"Darren, bekal kamu udah Abang masukin di tas ya. Oh, iya! Nanti pulang sekolah langsung ke kafe Abang, jangan pulang duluan, ada anjing galak." Ucap cowok dengan surai hitam lebat itu.
"Lo itu yang anjing!"
Bisa ditebak kan, siapa pemilik mulut pedas yang pedas nya melebihi cabe jalapeno itu?
"Tuh, kan! Liat tu, dianya suka begitu, gimana gak dibilang anjing coba."
Darren hanya menggeleng pelan sembari meminum susu yang sengaja Arkha buatkan untuknya setiap pagi.
Beginilah paginya, semenjak Arkha keluar dari rumah sakit dua minggu lalu, tidak pernah ada kata tentram dalam kamus hidupnya.
Kedua Abang sepupunya itu—selalu saja bertengkar. Arkha yang notabenenya tukang mengganggu, dan Artha yang selalu menerima gangguan itu. Ya iyalah, omongan Artha sudah cukup, kok.
"Buruan, telat nanti gua!"
Artha melihat ke arah jam tangannya. Memberikan kedua cowok didepannya itu dengan tatapan jengah. Mesra-mesranya bisa nanti, kan—pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Artha langsung berjalan ke garasi diikuti Arkha dan Darren yang mengekor dari belakang.
Iya, Arkha, Artha dan Darren berangkat bersama. Mau sapa siapa lagi? Sekarang hanya ada mereka bertiga. Setelah kematian Sonya—mereka terpaksa harus memecat semua karyawan yang ada di rumah megah mereka, hitung-hitung menghemat kalau kata Artha.
Satu hal yang perlu kalian ketahui. Artha itu pemikir. Setelah kematian kedua orangtuanya, Artha yang mengurus segalanya—Arkha? Jangan harap dia mengurus semuanya. Walaupun Arkha adalah kakak Artha, tapi namanya juga Arkha—mana bisa?
Tapi jangan berpikir aneh dulu, Arkha juga sadar diri, kok. Arkha bekerja sampingan sebagai pelayan di kafe sepulang sekolah. Mereka berkecukupan—sangat, tapi Arkha juga tidak betah kalau hanya Artha yang bekerja dengan mengurus perusahaan orang tua mereka.
"Darren inget, ya! Awas aja sampe nanti Abang cek pas pulang, bekal kamu masih sisa!" Teriak Arkha dari dalam mobil yang kacanya sengaja dia buka.
Darren hanya menunduk malu, tapi dia maklum dengan kelakuan Arkha yang seperti ini.
"Berisik banget mulut lo, gak liat apa, anak orang lo buat malu?"
"Ih, apaan si?! Gue itu sayang, makanya begitu,"
"Oh! Jadi gitu...." Arkha mengeluarkan senyum jahilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
khatha [✓]
Ficção GeralHanya ucap yang mampu mendeskripsikannya. Hanya suara yang menjadi perantaranya. Dan kata menjadi tercipta kemudian dapat menjelaskan semuanya. Namun, bagaimana jika dia kehilangan ucap dan suara? Akankah ia mampu mengucapkan sebuah kata? Walaupun b...