• 4 •

10.3K 1.7K 44
                                    

"Kamu pakai alasan apa?"

"Saya bilang Bapak akan dijodohkan," alasan andalan dari tahun ke tahun, tambah Tessa dalam hati.

"Lagi? Apa kamu nggak bisa pikirkan alasan yang lebih kreatif? Kenapa setiap kali putus selalu itu alasan yang kamu pakai?" protes Bastian.

"Ya, kalau lo punya alasan yang lebih baik, kenapa nggak lo sendiri yang menghadapi Julia?" Tessa menghela napas lega karena teriakan di dalam kepalanya terlontar dari mulut Gio yang sedari tadi menjadi saksi perdebatan Tessa dengan sang atasan.

"Ya trus, kalau dia minta kawin lari aja sama gue. Gue harus gimana?" dengkus Bastian saat mengalihkan netranya menghadap sahabatnya.

"Lo sendiri nggak tahu harus gimana, apalagi Tessa. Intinya lo udah bebas dari Julia berkat Tessa. Lo harusnya berterima kasih sama dia, bukannya malah mengeluh," sahut Gio.

Kening Bastian sontak berlipat. Dia tidak suka Gio selalu berpihak pada sang asisten. "Ngaku deh, lo sebenarnya diam-diam naksir kan sama asisten gue? Perasaan dari zaman Tessa kerja sama gue, lo selalu belain dia deh."

Gio mengangkat bahu sambil tersenyum manis. "Bisa jadi."

"Hei!" hardik Bastian-yang membuat dirinya sendiri kaget, kenapa suaranya tiba-tiba meninggi-kemudian disamarkan dengan dehaman kecil. "Bukannya lo semalam baru ngelamar Lara? Nggak usah nyeleweng segala deh!"

Senyum Gio mendadak berubah menjadi sebuah tawa. Tawa yang membahana, namun berhasil membuat Tessa merasa miris hatinya. Tessa tahu betul sakit yang berusaha ditahankan Gio dalam sandiwaranya itu.

"Hidup ini penuh kejutan, Bro. Semalam gue memang berniat melamar Lara, tapi bisa jadi besok gue malah menikahi Tessa. Iya kan?" ucap Gio setelah tawanya mereda. "Nggak ada bedanya sama lo. Kemarin pacarannya sama Julia, besok-besok nikahnya entah sama siapa."

Bastian yang mendapati redup dalam kedua bola mata sahabatnya itu lantas bisa menebak kalau lamaran sahabatnya pasti tidak berjalan lancar. Alih-alih berusaha mengorek alasan di balik kandasnya kisah asmara itu, dia lebih memilih untuk menghibur terlebih dulu. "Indeed, Bro. Makanya sebelum lo bener-bener terikat sama satu perempuan seumur hidup lo, coba deh lo lihat sekeliling lo. Ada banyak cinta yang bisa lo kecap."

"Salah satunya dari Tessa, mungkin," Gio mengedipkan sebelah matanya ke arah Tessa, menggoda.

Bastian tidak tahu apa yang salah. Tapi mengapa melihat cara Tessa mengulum senyum setelah digoda Gio rasanya dia ingin marah?

Oh, Bastian tahu. Pasti perasaan terganggu ini berasal dari lubuk hatinya yang sebenarnya tak rela kisah cinta sahabatnya kandas di tengah jalan seperti ini. Juga tidak habis pikir karena asistennya sendiri yang menjadi korban re-bound dari sahabatnya itu. Ya, pasti karena itu.

**

"Dari Bastian lagi?" tanya Gio saat mendengar dengkusan samar dari Tessa yang baru saja menyelesaikan pembicaraan di telepon. Terhitung sudah empat kali ada interupsi berupa dering ponsel yang mengganggu sejak Gio mengajak Tessa makan siang hari ini.

Tessa menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Kadang saya bingung, bagaimana bisa dia begitu teliti saat mengerjakan proyek besar, padahal ukuran kemejanya saja dia nggak tahu sama sekali."

"Dia nanya ukuran kemejanya sama kamu?" tanya Gio retoris.

"Yang barusan, nanya warna sepatu yang cocok untuk acara soft launching apartemen baru. Yang sebelumnya, nanya ukuran kemeja. Yang sebelumnya lagi, nanya menu yang cocok untuk makan siangnya dengan Pak Gubernur. Dan yang sebelumnya lagi, mastiin saya sedang makan siang di mana dan dengan siapa," Tessa menjabarkan.

"Oke. Jadi-" belum sempat Gio menyelesaikan kalimatnya, dering dari ponsel Tessa kembali, mengganggu.

Tessa harus menyamarkan dengkusannya dengan sebuah helaan napas panjang untuk mengatur emosinya karena ini menjadi kali ke-lima Bastian mengganggu obrolannya dengan Gio. Melihat Gio mengulurkan tangan sambil mengangguk sebagai isyarat agar Tessa menjawab panggilan itu, dia pun mengurungkan niatnya untuk me-non-aktifkan ponsel. Dalam hati, dia bersumpah akan mematikan ponsel jika akan berduaan dengan Gio lagi nanti.

Dasar Bos Lucknut, Paling nggak bisa lihat bawahannya senang! Racau isi hati Tessa, namun yang tampak di wajahnya adalah sebuah untaian senyum professional saat menyapa orang di seberang sana. "Ya, Pak?"

"Lama banget angkat teleponnya? Ngapain aja sih? Masih makan bareng Gio? Belum selesai juga kencannya?"

Tessa yang diberondong pertanyaan itu harus mengusap dada sambil menjawab dengan penuh santun. "Berkat Bapak saya masih makan dua suap kuah soto, Pak."

"Lah, tumben kamu makannya lama banget? Yaudah, makanannya dibungkus aja. Kamu makan di jalan aja nanti. Saya jemput kamu. Kita harus ke Panthera Persada. Urusan pembebasan lahannya belum kelar juga. Memang Wiryawan itu kerjaannya nggak beres. Bikin repot aja."

Tanpa menunggu respons dari Tessa, Bastian memutus sambungan.

Ingin rasanya Tessa mengumpat, tapi dia harus menahan diri karena ada Gio yang sedang menatapnya intens.

"Apa dia cemburu?" tanya Gio yang terdengar tidak yakin dengan tuduhannya sendiri.

Tessa menggeleng. "Dia memang selalu begini, Pak." Tessa lantas memanggil pelayan untuk membereskan makanannya. Menuruti perintah yang baru saja disampaikan sang atasan, dia akan makan siang di jalan dan langsung bekerja sesudahnya.

"Maaf saya sepertinya nggak bisa membantu rencana hari ini. Mbak Lara belum muncul, tapi saya sudah harus bergegas pergi," sesal Tessa tak enak hati.

Walau agenda makan siang kali ini sebenarnya hanya untuk membuat Lara cemburu-Gio sengaja mengajak Tessa karena tahu Lara akan makan siang di resto ini-Tessa tidak akan menyangkal kalau dia senang bukan kepalang saat mengiyakan ajakan Gio. Kalau boleh jujur, dia sebenarnya sedikit berharap kalau cara ini justru bisa membuat pria yang tengah memandanginya dengan raut bingung ini bisa mengenalnya lebih baik.

Dan kalau Tessa boleh serakah, dia ingin Gio pelan-pelan move-on dari Lara dan benar-benar berpaling padanya.

"Justru saya yang harusnya berterimakasih sama kamu. Kamu orangnya beneran berdedikasi. Waktu kamu bilang bersedia membantu, kamu beneran bantu saya. Nggak heran Bastian posesif banget sama kamu," ujar Gio.

"Bukan posesif. Tapi saya memang asistennya. Adalah tugas saya untuk selalu ada di dekatnya untuk membantu," kilah Tessa.

"Ya, tapi nggak semua asisten bakal se-total kamu, Tessa."

"Klise memang. Tapi dengan tingkat pendidikan yang saya punya, saya nggak yakin bisa menemukan pekerjaan yang lebih baik daripada ini, Pak. Jadi wajar kan kalau saya sangat menghargai pekerjaan saya."

Gio tersenyum simpul mendengar jawaban Tessa. Menghargai dalam kamus Tessa pastilah berarti mengerahkan segala kemampuan, termasuk hidupnya, untuk pekerjaan yang dia maksud. Buktinya saja, Tessa bahkan rela menahan lapar di perutnya demi memenuhi titah bos besar. Bagaimana Gio tidak berharap Lara bisa sedikit saja meniru dedikasi Tessa. Tidak hanya terhadap pekerjaan, tapi juga pada sebuah hubungan.

"Apa saya sudah bilang kalau kamu salah satu alasan Lara menolak lamaran saya?" tanya Gio saat mendampingi Tessa menunggui jemputan Bastian di area drop-off.

Tessa yang tadinya sedang asik memerhatikan mobil yang hilir mudik mendadak terbelalak. Jantung yang tadinya terpompa wajar mendadak seperti akan lepas saat mendengar pertanyaan Gio.

Apa Lara memberitahu Gio tenang perasaannya???

Apa Lara memberitahu Gio tenang perasaannya???

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Save The Boss For Last [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang