• 19 •

8.8K 1.7K 120
                                    

"I got the job...!" Tessa berteriak histeris setelah mengakhiri pembicaraannya lewat telepon. Pembicaraan dengan salah seorang karyawan hotel Il Lustro yang mengabarkan tentang lowongan resepsionis akan dipercayakan padanya.

Freya yang tadinya ingin marah karena kaget, akhirnya ikut memekik girang, "Yeaayy ... finally, Kak! Selamat!" sebuah pelukan mengiringi ketulusan hati sang adik.

Enny tersenyum sumir. Tampak sedikit kecewa. Membuat semangat Tessa sedikit surut. "Kenapa malah sedih sih, Ma?" tanyanya.

Sungkan, Enny menjawab, "Mama jadi bingung harus bilang apa ke Bu Mila, dia kayaknya masih pengin banget kamu balik ke Jakarta, Sa. Memangnya kenapa sih, kamu nggak mau kerja sama Pak Bastian lagi?"

Tessa menghela napas berat. Bingung, bagaimana harus menjelaskan. Selama ini, Tessa memang tidak pernah membicarakan keluh kesahnya kepada Enny karena takut membuat wanita paruh baya itu menjadi kepikiran.

"Bu Mila juga bilang, Bastian sedang ada di Pekanbaru untuk bujukin kamu balik kerja lagi lho, Sa! Seniat itu lho, dia!"

Fakta yang baru dibeberkan Enny, sontak membuat Tessa berjengit, "APA? Nggak salah tuh, Ma?" Dahinya berkerut dalam kala mengingat pertemuannya dengan Bastian sore tadi. "Ya, Tessa emang nggak sengaja ketemu Pak Bas sih tadi sore. Tapi dia sama sekali nggak minta Tessa balik kerja sama dia, tuh. Dia bahkan nggak menghubungi Tessa sama sekali." Aneh, rasa dongkol tiba-tiba menguar ke permukaan. "Dia malah keliatan baik-baik aja tanpa Tessa!"

Nada suara yang meninggi membuat Enny dan Freya memandangi Tessa dengan waspada.

Tessa mendengkus. Tidak habis pikir dengan gejolak emosinya sendiri. "Udah ah, Tessa mau persiapan dulu buat kerja besok."

Baru sepuluh menit Tessa memusatkan perhatian pada perintilan benda-benda yang harus dipersiapkannya untuk hari pertama bekerja, sebuah pesan melalui aplikasi Madam Rose mengalihkan perhatiannya.

"Klise. Kadang kita baru menyadari sesuatu berharga saat kehilangannya. Bukan begitu? Mungkin sekarang kamu baru menyadari betapa pekerjaan dan mungkin boss-mu itu ternyata begitu berharga buatmu."

Pesan dari Tian. Ini pasti balasan dari rentetan percakapan yang terputus sore tadi. Sungguh tepat waktu. Tessa yang tadinya tidak tahu harus berkeluh kesah pada siapa, akhirnya menemukan tong sampah yang tepat.

"Mungkin...."

"Hanya mungkin?"

"Ya, karena sepertinya saya memang sudah gila saat berharap kehidupan mantan bos saya akan berantakan tanpa saya. Dan lebih gilanya lagi, saya kecewa saat mengetahui bahwa dia ternyata baik-baik saja."

"Lalu, kenapa kamu tidak kembali bekerja pada mantan bos-mu saja?"

Tessa berusaha memikirkan jawaban dari lubuk hatinya yang terdalam.

"He's a womanizer. Dia bahkan sudah terang-terangan mengatakan kalau dia tergoda saat saya berdandan. Dan saya tahu betul tergoda dalam kamusnya sama artinya dengan menjadikan saya fantasi seksual. Bisa kamu bayangkan bagaimana rasanya bekerja dengan seseorang yang bisa menerkammu hidup-hidup?"

**

Bastian membolak-balik lagi scratch book milik Tessa. Kalau tidak mengingat masih memerlukan buku itu sebagai bahan refleksi, mungkin dia sudah membakarnya hingga menjadi abu.

Nyaris pada setiap halaman, dia memang menemukan bukti ke-bejat-annya sendiri. Sebut saja saat dia meminta Tessa menjemput mantan calon teman tidurnya, membiarkan Tessa melihatnya mencumbu mantan-mantan pacarnya, dan jangan lupakan tingkah pengecutnya setiap kali meminta Tessa untuk memutuskan hubungan dengan wanita-wanita yang membuatnya bosan.

Save The Boss For Last [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang