04.

185 43 1
                                    

Semenjak itu hubungan mereka semakin dekat. Well, dekat dalam artian teman. Yuta yang memiliki pribadi hangat dan menyenangkan, namun terkadang sensitif dengan hal-hal yang berkemungkinan menyentuh hati—Yuta pernah menangis karena menemukan anak kucing di tempat parkir mobil tanpa ditemani ibunya, dan ternyata induknya datang sejam kemudian dengan kepala tuna di mulutnya— membuat Sicheng seperti mendapatkan satu-persatu keyakinan untuk kembali untuk terbuka pada dunia luar. Selama ini Sicheng benar-benar menutup diri dan menjadi seorang yang kelewat apatis dengan sekitar. Ia sudah merasa bahwa pengalaman pahit telah sukses menghantam segalanya. Apalagi semenjak ia kehilangan ibu tiri dan si bajingan itu mengkhianatinya—

"Hati-hati. Jarimu bisa terluka jika kau terus melamun."

Yuta mengambil alih pisau yang sedang digunakan Sicheng untuk memotong wortel, melanjutkan apa yang seharusnya menjadi pekerjaan lelaki bermata phoenix itu tadi. Saat tangan mereka bersentuhan Sicheng merasakan seperti dialiri serangan listrik arus pendek dalam sekejap.

"M-maaf."

"Santai saja. Kau bisa mulai memasukkan sayuran yang lain dulu. Wortel ini menyusul."

Sicheng mematuhi perintah Yuta. ia meletakan semua sayur ke dalam panci yang mendidih. Makan malam ini mereka mencoba membuat sapo tahu. Sambil menunggu siap saji Sicheng mengambil perlengkapan makan di lemari atas, tanpa sengaja melihat ke arah telinga Yuta.

"Kau lepas piercing?"

"Ah. Iya. aku malas mendapatkan tatapan aneh dari karyawan di kantorku jadi lebih baik kulepas saja."

"Kupikir kantormu memiliki pandangan berbeda dengan kantor lain."

"Pada dasarnya, setiap kantor hanya ingin memiliki karyawan yang 'tidak nakal'. Jadi, lebih baik aku mencegah daripada menimbulkan masalah."

Sicheng mengangguk paham, namun hatinya sedikit tidak begitu terima pasalnya mulai dalam beberapa hari kedepan ia tidak akan melihat Yuta dengan aksesoris yang ia sukai menggantung apik di telinganya.

"Bagaimana dengan skripsimu? Masih perlu revisi lagi?"

Sicheng agaknya menuang teh hijau kelewat banyak di gelasnya, buru-buru ia bersihkan sebelum akhirnya membalas, "ahh—itu—tidak, dosenku sudah memberikan lampu hijau dan aku akan segera mendapatkan jadwal sidang."

"Benarkah? Kapan? Berarti sebentar lagi kau akan di wisuda, dong?"
"Ehm—begitulah. Mungkin bulan depan? Dan untuk wisuda, sepertinya aku takkan hadir."

"Kenapa? Sicheng, wisuda adalah penutup dari kehidupan mahasiswamu selama ini."

"Karena—aku tak punya orang tua?"

Ah, Yuta sepertinya salah bicara. Ia tahu betul Sicheng adalah yatim piatu. Lelaki itu dulu dibesarkan di di sebuah panti asuhan pinggir kota sebelum kemudian diangkat oleh keluarga Winnington saat ia berumur 10 tahun. Ayah tirinya meninggal saat menjalankan tugasnya di luar kota, sebuah kecelakaan bus yang mengantarkannya ke kantor cabang di lain kota membuatnya berpindah tujuan menjadi ke lain dunia pada saat Sicheng belum menyelesaikan ujian akhir sekolah menengahnya. Kemudian ibunya menyusul ayahnya 6 bulan yang lalu, dikarenakan penyakit hepatitis yang dideritanya selama ini.

Tentu saja Sicheng tidak menjelaskan secara rinci kematian ibunya yang meninggal tepat saat Sicheng dinyatakan kalah dalam turnamen catur dunia periode musim dingin Desember lalu. Saat ia seperti harus menelan pil penuh duri dalam satu hari sekaligus. Dirinya yang telah melakukan beberapa hal bodoh sebelum permainan dan berujung kalah—dengan sangat memalukan—berlarian sepanjang koridor rumah sakit hanya untuk mengetahui bahwa ibunya sudah tiada, dan dalam beberapa hari kemudian wajahnya terpampang dalam salah satu majalah terkemuka dengan judul 'Analisis Calon Grandmaster Musim Ini: Terjerat Blunder* Kehidupan.' yang tak lain dan tak bukan adalah perbuatan dari kekasih— mantan kekasihnya sendiri yang merupakan seorang jurnalis bidang olahraga strategi.

Sungguh, jika saja Sicheng berniat bunuh diri saat itu maka dengan senang hati ia akan menancapkan pecahan gelas winenya ke arah nadi yang bersembunyi dan menyusul orang tuanya. Namun entah kenapa langkahnya justru terombang-ambing kemudian menuntunnya menuju suatu tempat dan bertemu dengan Amber, teman lamanya saat mereka masih berada dalam panti asuhan. Saat itu pula Sicheng menangis seperti akan menghabiskan air matanya dalam satu malam dan menceritakan semuanya, menuntun ke dalam skenarionya untuk mengasingkan diri di flat Amber dan menjauhi segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia permainan catur atau hal-hal tentang masa lalunya.

"Maafkan aku, Sicheng. Tapi sungguh, jika kau butuh pendamping saat acara wisudamu, aku bisa menggantikan sebagai walimu, atau Amber, itu jika kau mau, tentu saja."

Sicheng menggeleng pelan, tentu saja ia benar-benar tidak mau melibatkan Amber dalam kebohongannya yang dirasa cukup tolol kali ini.

"Tidak perlu, Yuta. Lagipula aku juga tidak terlalu menyukai tempat ramai seperti itu. Aku lebih baik menghabiskan malam wisudaku dengan menonton film ghibli bersamamu."

Mulut sialan, lancang sekali mengatakan hal  bodoh itu disaat seperti ini.

Yuta menghentikan kegiatannya menuangkan kuah sapo tahunya, menatap Sicheng dengan ekspresi terkejut yang tidak disembunyikan.

"Ah supnya hampir dingin, lebih baik segera dimakan atau tidak akan terasa enak la—"

"Ide bagus."

"Eh?"

Yuta tersenyum manis menatap Sicheng yang kini mematung, "jika itu keinginanmu, sebaiknya segera wujudkan saja sebelum waktu wisudamu. Aku juga sebenarnya ingin melakukan sesuatu seperti menonton film berdua bersama dari awal kita bertemu."







*Blunder: Langkah yang sangat buruk yang menyebabkan kehilangan banyak bidak bahkan hingga menyebabkan kekalahan.

When The King Blunders | Yuwin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang