Double up guys.
Pastiin kamu uda baca part sebelumnyaa 👌•●●•
"Maaf, Bu, apa saya membuat kesalahan?"
Tessa akhirnya memutuskan untuk bertanya karena tidak nyaman dipandangi terus oleh Bu Mirna, yang belakangan diketahui menjabat sebagai Front Office Manager.
Bu Mirna menggelengkan kepala. Tersenyum. "Saya ternyata salah menilai kamu, Sa."
"Maksudnya, Bu?"
Bu Mirna tersenyum lagi. Tulus. Lalu mengambil tempat di hadapan Tessa, di depan meja resepsionis. "Saya pikir, kamu pasti akan memanfaatkan hubunganmu dengan bos besar dan bertindak semaunya. Tapi selama dua minggu bekerja di sini, saya bisa melihat kamu sangat profesional. Saya bahkan dengar dari Pak Abdi kalau kamu nggak suka hubungan asmaramu jadi konsumsi publik. Harus saya akui, saya kagum dengan pilihanmu, Sa."
Tessa sudah berusaha keras menajamkan indra pendengarannya saat mendengar kalimat demi kalimat Bu Mirna, tapi tidak satu pun terasa tepat di telinganya. Maka dia berterus-terang. "Maaf, Bu. Tapi saya kurang paham maksud Ibu."
Tawa Bu Mirna pecah. "Nggak usah acting di depan saya, deh, Sa. Masa kamu lupa, saya pernah menjadi saksi saat mendengar pembicaraan vulgar-mu dengan bos?"
Kening Tessa berkerut saat mengingat-ingat. "Bos ... maksud Ibu ... Pak Bastian Prasraya?" Karena satu-satunya pembicaraan vulgar yang pernah dilakukannya di hotel ini adalah ketika bersama Bastian. Di hari pertama bekerja, pula.
Bu Mirna mengangguk keras.
"Bos!? Bukannya bos hotel ini adalah keluarga Ashari, Bu?"
"Iya. Atta Ashari, tepatnya. Tapi sudah jadi rahasia umum kan, kalau keluarga Ashari sedang terlilit utang yang banyak. Hotel ini nyaris nggak terselamatkan. Saya bahkan sempat berpikir akan menjadi pengangguran. Tapi kemudian, Pak Prasraya memutuskan untuk mengakuisisi. Jadi ya, otomatis Pak Bastian Prasraya jadi bos kita kan, sekarang?"
Tessa tidak bisa mengontrol wajahnya lagi. Kekagetannya terpancar jelas.
"Apa pacarmu nggak memberitahu? Hari ini proses penandatanganan kontraknya," imbuh Bu Mirna.
Bu Mirna masih sibuk mengoceh, tapi Tessa tidak bisa mendengarnya lagi. Kepalanya tiba-tiba pusing. Kenapa hidupnya tidak bisa lepas dari bayang-bayang Bastian? Apa tidak ada takdir yang lebih lucu lagi daripada yang dialaminya?
Dan, yang paling lucu di antara semuanya adalah ... dia pasti sudah menjadi bahan lelucon Bastian sekarang. Pria itu pasti sedang menertawakan pilihan hidupnya. Bagaimana mungkin Tessa pernah dengan begitu percaya diri berkata "ingin bebas dari kehidupan yang ada Bastian-Bastiannya", sekarang malah mengais rezeki pada salah satu hotel milik Bastian?
Kenapa pula pria itu berlagak seolah membujuk agar dia kembali bekerja dengannya, padahal jelas-jelas Tessa ada di bawah kendalinya?
Dengan segala sifat arogansinya, Bastian seharusnya bisa membawa Tessa kembali ke Jakarta. Jika itu memang yang diinginkannya. Tapi pria itu malah membiarkannya bekerja di sini. Kenapa lagi kalau bukan untuk menertawakan hidup Tessa?
Segala pemikiran itu sukses membuat darah Tessa mendidih panas. Ubun-ubunnya bahkan terasa berdenyut, ingin meledak.
Tapi dia tidak sempat melakukan apa-apa, karena tiba-tiba saja, sosok lain yang ingin dihindarinya mati-matian muncul di depan mejanya. Menyambut ucapan selamat datang dari Bu Mirna.
"Tessa...?" sapa sosok itu saat menyadari keberadaan Tessa.
Meski hal pertama yang ingin Tessa lakukan sekarang adalah untuk menyodorkan surat pengunduran diri, dia memaksakan sudut bibirnya untuk membentuk senyum. Dia memang akan berhenti, tapi dia tidak akan berhenti dengan kesan yang buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Save The Boss For Last [TERBIT]
Chick-LitTessa melampiaskan segala ketidaknyamanannya bekerja sebagai asisten bastian melalui tulisan-tulisan di dalam sebuah buku diary. Selama ini pun, dia bertahan di sisi Bastian karena ada Gio-sahabat baik sang atasan-yang kerap membantu kesulitannya da...