08.

168 40 1
                                    

Pagi itu Yuta tengah sibuk dengan kegiatan sebelum berangkat ke kantor. Menyiapkan sarapan dan merapikan peralatannya. Saat dirinya sedang sibuk mencuci piring sebuah tangan melingkar apik di tubuhnya, dilanjut dengan sebuah sandaran mendarat mulus di punggung kokohnya. Yuta yang sudah menebak Sicheng akan melakukan ini hanya bisa tersenyum jahil.

"Pagi, manis."

Sicheng tidak menjawab, dirinya masih mengantuk untuk sekedar membalas Yuta, sebagai gantinya wajah lelaki 23 tahun itu ia gesekkan ke punggung Yuta, membuat Yuta semakin gemas dan berbalik ka arahnya.

"Masih mengantuk?"

Sicheng mengangguk. Terlihat kantung hitam gelap bertengger di wajahnya, efek dari menangis kemarin. Yuta menangkup wajah manis itu dan mendaratkan sebuah kecupan ringan sebelum membuka mulutnya lagi.

"Sarapan dulu, kau bisa melanjutkan tidurmu setelah ini."

"Jangan pergi-"

Yuta terkekeh. Sicheng dengan mode seperti ini sukses membuatnya gemas setengah mati. Ingin rasanya ia menemaninya sambil berpelukan dan memberikan kehangatan satu sama lain. Namun deadline projectnya yang semakin menipis membuatnya tak bisa mangkir dari tugasnya dan membiarkannya begitu saja.

"Aku harus, Sicheng. Aku janji akan pulang tepat waktu. Kau bisa bertemu Amber dulu. Sudah berapa lama kalian tidak bertemu lagi?"

Sicheng tampak berpikir, kemudian ia mengangkat bahu tak acuh. Otaknya masih belum sepenuhnya berfungsi dengan baik di jam segini. Yuta terkekeh lagi, kali ini sambil mengusak rambut yang lebih muda. Kemudian detik berikutnya Yuta berpamitan dengan Sicheng dan keluar dari flatnya, meninggalkannya sendiri.

Sicheng akui ia merasakan kehadiran Yuta adalah sebuah pertanda baik baginya. Terbukti kini ia mulai bisa sedikit demi sedikit melupakan masa lalu, dan mencoba untuk membuka hal baru. Namun hal itu masih belum bisa menyakinkan dirinya aecara utuh untuk kembali ke permukaan, apalagi kembali untuk menjadi pemain catur. Masih banyak benteng yang harus ia bongkar satu persatu agar bisa menampakkan dirinya secara utuh.

Setelah sarapan, Sicheng mencoba membersihkan diri dan menuju Amber. Melupakan segala kantuknya untuk sebuah kunjungan ke tempat teman sepermainannya dulu di panti asuhan. Saat langkahnya sampai di toko milik Amber, ia langsung disambut oleh pemilik toko itu dengan raut menghakimi.

"Wajahmu seperti habis bertemu dengan si bajingan tengik itu."

"Well, kau tidak salah."

Amber terbelalak kaget dengan jawaban Sicheng. Buru-buru ia memposisikan duduk yang nyaman dan bertanya, "Apa?! Dimana? Bagaimana? Sicheng, ceritakan!"

Akhirnya Sicheng menceritakan semuanya, tentang pertemuannya dengan August, dan Yuta yang telah mengetahui semuanya. Kini lelaki itu menunggu respon dari Amber.

"Lalu, apa yang kau tunggu?"

"Huh?"

"Maksudku. Lihat, Sicheng, bukankah ini sudah terlalu lama untuk bersembunyi? Dan apa yang kau hasilkan dari ini semua? Pengasingan? Yakin itu yang kau butuhkan sekarang? Sementara di luar sana kau bisa jadi yang orang yang lebih baik sekaligus membungkam para cecunguk bodoh."

"Tidak semudah itu, Amber."

"Aku tahu. Tapi setidaknya kau mencoba. Kau harus mencoba. Kau terlahir dengan bakat menakjubkan, kehidupanmu kini sudah jauh berbeda dari sebelumnya, yang perlu kau lakukan sekarang adalah mulai menjauh dari bayang-bayang masa lalumu dan melangkah kembali ke duniamu, Sicheng."

Sicheng hanya diam, pikirannya berkecamuk tak karuan. Omongan Amber sepenuhnya benar, tapi disinilah letak permasalahanya, akankah itu semua terasa benar jika ia lakukan?

"Kau tahu, raja tak seharusnya melakukan blunder."

"Raja tidak pernah melakukan blunder, Amber."

"Benar sekali."

Sicheng menatap Amber, mencoba memproses apa yang ingin dikatakan wanita itu. Ia menunggu hingga Amber selesai menyalakan api di rokoknya dan membuka mulut.

"Jika raja tak pernah melakukan blunder, kenapa kau masih disini?"

-

"Kau terlihat muram, ada apa?"

Yuta datang menghampiri Sicheng dengan rambut setengah basah dan baju santai. Ia usai membersihkan diri sebelum memulai sesi makan malam sederhananya. Mereka makan daging panggang yang sebelumnya sudah dihangatkan Sicheng.

"Tak apa, hanya-berpikir."

Mereka larut pada makanan masing-masing. Usai mencuci piring Sicheng meninggalkan Yuta dan menuju balkon untuk merokok. Saat ia sedang menikmati ketenangannya, sebuah suara gelas berdenting mampir di telinga kiri diikuti oleh Yuta yang sibuk menuangkan wine merah pada masing-masing gelas.

"Aku pikir kau butuh sesuatu yang menenangkan. Jadi aku membeli ini saat perjalanan pulang."

Sicheng menatap gelas wine itu dengan raut tak bisa ditebak, membuat Yuta mendadak was-was.

"Apa kau tidak menyukainya?"

"Ah aku-aku menyukainya. Hanya, ini sudah lama sekali."

"Ya, bahkan aku tak pernah melihat kau meminum wine di flat ini. Jadi kupikir tak ada salahnya aku membelikan satu dua botol."

"Terima kasih, Yuta."

Yuta tersenyum sambil mengangkat gelasnya, mengajaknya bersulang.

"Untuk masa depan yang lebih baik."

Sicheng sedikit tertawa mendengarnya, namun ia tak punya pilihan lain selain mengangkat gelasnya juga sambil menyahutinya.

Malam semakin larut, mereka masih asyik mengobrol tentang apapun topiknya, dan sedikit demi sedikit Sicheng juga mengetahui rahasia Yuta.

"Mantan kekasihku seorang psikopat. Ia tak terima saat aku berpisah dengannya. Maka ia mencoba menabrakkan diriku saat aku sedang dalam perjalanan pulang dengannya, namun hanya aku yang selamat. Sebelum meninggal hal terakhir yang diucapkan adalah, 'jika aku tak bisa memilikimu, maka orang lainpun tak bisa.' Itulah sebabnya kenapa aku dulu menolak untuk mengendarai kendaraan seperti mobil."

Sicheng merinding mendengarnya. Membayangkan seseorang yang bagai malaikat seperti Yuta memiliki mantan kekasih gila dan bahkan berani merenggut nyawanya. Tangannya secara refleks langsung menggenggam tangan dingin Yuta dan mengusapnya pelan. Dibalas dengan tangan Yuta yang lain sambil ia melanjutkan, "Waktu itu, bahkan aku tak pernah berpikir lagi untuk jatuh cinta. Hidupku terus berisi tentang karir dan hal-hal lainnya. Tapi sekarang aku mulai membuang semua itu. Aku mencoba untuk mengabaikan rasa takutku, dan mulai mencoba membuka hati saat bertemu denganmu."

Sicheng menatap intens manik yang sedari tadi memperhatikannya. Dirinya berada dalam keadaan pikiran yang sedikit berkabut efek menenggak beberapa gelas wine-dia sudah lama tak meminum minuman beralkohol omong-omong-dan mendapati Yuta yang kini terasa berbeda. Ada suatu gejolak yang menuntunnya untuk mencoba menyentuh laki-laki itu, terlebih saat Yuta selesai mengatakan semuanya, sebuah ungkapan tersirat bahwa Yuta sepenuhnya sudah jatuh kedalam segala sesuatu tentang Sicheng. Yang kini Sicheng lakukan adalah mencoba mengumpulkan sedikit kesadarannya untuk membalas ucapan Yuta.

"Kau tahu, jika kau menunggu sebuah untaian kalimat berisi kata-kata manis yang akan dikeluarkan olehku untuk membalas kalimat indahmu maka jawabannya adalah tidak. Aku tidak akan pernah bisa membuatnya bahkan sedikitpun. Tapi-"

Laki-laki itu mendekat ke arah Yuta dan meletakan gelas winenya di sembarang tempat. Kini fokusnya ada sepenuhnya pada Yuta yang tengah siaga dengan pergerakan Sicheng. Sebelum si manis itu melanjutkan kalimatnya, kini ia telah berada di pangkuan Yuta dan tangannya mencoba menarik lembut surai merah itu, agar wajah tampan mereka saling berhadapan sambil membasahi bibirnya.

"-jika kau ingin aku melakukan sesuatu untuk membalas ucapanmu, aku akan dengan senang hati mengabulkannya."

When The King Blunders | Yuwin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang