• 15 •

8.1K 1.8K 113
                                    

Bastian nyaris menyemburkan cairan yang menyentuh lidahnya, membuat Laudya yang bersusah-payah menyiapkan minuman itu bergidik di tempatnya berdiri.

"Kenapa teh hijau? Saya kan minta kopi???" hardik Bastian.

Laudya meringis. "Maaf, Pak. Tapi Mbak Tessa bilang, Pak Bas nggak boleh minum lebih dari dua gelas kopi seharinya. Kalau enggak asam lambungnya bisa kumat. Kalau kumat malah lebih repot," cicitnya.

Mendengar nama Tessa disebut, tensi amarah Bastian menurun seketika. "Kamu masih sering berhubungan dengan Tessa?"

"Masih, Pak."

"Apa kabar dia? Udah balik ke Pekanbaru?"

"Belum, Pak. Kemungkinan besok."

"Oke. Kamu boleh keluar."

Hal yang paling sulit dari kepergian Tessa adalah menyesuaikan ritme kerja seperti semula. Benar kata Tessa, seharusnya asisten baru dibekali pengetahuan yang mumpuni sebelum terjun langsung mengurus semuanya. Bastian jelas kualahan. Tapi situasi ini justru membuatnya bisa lebih fokus mempelajari hal-hal yang dianggapnya remeh selama ini. Dan, di situ pulalah dia menyadari pekerjaan Tessa ternyata tidak sedangkal pemikirannya.

Akibat pekerjaan yang menjadi lebih lambat daripada biasanya, jam makan Bastian jadi berantakan. Pun, malam ini dia harus rela lembur dan melewatkan makan malamnya.

Setibanya di apartemen, dia langsung memesan makanan dari restoran langganan. Namun, belum sempat makanan menyentuh mulutnya, ulu hatinya terasa nyeri. Tangannya cepat-cepat meraih ponsel, dan menemukan nama Tessa pada panggilan cepat. Sebelum menekan panggilan cepat itu, sebuah pesan masuk dibacanya dengan cepat.

"Tessa sudah memesan tiket untuk kepulangan ke Pekanbaru, Pak. Jadwal penerbangannya besok, pukul tujuh pagi."

Isi pesan dari asisten barunya itu refleks membuat Bastian membanting benda di tangannya hingga membentur lantai. Tidak ada waktu untuk memungut ponsel dan menghubungi siapapun lagi, karena sekarang seluruh isi di dalamnya perutnya terasa naik ke tenggorokan, hingga keluar dari rongga mulut.

Bastian muntah bertubi-tubi di kloset.

Dia sudah merasa keringat dingin mulai bercucuran hingga membasahi kemejanya. Mungkin juga sudah demam, karena badannya menggigil. Tapi dia tidak punya tenaga untuk mengukur suhu tubuhnya. Sakit yang begitu tajam menusuk ulu hati membuatnya tersungkur di lantai. Dia merintih kesakitan beberapa saat, sampai tertidur di permukaan granit yang dingin.

Bastian baru terbangun ketika matahari sudah menyingsing dari balik kaca besar yang memenuhi sebelah permukaan dinding.

Bastian menemukan dirinya terbaring di lantai kamar—sepertinya dia tidak sadar saat menyeret tubuhnya keluar dari kamar mandi—masih dengan pakaian yang masih sama dengan semalam. Lengkap dengan bau amis dari kamar mandi dan bau asam dari tubuhnya sendiri.

Dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, dia berdiri dan menekan flush di kamar mandi.

"Apa bau seperti ini yang selalu kamu hadapi, Sa?" gumam Bastian lirih.

Selanjutnya, Bastian memungut ponselnya yang teronggok di lantai. Beruntung tidak ada lecet atau kerusakan lainnya. Hingga dia bisa menemukan angka digital yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Artinya ... Tessa sudah benar-benar pergi.

Oh, sejak kapan Bastian harus menyayangkan kepergian orang lain seperti ini?

Tidak ingin larut dalam perasaan sentimentilnya, Bastian menghubungi dokter Frans dan Gio.

Gio yang tinggal di gedung yang sama dengan tempat tinggal Bastian, tiba lebih dulu dibanding dokter Frans. Gio pulalah yang membantu membereskan kekacauan sahabatnya itu. Mulai dari membuang makanan dingin yang teronggok di meja, memesankan makanan baru, menyiram toilet sebisanya, menunggui Bastian membersihkan dirinya dan menyambut dokter Frans.

"Laudya bilang lo nggak minum kopi lebih dari dua gelas," kata Gio setelah dokter Frans memeriksa dan memberi pengobatan pada Bastian.

"Emang enggak," sahut Bastian yang sekarang terbaring di atas ranjangnya. "Lo urusin kantor dulu, ya. Gue masuk siangan, ntar. Istirahat dulu."

"Gue juga nggak nyium alcohol di pakaian lo," sambung Gio, masih tidak ingin dialihkan.

"Emang enggak."

"Trus, project mana yang bikin lo stress banget kayak gini? Sampai asam lambung naik segala?"

Bukan project.

Tapi mungkin ... Tessa.

Bastian masih tidak bisa memikirkan bagaimana cara membenci Tessa di saat dia menyadari betapa dirinya sangat membutuhkan wanita itu. Dia juga masih tidak bisa menerima semua caci maki yang memenuhi buku harian Tessa ditujukan untuknya seorang.

Dia semakin sulit melupakan, ketika di kantor pun selalu nama Tessa yang disebut-sebut.

"Gue mau Laudya berhenti jadi asisten gue."

"Dia bikin kesalahan?" tanya Gio penasaran.

Ya, dia terlalu mengingatkan gue ke Tessa, adalah jawaban yang sesungguhnya. Tapi keluar dari bibir Bastian adalah, "Gue kayaknya nggak cocok punya asisten perempuan. Biar Lukman aja yang kerja sama gue. Lo tolong ajarin sampai dia bisa, ya, Yo!"

📜📜

Iyaa, aku tau part ini singkat bgt. Tp kayaknya cukuplah buat jadi jembatan menuju babak selanjutnyaa...

Uda siap ngikutin perjuangan Pak Bas dapetin Tessa???

Uda siap ngikutin perjuangan Pak Bas dapetin Tessa???

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Save The Boss For Last [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang