Bagian 6

33 2 0
                                    

Pengalaman selalu menjadi guru paling berharga

Dia memberikan kekuatan di balik permasalahan

-Putri Reykhani

***

Sudah masuk musim hujan, Langit. Pertanda kau akan terus menderaikan kesedihanmu atas kehilanganku, perihal perpisahan kita. Langit, kau menderaskan air matamu ke bumi. Menggoda para pecinta itu untuk ikut larut dalam penyesalanmu karena melukaiku, tentang ketidakbersamaan kita. Langit, ada beberapa orang yang meyakini bahwa mendung tak berarti hujan. Terserah sajalah dengan perdebatan omong kosong mereka. Satu hal yang kutahu adalah suasana hati Langit akan selalu sama dengan bagaimana kondisi langit setiap waktunya. Merasa aneh? Ya. Namun, itu yang kuketahui dan kurasakan selama ini. Mungkin itu sebabnya Langit diberi nama demikian.

Aku masih duduk di kursi kerjaku di ruang guru. Menatap kosong ke arah layar ponsel sambil bersandar pada lengan kiri di atas meja kerja. Posisi yang sangat kusukai. Iya, berleyeh-leyeh alias bermalas-malasan. Lagipula, siapa yang tidak merasa malas di musim hujan seperti ini? Terlebih saat ini hujan deras tengah terjadi. Itulah mengapa aku masih berada di sekolah. Menanti hujan reda, sambil menerka-nerka perasaan dan kondisi Langit, karena hampir setiap hari hujan mampir turun ke bumi.

Sudah hampir empat bulan, jika perhitunganku benar dan perkiraanku tak meleset. Tepatnya, ini adalah hari ke-128 Langit absen dalam hatiku. Sebetulnya dia tidak absen, tetapi aku yang menyingkirkannya. Dan agar kalian puas membacanya, kukatakan AKU MENYESAL.

Sepatah ini hatiku meninggalkan dan menuntaskan cerita bersama Langit dengan kata perpisahan. Tidak ada aba-aba sebelumnya. Andai saja waktu itu tak kukatakan untuk mengakhiri semuanya, mungkin saat ini masih bisa kuceritakan kelanjutan kisahku. Ah, sudahlah. Tak baik berandai-andai. Mama selalu memarahiku kalau sudah terucap 'andai' dari mulutku. Mama. Betapa aku merindukan dia. Merindukan orang-orang rumah.

Benakku teringat lagi pada kejadian waktu itu. perbincangan antara Langit dan Marsel yang tak sengaja kudengar. Sepertinya Tuhan mulai memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku selama tiga tahun ini.

Malam itu, setelah Langit mengantarkan Marsel pulang ke rumahnya, dia mengantarku pulang. Tanpa ada pembicaraan sepanjang jalan, aku hanya membisu sambil menahan agar air mataku tak keluar saat itu. Betapa sulitnya melupakan Langit. Seperti permen karet yang ketika kulepas justru semakin menempel ke segala arah. Ingin sekali aku menyapanya. Bertanya kabarnya. Kegiatan dan permasalahannya. Namun, aku tak cukup berani melakukan apa yang hatiku katakan.

Langit menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang kost. Sejenak kami saling bungkam. Aku tahu, dia ingin membicarakan suatu hal denganku. Begitu juga aku. Lima menit berlalu bersama AC mobil yang masih menyala, tanpa ada satu katapun keluar dari mulut kami. Aku lelah, akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari mobil. Namun, ketika aku hendak melepaskan sabuk pengaman, Langit menyentuh tanganku.

Aku hanya cukup paham bahwa dia ingin aku mengurungkan niat untuk keluar dari mobil. Sembilan tahun menjalani hubungan dengannya, aku cukup paham bagaimana karakter dan sifatnya. Aku menurut, mengurungkan niatku keluar dari mobil. Namun, sabuk tetap kulepas. Sebenarnya aku tak suka menggunakan sabuk pengaman. Hanya karena Langit selalu mengutamakan keselamatan berkendara, aku tak ingin dia mengeluarkan ceramah singkatnya mengenai peraturan berlalu lintas.

"Kau sakit?" Langit mengawali pembicaraan sambil mengarahkan pandangannya padaku.

"Tidak. Aku baik-baik saja." Jawabku bohong. Dasar pembual kau Renjana. Kau ahlinya berpura-pura baik ketika hatimu justru tak dalam kondisi baik.

"Secara fisik, ya. Secara batin, kurasa tidak."

"Keduanya, aku baik-baik saja. Langsung saja pada intinya. Aku sudah mengantuk." Aku membual agar dia tak bertele-tele. Mengingat lagi pembicaraannya dengan Marsel, aku benar-benar belum memahami rangkaian peristiwa sebenarnya seperti apa. Kronologi peristiwa itu yang selalu menghantuiku di mimpi burukku.

Renjana dan Langit MaretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang