Lanjutan Bagian 8

23 1 0
                                    

***

Malam lagi. Kali ini tak ada suara keluarga jangkrik. Di luar pun tak hujan. Suasana malam ini begitu sendu. Kulihat Bapak tengah duduk di teras sambil memejamkan mata. Sepertinya Bapak tengah menikmati semilir angin. Pelan kuhampiri, lantas bermaksud mengejutkan Bapak. Apa daya, niat jahilku tak diizinkan Tuhan. Bapak selalu mengetahui akal jahilku.

"Tuh, jadi gagal." Aku memasang wajah kesal.

"Siapa suruh mengendap-endap pada singa jantan? Kau memang tidak ahli dalam mengejutkan orang lain."

Aku nyengir, memamerkan susunan gigi atasku pada Bapak. Lantas menghampirinya dan bergabung menikmati semilir angin. Sejenak kami terdiam. Mendengarkan siulan angin yang cukup kencang. Menerbangkan anak-anak rambut di sela telingaku.

"Pak, ternyata menjadi pendidik itu sulit." Keluhku sambil tak menatapnya. Hanya mengarahkan pandanganku ke depan. Menatap kosong.

"Kau sendiri yang memilih itu. Dengar. Setiap profesi memiliki tanggung jawab dan risiko masing-masing. Tidak ada pekerjaan atau profesi sepele. Semuanya berperan penting. Kau hanya baru melangkah, Re. Ibarat keluar rumah, kau baru saja melangkahkan satu atau dua langkah kaki. Belum jauh. Dan mungkin ketika tiba di suatu jalan, kau akan menemukan kerikil-kerikil lagi. Atau bahkan ada banyak pertolongan yang tak diduga. Bapak tahu, kau mampu melaluinya. Kau anak Bapak, bukan? Maka dari itu, kau harus mampu."

"Mengapa aku harus menjadi pendidik, Pak? Rasanya aku..." Kusandarkan kepalaku di pangkuan Bapak. Menyamankan diriku pada tempat terindah. Memaksa Bapak untuk beberapa kali saja memanjakanku, sebelum aku harus mengalihkan pengabdianku pada lelaki lain bernama suami. Bapak mengelus rambutku. Dari kecil hingga usia ini, Bapak tak pernah tak memanjakanku. Dan inilah saat-saat yang selalu kurindukan ketika aku dan orang tuaku harus menjalin kasih bersama jarak. Aku menangis tak bersuara.

"Karena menjadi pendidik balasannya tak saat ini, Re. Kau akan mendapatkannya di sini dan nanti. Perlahan kau merasakan bagaimana Tuhan membimbingmu. Memberikan pelajaran hidup yang berharga. Melalui itulah, ujian. Menjadi pendidik, kau akan selalu dilibatkan oleh Tuhan dalam segala amal dan masa depan anak-anak. Menjadi pendidik balasannya bukan soal materi, tetapi keridhoan Tuhan. Kau mengurus anak-anak, mengajarkan segala hal yang belum mereka ketahui, memberikan kasih sayang, dan perhatian. Bahkan kau mungkin menambahkan daftar nama manusia yang harus kausebut di doamu? Bukan begitu?" Bapak menghentikan elusan tangannya di pangkal kepalaku. Aku mengangguk pelan sambil menyeka air mata.

"Berat sekali, Pak. Mereka, guru-guru senior itu mempertaruhkan nyawanya sendiri. Mengorbankan waktu istirahatnya, bahkan keluarganya di rumah, hanya untuk memastikan siswa-siswa dijemput orang tuanya dengan aman. Memastikan siswa-siswa pulang ke rumah dengan selamat. Terlebih setelah adanya kasus penusukan beberapa waktu yang lalu. Hanya mereka (anak-anak) tidak mengetahui pengorbanan itu."

"Itulah mengapa pendidik adalah orang kedua yang menyayangimu setelah orang tua. Kau paham sekarang? Peranmu itu penting dalam kehidupan mereka. Berikan yang terbaik untuk mereka. Bapak tahu, Mama tahu, Tuhan tahu, bahkan kau pun tahu bahwa kau mampu. Kau selalu menjadi kebanggaan Bapak. Sudahlah, jangan menangis lagi. Nanti muridmu mengetahui rahasia gurunya yang cengeng." Bapak menjual canda. Aku tertawa sambil sedikit memukul.

***

Libur semester selesai. Waktu memaksaku untuk kembali ke perantauan. Momen paling menyebalkan ketika aku harus mengepak barang-barang untuk kembali ke perantauan. Sebenarnya kota perantauanku adalah kampung halaman Bapak. Tak begitu merasa asing berada di sana sebab aku memiliki darah kota kembang dari Bapak. Jalan Tuhan indah, bukan? Bapak yang dari sana sekarang tinggal di kampung halamanku, aku yang lahir di kampung halaman harus tinggal di tempat kelahiran Bapak. Tak ada yang lebih adil dari jalan dan ketentuan-Nya.

Aku menuntut jawaban dari Marsel. Sekembalinya aku ke sekolah, Marsel berbicara berdua denganku. Dengan sedikit rasa malu dan penyesalan, dia bercerita tanpa memandangku. Sepanjang pembicaraan dia hanya terus menunduk. Menendang-nendang angin. Aku menghentikannya. Menuntutnya untuk berbicara serius.

"Ibu tidak tahu harus berkata apa lagi."

"Maafkan aku, Bu. Sungguh. Kali ini aku bisa berjanji dan harus menepatinya."

"Bukankah kau sendiri yang bilang kau tak bisa berjanji sebab kau tak tahu apakah kau mampu menepatinya atau tidak?"

"Maka dari itu, sekarang aku berjanji. Aku akan membuktikan pada Ibu bahwa anak nakal sepertiku bisa menjadi manusia yang bermanfaat."

"Ibu tidak tahu apakah Ibu mampu memberimu kepercayaan lagi."

"Oh, ayolah. Aku sangat membutuhkan doa dari Ibu."

"Mengapa kau mabuk kemarin?"

"Ayah memaksaku menjadi prajurit sepertinya. Aku tidak ingin, Bu. Dari ketiga abangku tidak ada yang dipaksa menjadi prajurit. Mengapa harus aku?"

"Ayahmu ingin yang terbaik untukmu, Marsel."

"Tidak harus dengan memaksa anak menjadi seperti yang diinginkannya, Bu. Aku juga memiliki mimpi lain yang kusenangi."

"Dulu Ibu tidak pernah menginginkan menjadi seorang guru. Terlintas dalam benak saja tidak. Namun, kita tidak pernah tahu masa depan akan membawa kita ke jalan yang mana. Kadang menyetujui mimpi, kadang Tuhan memberikan hal lain yang lebih indah dari rencana manusia. Kau hanya harus berupaya lebih banyak dan berdoa."

"Maukah Ibu membujuk Ayah agar aku tidak dikirimkannya ke Sabang?"

"Kau akan ke sana? Mengapa jauh sekali?" Aku terkejut. Marsel akan dikirimkan ke Sabang untuk diikutsertakan dalam seleksi tentara. Jika hal itu terjadi, maka resmilah aku menjadi wanita yang selalu ditinggalkan oleh lelaki yang kusayangi. Kemarin Langit, jangan sampai kali ini Marsel. Aku terdiam memikirikan masa depan Marsel. Bagus, kali ini aku dihadapkan pada situasi genting lagi. Entahlah bagaimana nasib Marsel. Aku pasrah.


*-* Terimakasih kepada para pembaca. Jangan lupa berikan komentar dan vote yaaa. Sedikit banyaknya kritik dan saran sangat berarti buatku yang masih belajar.

*-* Dilarang keras melakukan plagiarisme! Tahu, kan? Penjiplakan yang melanggar hak cipta. Semua penulis tentu tidak ingin karyanya dijiplak oleh oknum tidak bertanggungjawab.

*-* Terimakasih atas kerjasamanya. Tunggu bagian selanjutnya.

Renjana dan Langit MaretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang