Sepanjang perjalanan pulang aku hanya terdiam di belakang dengan Lanna dan Rara yang ikutan diem. Ansell tertawa melihat layar ponselnya yang dipenuhi poto Lanna dan Rara yang tertidur. Arka yang menyetir dan Adit yang duduk di sampingnya pada diem. Lagu Bad Liar dari Imagine Dragon menemani perjalanan kami.
Ciuman lembut Adit semalam membuatku nggak bisa berhenti memikirkan dan merasakannya. Ciuman Adit memang lembut tapi rasanya itu ciuman terpanas yang aku lakukan karena ditonton oleh teman-temanku sendiri dan Arka. Ah, sialan!Aku tahu Ansell memotret adegan itu. Gelas kopi yang tumpah dan tatapan Arka yang pasti melihatku dan Adit ciuman. Belum lagi pertanyaan dari Lanna dan Rara yang mempertanyakan atas dasar apa Adit menciumku di depan tenda semalam?
Setelah berciuman Adit dan aku saling bertatap. Adit tersenyum kecil. Aku melihat keempat orang yang melihat adegan ciuman kami. Semuanya ternganga kecuali Arka. Arka membuang wajah dan kembali berpurapura fokus pada jagung bakarnya. Aku sedikit lega karena ciuman tadi membuat Adit urung mengonformasi pernikahan kami pada ketiga temanku itu.
"Lihat, deh, Nik, Pak Adit kalau tidur kaya gini hahaha." Aku melihat layar ponsel Ansell yang memperlihatkan Adit tertidur sembari memeluk bantal guling.
"Udah tahu." kataku lupa akan sesuatu.
"Udah tahu?" Ansell memiringkan kepala heran.
"Iya, emang Adit kalau tidur kaya gitu kan." Kataku yang bersitatap dengan Adit.
"Hah?" Lanna dan Rara menatapku heran. Apalagi Ansell yang melongo.
"Mmm... maksudnya, apa yang aneh dari cara tidur Pak Adit. Semua orang tidur seperti itu kan."
"Iya." Sahut Arka. "Nggak ada yang aneh. Aku juga tidur kaya gitu. Aku cuma nggak bawa guling aja."
Sebelah sudut bibir Adit tertarik ke atas sembari membuang wajah.
Kenapa sih dia diem aja? Kenapa nggak memberi pembelaan atau apa gitu biar anak-anak nggak curiga?
Sebenarnya Adit maunya apa sih? Kalau diingetinget lagi apa yang baru aja dia lakuin ke aku semalam. Terus perkataanperkataannya membuatku bingung sendiri. Intinya dia egois.
"Jadi, kamu punya niatan bisa berduaan dengan Arka di sini. Makanya kamu nggak mau aku ikut begitu?" tanyanya dengan nada sedingin angin yang menusuk dagingku.
"Kalau iya, memangnya kenapa? Kamu juga niatnya nggak ikut kan." Aku kembali mengambil secangkir gelas dari tangan Adit dan menyesap isinya tepat di bekas bibir Adit.
Adit tersenyum dingin. "Jadi, kamu naksir beneran sama Arka?"
Aku nggak menjawab pertanyaannya. Aku memilih berpura-pura menatap Arka yang tertawa dengan Ansell.
"Oke. Kalau kamu berani naksir pria lain aku harus mengakui pernikahan kita di depan teman-temanmu."
Aku menoleh pada Adit. Mataku melebar. Tenggorkanku tercekat.
"Jangan, Dit. Aku..." kosa kataku lenyap entah kemana.
Hening. Kami hanya saling bersitatap.
"Terus nanti kalau Alena tahu bagaimana?"
"Bukannya kamu mau aku mutusin Alena?" Adit malah bertanya balik.
"Emang kamu mau mutusin Alena?"
Kali ini Adit terdiam.
"Kamu nggak bisa jawab ya?"
"Ayo kita buat pengakuan sama tementemen kamu."
Aku melihat ke arah Arka, dia sedang melihat ke arah aku dan Adit seakan sedang memperhatikan kami.
"Setelah pengakuan pernikahan kita aku akan minta agar bisa tidur dalam satu tenda denganmu."
Pernyataan Adit membuat mataku kembali melebar.
"Kenapa kamu egois banget sih, Dit?" aku merasa Adit udah semenamena sama aku. Padahal aku dan Arka kan emang nggak ada apaapa.
"Aku nggak bisa terima kalau kamu naksir Arka. Lalu kalian pacaran. Terus bagaimana kita bisa membuat anak kalau kamu dan Arka..." Adit nggak lanjutin kalimatnya.
Adit melirik ke arah Arka. Lalu dengan gerakan lembut dia mengangkat daguku dan memagut bibirku hingga secangkir kopi tumpah di tanah. Dia menciumku dengan lembut. Sangat lembut. Aku nggak bisa menolaknya.
Ah, ciuman itu lagi yang aku bayangkan. Sialan!
"Pernah nggak sih kalian suka sama seseorang yang udah punya pasangan dalam artian mereka nggak saling menyukai satu sama lain?" Pertanyaan Arka membuat lidahku mendadak kelu. Aku melihat tatapan tajam yang dilayangkan Adit pada sepupunya itu.
"Mendingan aku cari yang lain kalau dia udah punya pasangan." Kata Lanna yang realistis. "Tanpa cinta atau ada cinta yang namanya udah berpasangan ya harus saling sayang. Ya, kan, Nik?"
Aku menoleh gugup pada Lanna. "Ya." Sahutku dengan nada rendah.
"Kalau aku pantang mundur. Toh, mereka nggak saling cinta ya selama masih bisa diambil ya aku akan berusaha." Kali ini pendapat Ansell. "Kamu gimana, Ra?"
"Aku sependapat dengan Lanna sih. Tapi, aku juga suka pendapat kamu, Sell."
"Jangan tanya Rara deh." Kata Ansell menyesal bertanya kepada Rara.
"Kalau Adit sama Pak Arka gimana?" tanya Rara sambil menggigit biskuit rasa kelapa kesukaannya.
Nggak ada jawaban dari keduanya. Akhirnya, aku memilih angkat bicara. "Kalau semisal salah satu pasangannya memiliki kekasih yang nggak bisa diputusin, berarti pasangan satunya bolehlah menjalin hubungan dengan yang lain. Mereka menikah kan bukan karena saling cinta kan." Aku menoleh pada Ansell, Rara dan Lanna yang balik menatapku dengan tatapan heran.
"Ada yang salah dengan perkataanku?" tanyaku pada ketiga anak yang menatapku masih dengan tatapan heran ini.
"Nggak kok. Cuma kedengerannya ganjil ya. Agak aneh." Kata Ansell bingung sendiri.
"Ya, aku setuju sama Arunika."
"Kayaknya ini cerita yang Cuma diketahui dan dimengerti antara Arunika dan Pak Arka deh." Celetuk Rara.
Adit menatap ke arahku dan dengan melihat tatapannya saja aku tahu kalau Adit sedang mengancamku. Astaga, aku salah apa lagi sih? Aku kan Cuma membicarkan soal hakku yang berhubungan dengan pria lain, toh dia pun masih mempertahankan kekasih manjanya itu kan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Life With The Boss (END✓)
Romance"Tolong ya, Pak, saya tidak mau disentuh barang seinchi pun." Itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari kedua daun bibirku setelah kami sah menjadi pasangan suami-istri. Tidak ada pesta mewah. Hanya dihadiri orang-orang terdekat. Bahkan aku tida...