Bagian 7

23 2 0
                                    

Sejauh apapun kau berlari, masalah akan mengekor di belakangmu

Ketika kau putuskan kembali, dunia akan mengakui ketangguhanmu

-Putri Reykhani

***

Tiga tahun yang lalu, Marsel dijemput paksa oleh sekelompok orang-orang bertubuh tinggi besar yang akhirnya aku tahu mereka adalah polisi. Di sanalah aku memulai kesalahan terbesarku. Marsel ditahan selama satu minggu di sel atas dugaan penyalahgunaan narkoba. Miris sekali, bukan? Ya. Hidupku, betapa menyedihkannya. Aku mengawali profesiku sebagai pendidik dan langsung dihadapkan pada persoalan yang cukup berat. Anak didikku terjerat kasus narkoba. Hati guru mana yang tak perih merasakan itu?

Separuh hidupku seolah memaksaku untuk menyerah. Aku tak berhak. Aku tak layak menyandang status sebagai pendidik. Aku tak pantas dengan panggilan "Ibu" di sekolah. Kesimpulannya, aku gagal.

Ya, pemikiran pendekku mengatakan demikian. Aku telah gagal menjadi seorang guru bahkan ketika aku baru saja akan mengawalinya. Aku telah gagal mendidik anakku sendiri. Aku tak berguna, terlalu lengah hingga membuat Marsel lepas kendali. Benar memang, aku mengetahui setiap jengkal kesalahannya saat itu di SMP, tetapi untuk yang satu itu aku benar-benar nihil. Kalian juga benar. Marsel anak yang nakal, tak ayal jika dia terjerumus pada hal yang lebih berbahaya dari kenakalannya sehari-hari, seperti narkoba. Namun, aku tak pernah sedikitpun memiliki pemikiran seperti itu. Terlintas dalam benakku saja tidak. Bagaimana mungkin aku bisa memercayai hasil pemeriksaan polisi yang menyatakan bahwa Marsel pemakai dan pengedar narkoba? Dia masih anak-anak.

Setelah melalui berbagai macam pemeriksaan, Marsel akhirnya dinyatakan bebas dan hasil urine miliknya dinyatakan negatif. Entahlah prosedur semacam apa yang tengah dijalani oleh para penegak hukum itu. Benarkah Marsel yang bersalah? Atau justru mereka yang lengah? Hatiku lebih mendominasi bahwa polisi itu lengah. Tak putus asa hatiku menguatkan diri sendiri. Bersikeras menyatakan bahwa Marsel tak bersalah.

Saat itu aku benar-benar kehilangan arah. Tidak tahu hal apa yang harus kulakukan untuk membuatnya bebas. Aku kalut. Perasaan kecewa terlalu mendominasi hati dan perasaanku saat itu. Hingga akhirnya aku memutuskan pergi. Aku berlari jauh. Sangat jauh hingga Marsel benar-benar kehilanganku. Dan aku tak peduli. Satu-satunya yang ada di pikiranku saat itu adalah Marsel membawa pengaruh buruk bagiku dan aku menyalahkan diriku sendiri. Aku pergi.

Ayah Marsel yang seorang prajurit itu turun tangan. Akhirnya Marsel bebas. Hal pedih yang terjadi setelah itu adalah sang ayah mengundurkan diri. Dia memutuskan berhenti melaksanakan tugasnya mengabdi pada negara. Entah apa alasan pastinya, aku belum tahu. Namun, aku masih memiliki rasa penasaran terhadap hal itu. Mungkinkah karena dia merasa malu ketika Marsel ditahan dan dituduh sebagai pemakai sekaligus pengedar narkoba? Atau mungkin dia memutuskan berhenti karena usia? Sayang sekali, padahal saat itu usia Letkol Santosa belum terlalu tua. Belum tiba juga waktu untuk pensiun. Tubuhnya masih kuat, bahkan hingga dua puluh tahun lagi.

Benar. Ayahnya Marsel adalah seorang tentara berpangkat Letnan Kolonel. Tak mudah hingga di titik itu. Jelas, aku tahu itu tak mudah. Lantas dengan tiba-tiba dia menanggalkan seragam tempurnya untuk menikmati hari-hari bersama keluarga. Tentulah ada alasan kuat di balik keputusannya. Kelima anaknya diberi nama Santosa, itu dari ayahnya. Hal unik dari keluarga mereka adalah kelima anak laki-lakinya itu diberi nama yang berasal dari singkatan nama bulan dan hari lahir setiap anak. Alasannya, untuk memudahkan. Terkadang, kuanggap bahwa dia lucu sekali dan unik.

Tiga bulan aku mengasingkan diri di kota kelahiranku. Berkawan dengan rasa sesal yang tak padam. Aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku dengan perasaan bersalah. Aku tak pandai mendidik anakku. Aku lalai mengurusnya. Aku gagal.

Renjana dan Langit MaretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang