.
.
.Sorry for typo(s)
"Artha, kita rekrut Bi Inah lagi ya..."
Arkha memijat kepalanya. Pusing sekali, padahal baru juga diberi hari libur oleh sekolahnya--iya, kakak kelasnya akan mengadakan ujian akhir, jadi otomatis kelas dibawah mereka diliburkan.
Balik lagi dengan Arkha yang memijat kepalanya. Alamat sudah rencana liburan dengan tenangnya. Pasalnya, Artha sudah menjadi lebih-lebih—jauh lebih cerewet daripada almarhumah Sonya.
Setiap harinya, Arkha selalu dihadapkan oleh Artha yang selalu disibukkan dengan kerjaan sehari-harinya. Mulai dari cuci baju, menyapu, mengepel, semua—semua Artha-lah yang mengerjakan.
Arkha berniat ingin membantu, tetapi selalu mendapat penolakan dari si empunya. Mentok-mentok, Arkha hanya memasak untuk mereka makan sehari-hari. Jangan ada kejadian seperti kemarin lagi, Arkha tidak mau peralatan masak kesayangannya di hancurkan lagi oleh Artha.
Artha menengok sebentar, menghentikan aktivitasnya yang semula menyapu lantai. "Gua bisa ngelakuin sendiri, lagian kalau manggil bi Inah, nambah-nambah pengeluaran doang."
"Ya tapi, gue gak tega liat lo kerja begini. Belum lagi kerjaan di kantor, lo kelihatan capek banget, Tha." Arkha mendudukkan dirinya di sofa, sembari melihat melas kearah adik kembarnya--yang sekarang dipenuhi peluh. Lelah banget keliatannya.
Artha yang tidak berniat menanggapi hanya melanjutkan aktivitasnya. Beginilah rutinitasnya kira-kira. Dia tidak mungkin mempercayai semua pada Arkha. Dia hafal betul, Arkha pintar menyimpan rahasia. Darren? Ada kok, dia juga sering membantu Artha. Sekarang dia sedang membersihkan kolam ikan dibelakang.
"Gak kerasa, mamah udah ninggalin kita lima bulan yang lalu. Gue masih gak nyangka, secepat itu mamah pergi ninggalin kita." Arkha menghela napasnya, kemudian menyenderkan kepalanya yang mulai terasa pening. Dia sudah berusaha menahannya sejak pagi, tetapi lama-kelamaan makin terasa juga sakitnya.
"Kenapa lagi?" Artha duduk di samping Arkha, kemudian meraih leher Arkha yang tidak jauh dari posisinya saat ini.
Sekarang kedua berhadapan, saling menatap satu sama lain. Tersirat kelelahan dalam tatapan Arkha, Artha tahu betul tanpa harus bertanya lagi.
"Masih sakit?"
Arkha menggeleng, iya--Artha tadi memijit leher belakangnya. Walaupun rasa sakitnya belum hilang sepenuhnya, Arkha sudah cukup melupakannya karena perlakuan manis Artha yang makin kentara setiap harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
khatha [✓]
General FictionHanya ucap yang mampu mendeskripsikannya. Hanya suara yang menjadi perantaranya. Dan kata menjadi tercipta kemudian dapat menjelaskan semuanya. Namun, bagaimana jika dia kehilangan ucap dan suara? Akankah ia mampu mengucapkan sebuah kata? Walaupun b...