketenangan atas sifat keras kepala seorang Hua Lian.
"Cinta itu ibarat oksigen, kamu sangat membutuhkan untuk bertahan hidup, kamu tidak bisa menyentuhnya, tetapi bisa menghidupimu. Serupa naik sepeda, kamu butuh waktu lama untuk berlatih, tetapi saat kamu sudah bisa menaiki, kamu bisa melewati semua halangan walau hanya dengan dua roda." Gu Wei mengusap wajah kasar, menghela napas, menghamburkan diri dalam pelukan Bai Li yang tengah tersenyum kecil seraya memberikan usapan-usapan menenangkan.
"Cinta Gu Wei hanya untuk Bai Li, pun sebaliknya. Tidak perlu ada orang ketiga dan kesekian. Karena dua pilar akan saling menguatkan seraya saling menggenggam erat sekaligus mengikat." Gu Wei memeluk kian erat. Sesak pada sanubari telah tersalurkan. Ia merasa lega dan tidak perlu takut ketika cinta berasal dari bentuk yang berbeda.
"Sekarang aku yakin bahwa Bai Li Ge telah memilih orang yang tepat." Hua Lian merogoh tas, lalu mengeluarkan sebuah kunci untuk ia berikan pada Bai Li.
"Ge, aku berencana liburan sedikit lebih lama. Berkeliling Jepang dan menetap beberapa masa." Seulas senyum terlihat di sela-sela tangis. Hua Lian telah kalah. Pemuda itu tidak lagi bisa membalas dengan sebuah kata ataupun kalimat panjang ketika Gu Wei serupa pemuda kasmaran yang tengah bertemu dengan pujaan hati.
Ia berpasrah, mendekati Bai Li sekali lagi, mendaratkan ciuman pada pipi, lalu menjauh bersama cinta besar yang ia miliki dan ternyata tidak lebih besar dari kepunyaan seorang pemuda manis pemilik sifat keras kepala.
Bukankah sangat lucu? Tidak, tidak, tidak! Itu sangat manis, bukan? Serupa kelopak canola dan magnolia yang berjatuhan dari langit-langit rumah besar keluarga Bai. Sepasang kekasih yang memilih melunak dan membuang keras sebuah ego jauh-jauh hingga menyisakan cinta tanpa perlu mempersulit.
"Love you more and more, Bai Li." Gu Wei menyatukan bibir keduanya bersama air mata bahagia sekaligus menutup kisah cinta keduanya.
End.