Bagian 9

30 2 0
                                    

Pergi tak berarti berpisah

Meninggalkan tak berarti melupakan

-Putri Reykhani

***

Malam sedikit kelabu. Suasananya sendu sebab bumi diguyur air yang datangnya dari laut. Baiklah, sebut saja hujan. Rumit sekali aku ini. Sama seperti perasaanku yang kian hari kian mengabu. Tak jelas, tak berupa, lusuh, compang-camping sudah dibuatnya. Berkat luka yang dihadirkan seseorang yang hatinya terlalu erat kugenggam, hingga aku lepas kendali. Melepaskannya dan tak akan pernah kembali.

Sudah hampir empat bulan, aku meresmikan keberpisahan namaku dengan nama Langit Bagaskara. Cih. Namanya memang bagus. Nama itu memiliki arti matahari yang bersinar di langit. Seindah itu arti namamu, Langit. Kukira kau akan menjadi bagaskara dalam hidupku. Ternyata tidak. Kau sama sekali tak menyinariku dengan cahaya matahari yang terang. Justru kau membuatku kelam.

Aku tak ingin berlama-lama dalam kepunahan rasa ini. Tak bermaksud berlarut-larut memelihara luka. Kuputuskan untuk membuang jauh sebuah rasa yang menggunung kutabung sejak duduk di bangku SMP. Kuluruhkan seluruhnya. Aku tak membenci kenangan. Aku tak membuatnya pergi dari hidupku. Sebab suatu saat nanti, aku akan membutuhkan itu ketika sesekali kutengok ke belakang untuk mengambil beberapa pelajaran dan membuktikan seperti apa ketangguhanku dulu.

Mulai saat ini, aku memutuskan untuk bahagia. Sederhana saja permohonanku pada Tuhan. Izinkan aku menikmati hidupku dengan tanpa beban kenangan yang menjalar dalam setiap sel otak, nadi, dan hatiku. Kuhempaskan semuanya, Langit. Berbahagialah kau di sana. Aku telah cukup bahagia mengantarkanmu ke dekapan wanita lain.

Aku tersenyum di hadapan cermin yang menampilkan bayangan wajahku. Aku baru saja mengoleskan lipstik berwarna nude di bibir. Ya. Aku bermaksud menghadiri acara perpisahan kelas XII. Tujuanku hanya satu, aku ingin bertemu dengan Marsel sebelum pada akhirnya dia memang pergi ke Sabang untuk mengikuti seleksi dan pelatihan di sana. Ini kesempatan terakhirku dan aku tak ingin membuangnya percuma.

Pukul delapan pagi acaranya sudah dimulai. Sedari pukul tujuh pagi aku sudah duduk di meja penerima tamu. Benar, aku ditugaskan untuk menerima tamu undangan dari kalangan guru dan petinggi-petinggi Dinas Pendidikan. Mataku masih tajam menelusuri bayang wajah seorang siswa lelaki yang tengah kunantikan kehadirannya di hotel ini. Tak jarang ketika aku menyapukan pandangan ke sekitar, justru yang kudapatkan adalah raut-raut yang dioles dengan riasan beserta tubuh yang dibalut gaun atau kebaya indah. Kebanyakan dari mereka (siswa perempuan) yang melihat keberadaanku di meja penerima tamu, berlarian ke arahku, segera mencium tangan dan memeluk. Serta tak lupa kuselipkan kalimat menyenangkan ketika melihat raut mereka berbeda dengan penampilan seperti itu. Pangling namanya.

Acara sudah dimulai. Aku membereskan buku tamu dan beberapa dokumen penting lainnya agar aku dapat segera masuk ke ruangan untuk mengikuti setiap rangkaian acara dengan khidmat. Meski begitu, aku tak pernah absen menengok ke arah kanan, kiri, depan, belakang, hingga aku berputar mengarahkan pandangan mengelilingi ruangan yang penuh siswa kelas XII ini. Sesekali kulihat ponsel, tak ada pesan atau bahkan panggilan tak terjawab dari Marsel. Aku menghela napas. Ke manakah anak itu?

Acara berjalan dengan lancar. Namun, hatiku justru tak baik-baik saja. Aku gundah. Gusar. Hingga sore ini masih belum juga kutemukan Marsel. Tiba-tiba ada seseorang yang meraih tanganku lantas menggenggamnya. Aku terkejut.

"Hey! Ibu mencarimu sedari tadi."

"Ibu merindukanku?" Jawabnya sedikit menggoda gurunya yang usianya masih 23 tahun ini. Aku tersenyum. Lantas segera melepaskan tanganku. Tak baik tentunya, meski dia telah resmi lulus dari sekolah ini.

Renjana dan Langit MaretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang