Bagian 2

61 3 0
                                    

Kau terlalu sibuk mencela hatimu sendiri

Hingga kau lupa kesalahan itu untuk diperbaiki bukan diratapi

-Putri Reykhani

***

Aku memulai profesiku sejak empat tahun yang lalu. Setelah mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan, aku berkesempatan mengajar di sebuah Sekolah Menengah Pertama swasta di kota tempatku bekuliah. Sebagai seorang guru yang masih perlu banyak belajar dan pengalaman, tak jarang aku kewalahan menghadapi anak-anak yang memasuki usia remaja awal itu.

Empat tahun yang lalu, aku bertemu seorang siswa laki-laki yang sedikit bicara banyak bertindak. Sebab terlalu banyak bertindak, dia sering melakukan kesalahan di sekolah. Hingga aku tidak tahu harus menceritakan kesalahannya yang mana. Jika boleh kukatakan, dia sudah melakukan 1001 macam kenakalannya. Oh, Tuhan. Aku seperti dihadapkan pada sebuah bom yang bisa meledak kapan saja. Ya, dia seperti bom yang bisa membuatku terkejut secara tiba-tiba karena tingkahnya.

Saat itu dia masuk sebagai siswa baru di kelas VII. Berdasarkan informasi yang kudapatkan dari guru BK dan guru-guru lainnya, dia adalah anak dari seorang perwira menengah Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Kolonel atau yang kutahu dan lebih sering mendengarnya dengan panggilan Letkol. Aku sudah langsung memahaminya. Dia adalah seorang anak yang dalam kurun waktu satu tahun mungkin mengalami pindah rumah dan pindah sekolah lebih dari satu kali, karena mengikuti tempat tugas sang ayah.

Pada awalnya, tidak ada yang aneh di pertemuan pertamaku dengannya. Semuanya seolah baik-baik saja. Dia bersikap normal, tidak terlalu banyak berbicara. Hanya saja dia memang terlalu pendiam hingga para guru sulit mengendalikan dan berkomunikasi dengannya ketika dia berulah. Mungkin di antara kalian yang berprofesi sama denganku, mengalami pula hal yang kualami ini? Ya, berhadapan dengan siswa semacam ini.

Saat itu, waktu berlalu terasa sangat lambat. Ketika aku baru saja diterima di SMP tersebut, siswa baru itu mulai membuatku tak nyaman berada di sini. Perlahan dia menunjukkan kenakalannya. Kukira dia memang anak yang pendiam karena tidak terlihat hiperaktif di kelas. Namun, itu justru sebuah bumerang bagiku. Dia merepotkanku dengan berbagai kasus.

Akhirnya aku menyelami kenangan itu lagi. Sangat jelas di ingatanku perihal kenakalannya. Hari pertama aku mengajar di kelasnya, dia tidak terlalu banyak berbicara. Satu hal yang membuatku kesal adalah, dia tidur saat jam pelajaranku. Bahkan mendengkur. Aku membangunkannya dengan pelan. Mengusap kepalanya secara halus agar dia tidak terkejut. Maklum, anak usia remaja awal masih memerlukan perhatian yang semacam itu. Sambil mengelus pangkal kepalanya, aku berbisik di telinganya untuk segera bangun.

Siswa laki-laki itu bangun (tanpa terkejut). Dia menatapku, aku menoreh senyum padanya. Anehnya, aku masih belum memahami arti tatapannya itu. Siswa itu memiliki sorot mata yang berbeda dari siswa lainnya. Aku menyuruhnya untuk pergi ke toilet, membasuh rautnya, lantas kembali ke kelas. Dia menurut. Tanpa banyak berbicara, dia langsung meninggalkan ruang kelas.

Satu jam berlalu. Aku masih belum melihat siswa itu kembali ke ruang kelas. Bahkan hingga sepuluh menit terakhir pembelajaran akan berakhir. Aku masih belum mendapati batang hidungnya muncul ke permukaan kelas. Aku curiga dia tertidur di toilet. Akhirnya setelah pembelajaran berakhir, aku bergegas menuju toilet siswa laki-laki. Mencari ke setiap pintu. Namun, tak kutemukan dirinya.

Setelah menyimpan beberapa barang ke ruanganku, aku terus melanjutkan pencarianku. Aku mencarinya ke kantin. Mungkin saja dia sengaja tidak kembali ke kelas karena kelaparan. Namun, hasilnya nihil. Aku semakin bingung dan cemas. Merasakan ketakutan jika terjadi sesuatu yang berbahaya menimpa dirinya. Aku menyusuri koridor sekolah dengan langkah gontai. Sambil terus berpikir tempat mana saja yang berpotensi dia tuju di sekolah untuk sekadar tidur. Ketika aku melewati ruang UKS, petugas UKS memanggilku.

Renjana dan Langit MaretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang